Bung Karno dan Raja Saud dari Arab Saudi/kingsaud.org

Negeri-negeri Arab di Asia Barat mempunyai ikatan historis yang kuat dengan Indonesia. Bahkan yang termasuk paling awal mengakui kemerdekaan republik ini adalah dari jazirah padang pasir tersebut. Sebelum Indonesia berdiri konon sudah ada ikatan sejarah, budaya dan religi dengan negeri para nabi itu.

Melihat dasar sejarah tersebut, keberadaan negeri-negeri tersebut ada di hati sebagian mayoritas masyarakat Indonesia. Bahkan presiden pertama republik ini menaruh perhatian khusus, beberapa kali Bung Karno mengunjungi Arab Saudi dan Mesir.

Ada dua negara yang membantu Indonesia memenuhi persyaratan sebagai negara berdiri sendiri, dengan adanya pengakuan dari jazirah Arab. Dengan pengakuan tersebut Negara Indonesia dapat menjadi berdaulat dan mendapat pengakuan internasional.

Gong dukungan untuk kemerdekaan Indonesia ini dimulai dari Palestina dan Mesir, seperti dikutip dari buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, M. Zein Hassan Lc.  Buku ini diberi kata sambutan oleh Moh. Hatta (Proklamator & Wakil Presiden pertama RI sertaPahlawan Nasional RI), M. Natsir (mantan Perdana Menteri RI ), Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI ketika buku ini diterbitkan), dan Jenderal (Besar) A.H. Nasution.

Bung Karno ke Mesir

Setelah terdengar ada sebuah negeri Muslim bernama Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya, di Mesir Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM), organisasi Islam yang dipimpin Syaikh Hasan Al-Banna, tanpa kenal lelah terus menerus memperlihatkan dukungannya. Selain menggalang opini umum lewat pemberitaan media yang memberikan kesempatan luas kepada para mahasiswa Indonesia untuk menulis tentang kemerdekaan Indonesia di koran-koran lokal miliknya, berbagai acara tabligh akbar dan demonstrasi pun digelar.

Para pemuda dan pelajar Mesir, juga kepanduan Ikhwan, dengan caranya sendiri berkali-kali mendemo Kedutaan Belanda di Kairo. Tidak hanya dengan slogan dan spanduk, aksi pembakaran, pelemparan batu, dan teriakan-teriakan permusuhan terhadap Belanda kerap mereka lakukan. Kondisi ini membuat Kedutaan Belanda di Kairo kewalahan. Mereka dengan tergesa mencopot lambang negaranya dari dinding Kedutaan. Mereka juga menurunkan bendera merah-putih-biru yang biasa berkibar di puncak gedung, agar tidak mudah dikenali pada demonstran.

Kuatnya dukungan rakyat Mesir atas kemerdekaan RI membuat pemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI atas Indonesia pada 22 Maret 1946. Dengan begitu Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah itu menyusul Syria, Iraq, Lebanon, Yaman, Saudi Arabia dan Afghanistan. Selain negara-negara tersebut,  Liga Arab  juga berperan penting dalam Pengakuan RI.

Melihat sejarah tersebut, tidak bisa disalahkan jika Bung Karno menaruh rasa hormat yang tidak terhingga terhadap negeri Mesir ini. Bung Karno pertamakali berkunjung ke Mesir berlangsung hanya 3 bulan setelah Konferensi Asia Afrika di Bandung yang dihadiri Nasser, dan kunjungan terakhir ke Kairo pada Juni 1965, atau hanya 3 bulan menjelang peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Setiap lawatan Bung Karno ke negeri para raja-raja Firaun itu disambut meriah sejak setibanya di Bandara Kairo hingga kepulangannya. Bahkan, koran Mesir Al Ahram pada 20 Juli 1955 menggambarkan kunjungan pertama Presiden Soekarno itu disambut gegap-gempita oleh masyarakat yang berdiri di pinggir jalan dari Bandara hingga istana tempatnya menginap.

“Seolah seluruh rakyat Mesir keluar rumah menyambut kedatangan Presiden Indonesia. Sepanjang jalan yang dilalui Presiden Soekarno dipenuhi rakyat segala umur”.

Situasi kala itu, balkon-balkon apartemen penduduk dipadati manusia untuk memberi penghormatan terhadap Sang Tamu Agung dengan melambaikan bendera mini Mesir dan Indonesia. “Spanduk dan bendera kedua negara menghiasi jalan-jalan kota Kairo sehingga bertambah semarak penyambutan Presiden Soekarno,” tulis koran Al Ahram.

