Koran Sulindo – Soal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi perbincangan banyak orang akhir-akhir ini. Bahkan, pada Selasa (17/1) diadakan focus group discussion (FGD) di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, dengan tajuk “Fatwa MUI dan Hukum Positif”. Penyelenggaranya adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
FGD tersebut dihadiri oleh Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian. Yang menjadi narasumber adalah pakar hukum tata negara yang mantan Ketua Mahkamah Konstiusi Mahfud M.D. dan Ketua Umum MUI K.H. Ma’ruf Amin. “Penting untuk dikaji agar kebinekaan kita terus terjaga dan tidak ada lagi grey area yang ada di masyarakat,” kata Tito dalam sambutannya. Ia berharap, dengan adanya FGD itu, Polri mendapat masukan agar dapat bertindak sebagaimana seharusnya.
Tito Karnavian berpandangan, fatwa yang dikeluarkan MUI akhir-akhir ini berpotensi menimbulkan gangguan pada stabilitas keamanan nasional. “Yang menarik belakangan ini ketika fatwa memiliki implikasi luas dan berpengaruh ke sistem hukum kita,” ujar Tito. Misalnya dikeluarkannya fatwa larangan penggunaan atribut Natal bagi pekerja beragama Islam, yang kemudian memicu berbagai aksi beberapa pihak yang melakukan sosialisasi di ruang publik hingga adanya aksi kekerasan di kafe. “Ini menunjukkan fatwa bukan lagi dianggap pandangan halal atau haram, tapi belakangan malah berkembang menjadi ancaman bagi keberagaman dan kebinekaan.”
Tito memberi contoh lain, yakni ketika ada isu dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Nonaktif Basuki T. Purnama alias Ahok, lalu MUI menerbitkan fatwa yang menyebutkan bahwa Ahok menistakan Alquran dan ulama. Fatwa tersebut, dalam pandnagan Tito, memiliki dampak yang besar karena memunculkan gerakan mobilisasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) dan membentuk opini masyarakat. “Akhirnya masyarakat termobilisasi, seperti aksi 411, 212, yang cukup banyak terpengaruh sikap MUI,” tuturnya. Padahal, tambahnya, fatwa MUI bukan hukum positif yang disahkan undang-undang.
Yang dimaksud dengan “411” adalah unjuk rasa yang diberi nama Aksi Bela Islam pada 4 November 2016. Akan halnya “212” adalah unjuk rasa pada 2 Desember 2016.
Menurut Tito lagi, fenomena tersebut menunjukkan fatwa MUI bukan lagi menentukan halal atau haram, tapi juga menimbulkan dampak sekunder, yakni mengancam kebinekaan serta keamanan dan ketertiban masyarakat. Walau GNPF MUI berhasil memobilisasi massa dalam aksi 212 dengan aman dan tanpa kericuhan, lanjut Tito, aksi tersebut menunjukkan adanya gerakan yang mengarah ke intoleransi, yang bertentangan dengan semangat kebinekaan. ”Membuka wacana baru tergerusnya mainstream Islam, menaikkan transnasional yang kurang pas dengan situasi kebinekaan kita,” tuturnya.
Ia pun meminta sejumlah pihak untuk tidak memanfaatkan MUI untuk mengeluarkan fatwa tertentu. “Kami menghormati MUI, tapi kami tidak menghendaki pihak tertentu memanfaatkan MUI mengeluarkan fatwa yang mengancam kebinekaan,” kata Tito.