Ilustrasi/insanfm.blogspot.co.id

Koran Sulindo – Dengan sedikit tambahan drama lobi-lobi politik selama sekitar 2 jam dan mekanisme penghitungan suara (voting) dan bukannya musyawarah mufakat, rapat Paripurna DPR menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan tentang Perubahan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)disahkan menjadi undang-undang.

Memang ada sedikit terlihat gairah dalam rapat yang dihadiri 445 anggota dewan itu, setelah gedung dewan hampir 2 tahun terakhir ini ditinggalkan media sejak koalisi pendukung pemerintahan Joko Widodo menjadi mayoritas di parlemen. Sejak itu acara di rumah rakyat itu hanya sekitar 2 hari dalam sepekan, dan pertempuran politik, jika ada, nyaris sudah selesai sejak dari istana presiden.

UU Ormas baru ini adalah revisi UU Nomor 17 Tahun 2013, dengan aroma Orde Baru Jenderal Soeharto yang sangat kental. Dalam UU lama pemerintah bisa membubarkan ormas jika dianggap melanggar UU Ormas, namun tetap harus melalui mekanisme peradilan. Dengan UU baru ini pemerintah bisa langsung membubarkan Ormas, melalui kementerian yang mempunyai wewenang pendaftaran ormas sebagai badan hukum, yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Aspek peradilan hanyalah, ormas yang dibubarkan dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Untuk Memukul Ormas Islam?

Di luar Gedung DPR aksi unjuk rasa penolakan Perppu Ormas saat paripurna berlangsung membuat jalan Gatot Subroto macet. Namun sayang aksi itu hanya diikuti massa berbendera politik Islam saja, antara lain Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Forum Pembela Islam (FPI).

Perppu Ormas pada mulanya nampak memang untuk memukul HTI, karena dengan UU Ormas lama pemerintah harus menyiapkan diri berhadapan dengan ormas yang bercita-cita mendirikan negara Khilafah di Indonesia itu di pengadilan. Mungkin takut kalah, atau takut proses pengadilan bisa berlarat-larat, hanya dalam hitungan minggu lahirlah Perppu itu dari tangan Presiden Joko Widodo.

Pengamat hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra langsung tahu harus segera berbicara. Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu mengatakan UU Ormas baru ini akan menjadi masalah serius umat Islam di Indonesia.

“Ini bisa menjadi alat untuk menekan dan membubarkan ormas-ormas Islam yang berseberangan dengan penguasa,” kata Yusril, yang juga bertindak sebagai kuasa hukum HTI saat mengajukan uji materi Perppu Ormas di Mahkamah Konstitusi.

Tapi bukan Islam politik saja sebenarnya yang harus waswas pada beleid baru ini. Selain HTI, ada banyak individu atau lembaga yang melakukan hal sama, diantaranya Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Perppu Ormas yang terdiri antara lain YLBHI, Walhi, ICW, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Sayang ujimateri koalisi ini ditolak sejak awal oleh hakim kontitusi dengan alasan, seperti dikutip bantuanhukum.or.id, karena sudah terlalu banyak yang menggugat.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai UU Ormas itu berpotensi mengancam masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah.

“Tidak hanya bagi ormas-ormas yang dianggap ‘fundamentalis’ atau bertentangan dengan ideologi Pancasila, legislasi tersebut berpotensi menjadi alat represi pemerintah untuk membungkam gerakan masyarakat sipil di Indonesia,” kata Usman, pekan lalu, melalui rilis media.

UU itu juga bisa digunakan untuk membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pemerintah, secara sepihak, bisa memakai UU itu untuk memukul ormas yang dianggap menodai agama. Bonus UU itu: sudah memukul, pemerintah bisa memidana seseorang hanya karena ia menjadi anggota kelompok yang dilarang pemerintah.

“Pembubaran ormas tanpa pengadilan merupakan bentuk kesewenangan-wenangan terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul yang dilindungi konstitusi dan hukum internasional,” kata Usman.

Warga Negara sebagai Ancaman

Lebih 30 tahun lalu, pada 1985, UU sejenis ini juga diterbitkan, dan sama juga seperti kini, mengundang pro-kontra ramai di masyarakat. Tentu saja dengan nuansa ketegangan yang berbeda, karena saat itu Orde Baru sedang kuat-kuatnya.

UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan itu menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang boleh dipakai Ormas. Hukumnya wajib, tidak boleh tidak. Lalu, sepertinya ini yang dicontek, UU itu memberikan kewenangan pembinaan pada Kementerian Dalam Negeri sebagai otoritas tunggal.

Selain itu pemerintah berwenang membekukan kepengurusan dan bahkan membubarkan ormas jika dianggap tidak berasaskan Pancasila dan dianggap tidak memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

UU itu mengklasifikasikan semua organisasi di luar partai politik sebagai ormas. Melalui UU itu, Presiden Soeharto bisa membungkam musuh-musuh politik yang dianggap mengancam kelangsungan kekuasaannya.

Menurut Syamsudin Haris, dalam tulisannya, Urgensi UU Ormas, seperti dikutip lipi.go.id, semuanya tergantung pada cara pandang dalam melihat masyarakat.

Jika warga negara selalu dilihat sebagai sumber ancaman, konflik, dan disintegrasi bangsa, sebagaimana halnya cara pandang rejim otoriter seperti Orde Baru, maka UU yang mengatur ormas diperlukan.

Tulisan Syamsudin itu sebenarnya dalam konteks mengkaji UU Ormas pada 2013 lalu, tapi nampaknya masih relevan hari-hari ini, RUU Ormas 2013 dinilainya lebih berorientasi mengatur dan mengontrol ormas ketimbang menjamin kebebasan berserikat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Naskah RUU tersebut masih menganut cara pandang keliru rejim otoriter yang melihat masyarakat sebagai ancaman. Padahal, kebebasan berserikat semestinya justru dijamin oleh negara dalam rangka kontribusinya bagi kemaslahatan kolektif.

Dan UU 2013 itu kini bersalin rupa dan bisa digunakan Presiden Jokowi untuk memukul ormas lain selain HTI. [Didit Sidarta]