Penghormatan Mesir terhadap tokoh proklamator itu tidak hanya semasa menjabat presiden, tapi juga setelahnya. Era Bung Karno dan Nasser dikenal sebagai masa keemasan hubungan Indonesia-Mesir, dan hal itu selalu terungkit setiap pertemuan bilateral kedua negara.

Penghormatan pemerintah dan rakyat Mesir kepada Bung Karno diabadikan dalam bentuk nama jalan di ibu kota Negeri Ratu Cleopatra, yang bertulis dalam bahasa Arab dan Inggris, “Syari` Ahmad Soekarno/Ahmed Sokarno Street” di Distrik Agouza, Kairo Barat.

Bung Karno memang memiliki kenangan indah di Negeri Piramida. Kenangan manis itu tercermin dalam kata-kata terakhir Bung Karno kepada Presdien Nasser saat meninggalkan Kairo menuju Jeddah, Arab Saudi, untuk ibadah Umrah, berbunyi: “Saya berharap bisa bertemu anda kembali dalam waktu dekat”.

Itulah sebabnya presiden pertama RI berkunjung ke Negeri Ratu Cleopatra itu sebanyak 6 kali yaitu pada 1955, 1958,1960, 1961, 1964, dan 1965.

Dalam bukunya Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku, yang diterbitkan oleh PT Del-Rohita karya Guntur Soekarno Putra, ada kisah lucu tentang kunjungan Bung Karno ke Mesir. Kala itu sudah malam hari, setelah melalui jadwal yang padat Bung Karno memutuskan untuk beristirahat. Namun selang beberapa lama, datanglah Sabur (ajudan Bung Karno) menghadap dan mengatakan ada utusan dari Nasser ingin menghadap.

Bung Karno yang diberitahu sempat marah-marah kepada Sabur karena keinginannya untuk beristirahat terganggu, namun beliau tidak bisa menolak karena yang datang utusan langsung pemimpin Mesir. Ketika menerima utusan tersebut, Bung Karno sempat terjadi misunderstanding, karena utusan tersebut menyampaikan undangan dari Nasser agar pemimpin Indonesia ikut untuk melakukan inspeksi.

Soekarno menyatakan keberatannya dikarenakan kelelahan yang dia rasakan kala itu, mengingat padatnya jadwal sebelum berkunjung ke Mesir tersebut. Namun, utusan tersebut tetap ingin meminta BK untuk datang ke inspeksi mendadak tersebut. Bung Karno sempat menolak keinginan pemimpin Mesir tersebut, namun penolakan tersebut berubah ketika tahu apa yang di inspeksi yaitu para penari perut di kota Kairo.

Ada kejadian khusus lainnya, tatkala Bung Karno menyelamatkan keberadaan dari universitas tertua di Mesir yaitu Universitas Al-Azhar. Jasa terbaik Bung Karno tersebut diungkapkan oleh Prof. Dr. Syeikh Aly Goumah, Sekretaris Jenderal “Haiah Kibaril Ulama”, suatu badan khusus di Al Azhar beranggotakan para ulama senior yang sangat berpengaruh.Dalam wawancara dengan jaringan televisi nasional Saluran-1 Mesir, Prof. Goumah mengemukakan bahwa Presiden Republik Indonesia Ahmad Soekarno menyelamatkan Al Azhar dari ancaman penutupan oleh Presiden Gamal Abdel Nasser. Ancaman penutupan itu, akibat Nasser melihat gelagat kalangan ulama Al Azhar bergabung dengan Ikhwanul Muslimin untuk merongrong kekuasaannya.

Menurut Syeikh Goumah, ketika Nasser berniat untuk menutup Al Azhar yang menghebohkan dunia Islam, Presiden Soekarno muncul untuk menyelamatkannya saat berkunjung ke Mesir. “Presiden Ahmad Soekarno dari Indonesia mempertanyakan niat Nasser tesebut dan mengatakan, ‘Ya Gamal, kenapa Anda mau menutup Al Azhar? Ya Gamal, Al Azhar itu terlalu penting untuk dunia Islam. Kami mengenal Mesir itu justru karena ada Al Azhar’,” kutip Syeikh Goumah. “Nasser menjawab, ya, mau bagaimana lagi? Lantas, Ahmad Soekarno menimpali, ‘Ya Gamal, tidak ada itu istilah penutupan, Anda wajib menata kembali Al Azhar, mendukungnya dan mengembangkannya, bukannya menutup’.