Koran Sulindo – Gejolak perpecahan di internal partai Golkar setelah diumumkannya Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden Joko Widodo sudah mulai terasa.

Ungkapan Fadel Muhammad menunjukkan bahwa perpecahan di tubuh Golkar perlu menjadi perhatian serius oleh tim koalisi Jokowi-Ma’ruf.

Demikian disampaikan Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo dalam keterangan kepada Koransulindo.com, Sabtu (25/8).

Selain Golkar, kata Karyono, yang perlu menjadi perhatian serius adalah adanya dinamika di internal Nadhatul Ulama (NU).

Sejumlah faksi yang ada di kalangan NU mulai menggeliat dan tak bisa dianggap remeh karena sejumlah sinyal yang memberi tanda ketidak kompakan di kalangan nadhiyin ini cukup kuat.

Menurut Karyono, munculnya dinamika perbedaan pandangan di tubuh Golkar dan NU bisa disebabkan dua alasan yaitu antara kekecewaan politik atau political disappointment  dan permainan politik atau political game.

“Penunjukan Ma’ruf Amin sebagai bakal calon wakil presiden menjadi cikal bakal kekecewaan politik,” kata Karyono.

Selain itu, dalam iklim demokrasi transaksional seperti yang terjadi selama dua dekade ini sulit menghindari permainan politik dengan berbagai manuver untuk tujuan melakukan bargaining dan negosiasi politik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.

Strategi politik ‘dua kaki’ tak jarang menjadi manuver politik dan hal itu memicu kosnstelasi politik yang kerap berubah-ubah dan tidak konsisten.

Arah politik tidak berada di garis lurus, sehingga sulit ditebak.

Orang bijak atau orang awam cenderung menilai Golkar dan NU akan bulat mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf karena cara pandangnya disasarkan pada etika dan komitmen moral. “Tapi faktanya tidak demikian,” kata Karyomo.

Perpspektif itu meleset karena kepolosannya dan idealismenya atau kurangnya informasi tentang anatomi NU dan Golkar.

Jadi, singkat kata, konfigurasi politik dalam pilpres saat ini tergantung negosiasi dan komitmen politik para stakeholder, yaitu komitmen antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam perebutan kekuasaan.Celakanya, gejala tersebut dianggap lazim dalam realitas politik kita.

Narasi yang digunakan untuk menjustifikasi atau membenarkan praktik politik semacam itu adalah dengan mengatakan ini hanyalah sebagai sebuah dinamika politik yang biasa terjadi.

Padahal, perilaku politik seperti itu bisa berpotensi menimbulkan konflik permanen. Disadari atau tidak, perilaku elit politik seperti itu telah mengajarkan politik yang mengabaikan etika.

“Maraknya berbagai faksi di internal organisasi hendaknya jangan dipandang remeh karena dampaknya bisa menimbulkan segregasi dalam hubungan sosial organisasi,” kata Karyono.

Dalam kontestasi elektoral dengan sistem demokrasi saat ini, lanjutnya, memang sulit dihindari adanya berbagai macam manuver untuk memenangkan perhelatan kekuasaan.

Setiap kontestan cenderung menggunakan segala cara untuk memenangkan pertarungan. Menurutnya, ada banyak cara, salah satunya adalah menggunakan strategi politik ‘belah bambu’, yaitu memecah basis pendukung lawan.

“Strategi ini dilakukan agar basis-basis pendukung lawan politik pecah. Dengan demikian diharapkan bisa men-downgrade elektabilitas lawan,” kata dia.

Menjadi pertanyaan, apakah strategi tersebut berhasil membelah suara NU dan Golkar?

Menurut Karyono, dalam preferensi pemilih pada umumnya mayoritas pemilih memiliki pertimbangan tersendiri dalam memilih kandidat.

Sebagian besar pemilih menentukan pilihannya secara mandiri. Ada sebagian pemilih yang menentukan pilihannya atas pertimbangan orang lain. Sebagian besar pemilih dalam menentukan pilihannya dari aspek kepribadian kandidat, rekam jejak keberhasilan, dan baru aspek kemampuan, dan lain-laun.

Sejauh ini, Jokowi masih unggul di mayoritas segmen pemilih. Survei terbaru LSI Denny JA menunjukkan posisi elektabikitas Jokowi-Ma’ruf 52,2 persen. Prabowo-Sandiaga 29,5 persen. Sementara yang merahasiakan pilihannya 18,3 persen.

Meski terdapat selisih 22,7 persen, pertarungan bahkan masih jauh dari selesai. Masih ada yang belum memutuskan 18,3 persen dan tentu saja masih ada pemilih yang masih bisa berubah pilihannya.

“Waktu masih cukup panjang. Dinamika politik masih bisa membuat tingkat dukungan naik turun. Volatilitas dukungan masih bisa terjadi. Yang paling penting adalah mewaspadai strategi ‘belah bambu’ dari lawan politik jangan sampai menjadi bola liar,” kata dia. [SAE/TGU]