Fenomena feodalisme tidak hanya dikenal di Eropa, tetapi juga memiliki bentuk dan praktik tersendiri di Asia, termasuk Indonesia. Meski muncul dalam konteks sejarah yang berbeda, keduanya memiliki kesamaan dalam hal kekuasaan yang terpusat di tangan segelintir elite serta ketergantungan rakyat terhadap penguasa.
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan feodalisme? Bagaimana sejarah kemunculannya di dunia dan seperti apa bentuknya di Indonesia? Dirangkum dari berbagai sumber, berikut penjelasannya.
Pengertian
Feodalisme merupakan salah satu sistem sosial-politik tertua dalam sejarah manusia. Secara sederhana, bentuk feodalisme dapat dilihat melalui struktur kerajaan yang berlapis antara raja, bangsawan, dan rakyat jelata.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan. Di Eropa, istilah ini mengacu pada sistem yang berkembang pada Abad Pertengahan, ketika kekuasaan berada di tangan para tuan tanah.
Feodalisme muncul di berbagai belahan dunia, terutama setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi. Dalam sistem ini, kekuasaan terpusat pada segelintir elite pemilik tanah. Rakyat berada dalam posisi bergantung dan harus tunduk pada mereka.
Hubungan antara penguasa dan rakyat terbentuk dalam pola patron-klien, yaitu rakyat memberikan loyalitas dan tenaga sebagai imbalan atas perlindungan dari penguasa.
Jejak Feodalisme di Eropa dan Indonesia
Jika di Eropa feodalisme tumbuh dari kekosongan kekuasaan pasca-runtuhnya Kekaisaran Romawi, maka di Indonesia sistem serupa berkembang dari keyakinan spiritual terhadap legitimasi ilahi raja. Meski berbeda akar, keduanya memiliki kesamaan, yaitu kekuasaan yang tersentralisasi di tangan segelintir elite dan ketergantungan rakyat pada penguasa.
Di Indonesia, feodalisme telah dikenal sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha seperti Sriwijaya, Majapahit, Kediri, Mataram Kuno, dan Singasari. Saat itu, raja dianggap sebagai titisan dewa yang memiliki kekuasaan penuh atas tanah dan rakyat.
Tanah dipandang sebagai milik dewa atau Tuhan, sementara raja bertindak sebagai penguasa tertinggi yang berhak mendistribusikannya kepada bangsawan atau pejabat istana. Para bangsawan ini, disebut sikep-sikep, memperoleh tanah sebagai hadiah atas jasa atau loyalitas mereka.
Rakyat biasa wajib bekerja di tanah tersebut dan menyerahkan sebagian hasil panen sebagai upeti. Selain itu, mereka juga harus melakukan kerja bakti atau tugas tertentu untuk kepentingan kerajaan.
Sistem ini menegaskan ketimpangan sosial dan ekonomi antara bangsawan pemilik tanah dengan rakyat pekerja yang tidak memiliki hak atas tanah.
Feodalisme di Masa Kolonial
Pada masa kolonial, sistem feodal justru diperkuat. Pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan struktur sosial lama ini melalui sistem tanam paksa dan pemerintahan tidak langsung (indirect rule) dengan melibatkan elite lokal.
Para bangsawan dijadikan perpanjangan tangan kekuasaan kolonial. Rakyat tetap menjadi objek penindasan, sementara hasil bumi mengalir ke tangan penjajah. Dalam konteks ini, feodalisme bukan hanya bertahan, tetapi juga bertransformasi menjadi alat eksploitasi ekonomi dan sosial.
Setelah Indonesia merdeka, sistem feodal secara formal dihapus dan digantikan oleh sistem republik yang menjunjung kesetaraan warga negara. Namun, warisan mentalitas feodal tidak sepenuhnya hilang.
Neo-Feodalisme di Indonesia Modern
Dalam praktik sosial dan birokrasi, pola hubungan feodal masih tampak dalam bentuk neo-feodalisme. Sikap paternalistik, rasa sungkan terhadap atasan, serta kecenderungan menjilat kekuasaan masih menjadi bagian dari dinamika sosial di berbagai lapisan masyarakat.
Mentalitas ini sering kali membuat hubungan antara penguasa dan rakyat tetap timpang. Kekuasaan masih dianggap sebagai sumber kehormatan, bukan amanah untuk melayani. Dalam birokrasi, struktur hierarkis yang kaku kadang menghambat transparansi dan profesionalisme.
Feodalisme di Indonesia merupakan hasil dari perjalanan panjang sejarah, dari warisan kerajaan-kerajaan kuno yang diperkuat oleh kolonialisme, lalu beradaptasi dalam bentuk baru di era modern.
Pada akhirnya, feodalisme bukan hanya soal sejarah masa lalu, tetapi juga refleksi masa kini. Tantangan terbesar Indonesia bukan lagi menghapus sistemnya, melainkan mengikis mentalitas feodal yang masih melekat.
Hanya dengan menumbuhkan kesetaraan dan kesadaran, cita-cita demokrasi sejati dapat benar-benar terwujud di negeri ini. [UN]


