Koran Sulindo – Surat Edaran Gubernur tersebut salah satu poinnya memerintah petani menanami lagi lahannya 15 hari setelah panen. Jika dalam 30 hari setelah panen tak bercocok tanam, tanah mereka diambil alih Koramil, unit terkecil lembaga teritorial tentara. Setelah lahan diambil alih, seluruh biaya usaha tani ditanggung tentara. Setelah panen, biaya usaha tani dikembalikan kepada pengelola. Pembagian keuntungannya: 20 persen petani dan 80 persen pengelola.
Terdengar tak asing? Bagi generasi yang lahir dan besar di zaman Orde Baru yang de facto berkuasa sejak 1 Oktober 1965, tentara menanam padi, menjadi guru, menjagai agar orang mencoblos pada hari Pemilu, atau melihat orang-orang berseragam hijau itu menjadi pejabat publik, adalah hal yang biasa. Rezim yang dibangun Jenderal Soeharto itu diruntuhkan mahasiswa pada 1998, namun tampaknya akar-akarnya tak habis dibabat dan kini, hampir 20 tahun kemudian, pelan-pelan muncul ke permukaan.
Kasus di atas, misalnya, benar-benar terjadi di Sumatera Barat. Surat Edaran yang dikeluarkan Irwan Prayitno pada 6 Maret 2017 itu, berisi dukungan gerakan percepatan tanam padi. Dan ditulis di sana tentara bisa mengambil alih pengelolaan pertanian.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menilai gubernur terkesan merestui perampasan tanah petani militer. SE itu juga membuka ruang bagi militer untuk ambil bagian dan mendominasi kehidupan sipil.
Jauh sebelum itu, pada Mei 2016, konsep reformasi TNI yang ditawarkan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo diprotes bahkan dari internal Lemhanas.
Dalam konsep Agus, militer tidak boleh lagi melakukan kegiatan di luar pertahanan atau perang, kecuali seizin presiden. Konsep itu juga ingin menghapus Kodim, Koramil, dan Babinsa, lembaga teritorial tentara yang menjangkau hingga ke desa, karena memberi kesan musuh selalu berada di antara masyarakat.
Konsep itu sebenarnya mengacu pada Undang-undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Salah satu pasal dalam UU itu menyatakan bisnis yang dikelola TNI tidak boleh ada lagi. Pasal 76 menyebutkan dalam jangka waktu 5 tahun sejak berlakunya undang-undang, Pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI baik langsung maupun tidak langsung, sesuai Keputusan Presiden.
“Segala sesuatu yang dipikirkan dan dilakukan, harus selalu berkaitan pada konstitusi dan undang-undang,” kata Agus, yang dilantik Presiden Jokowi pada April 2016 itu.
Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengatakan konsep reformasi TNI Agus itu melanggar UU, tanpa menyebut ketentuan hukum yang mana.
Di Bawah Duli Orba
Untuk menggambarkan keadaan masa Orba, bolehlah dibaca lagi artikel yang dimuat dalam “Mingguan Djurnal” No. 7, Minggu ke-III Bulan Juli 1971 ini. Koran tersebut banyak memuat pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi seiring pelaksanaan Pemilu 1971, pemilu pertama rezim angkatan darat itu. Judul artikel itu, seperti ditulis ulang dalam blog Santi J.N, “Guru Disiksa Babinsa karena Tak Ikut Memilih”
“Inilah cerita yang menimpa kedua anak manusia yang bernama Salman Farisi dan Nyi Etjin: Pada jam 12.30 siang tanggal 3 Juli 1971 ke rumah Salman di Kampung Cikermajaya, Desa Narawita, Kec. Cicalengka, Kabupaten Bandung, datang dua orang petugas Banpol masing-masing bernama Toha dan Barnas. Keduanya bermaksud membawa Salman beserta istrinya agar kedua orang ini mencoblos di TPS yang terletak di Balai Desa Narawita yang jauhnya kira-kira 2 km dari rumah Salman. Tapi karena anaknya yang baru berumur 1 tahun sakit, Salman dan istrinya menyatakan mereka tidak bisa pergi ke TPS tersebut. Kedua Banpol itu kemudian kembali tanpa membawa orang yang mereka maksud.
Kemudian kira-kira jam 19.000 Salman beserta istrinya mendapat panggilan dari Babinsa Desa Narawita agar segera menghadap ke Balai Desa. Surat panggilan itu bernomor 1/B/7/71, ditandatangani oleh Babinsa O. Suparman sendiri. Panggilan kali ini diantar oleh “petugas”, terdiri dari 4 orang Wanra dan 4 orang AMS (Ormas Angkatan Muda Siliwangi). Mereka datang lengkap dengan segala seragam dan atributnya. Salman dan istrinya beserta anak-anaknya yang baru berusia 2 dan 1 tahun dipaksa waktu itu juga untuk berangkat ke Balai Desa.
Sambil menggendong anak-anaknya yang sedang dalam sakit, Salman dan istrinya akhirnya menurut dan berjalan kaki dalam suasana malam yang dingin itu ke Balai Desa dikawal oleh kedelapan “petugas” desa tadi.
Masih sambil menggendong anaknya yang sakit itu, Salman setibanya di Balai Desa diperiksa oleh Babinsa O. Suparman, Serda, Nrp. 343212 dengan disaksikan oleh Pejabat Lurah Desa Narawita bernama Dindin, Juru tulis Desa Amaj, dan anggota TPS yang masih sibuk di Balai Desa itu. Dalam pemeriksaan itu disertai pukulan-pukulan pada Salman yang tetap menggendong anaknya yang sedang sakit.
Ia sama sekali tidak menampakkan sikap melawan. Sedangkan mereka yang hadir, tidak seorangpun yang turut mencampuri ataupun menengahinya. Pemeriksaan itu sendiri, menurut cerita Salman berlangsung kurang lebih dua jam.
Pengalaman Salman dan Istrinya adalah satu dari banyak kasus yang terjadi di masa orde baru. Tapi seperti sudah diduga, Tidak banyak orang yang mau mengakuinya karena konsekwensi yang bisa diterimanya.
Kebangkitan Soehartois
Semenjak Presiden Soeharto berhenti pada 1998, tak satu pun keluarga Cendana menampakkan karir cemerlang di jagat politik. Putri pertama Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana yang ikut Pemilu 2004 gagal, karena Partai Karya Peduli Bangsa miliknya hanya menjadi partai gurem.
Cendana mulai muncul lagi pada 2009. Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto ingin menguasai Partai Golkar bentukan bapknya dengan ikut Munaslub di Riau. Namun tak satu suara memilih dia. Tommy lalu membuat partai baru yakni Partai Nasional Republik namun tak lolos verifikasi dan gagal ikut Pemilu 2014.
Namun diam-diam Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, mantan istri Prabowo Subianto, sekarang menjadi anggota DPR dari Partai Golkar periode 2014-2019. Ia bahkan menjabat Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar.
Pada Pilkada DKI Jakarta lalu, Titiek terang-terangan mendukung pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Padahal, Golkar mendukung Basuki T Purnama dan Djarot Saiful Hidayat. Anies pun muncul dan sempat berfoto bersama Tommy pada acara Haul Soeharto sekaligus peringatan Supersemar yang digelar di Masjid At-Tin, Maret lalu.
Tanpa terasa orang-orang yang dulu berjaya di zaman Orba, kini perlahan mulai muncul di permukaan tanpa orang bertanya. Mereka pelan-pelan tak laten lagi. [DAS]