Banyuwangi tempo dulu DOK. Banyuwangikab.go.id(DOK. Banyuwangikab.go.id)

Di balik keindahan alam dan kekayaan budaya yang menjadi ciri khas Banyuwangi, terdapat kisah heroik yang melibatkan darah dan air mata perjuangan. Banyuwangi bukan hanya sebuah wilayah geografis di ujung timur Pulau Jawa, melainkan juga saksi bisu perjalanan sejarah yang penuh liku.

Sebuah momen penting yang tercatat dalam sejarah menjadi tonggak lahirnya Banyuwangi seperti yang kita kenal hari ini. Perjalanan ini membawa kita pada sebuah peristiwa besar, yakni perang Puputan Bayu, yang mengukir nama Banyuwangi sebagai simbol keberanian dan keteguhan rakyat Blambangan.

Dilansir dari laman resminya, Banyuwangi, sebuah wilayah di ujung timur Pulau Jawa, memiliki jejak sejarah yang panjang dan penuh perjuangan. Berdasarkan catatan sejarah, tanggal 18 Desember 1771 menjadi momen penting yang kemudian diabadikan sebagai hari jadi Banyuwangi. Peristiwa ini merujuk pada puncak perang Puputan Bayu, sebuah perlawanan heroik rakyat Blambangan melawan dominasi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Dari Banyualit ke Puputan Bayu

Sebelum perang Puputan Bayu terjadi, Blambangan telah menjadi medan perjuangan panjang. Pada tahun 1768, Pangeran Puger, putra Wong Agung Wilis, memimpin serangan terhadap benteng VOC di Banyualit. Sayangnya, serangan tersebut tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Pasukan Blambangan mengalami kekalahan total, dan Pangeran Puger gugur dalam pertempuran tersebut. Nasib tragis juga menimpa Wong Agung Wilis, yang terluka, ditangkap, dan akhirnya dibuang ke Pulau Banda.

Kekalahan di Banyualit menjadi momentum bagi VOC untuk memperkuat pengaruhnya di Blambangan. Namun, semangat perlawanan rakyat Blambangan tidak pernah padam. Peristiwa ini menjadi bagian dari rangkaian perjuangan yang memuncak pada perang Puputan Bayu.

Nama Banyuwangi tak dapat dilepaskan dari keagungan Blambangan. Sejak masa pemerintahan Pangeran Tawang Alun (1655–1691) hingga Pangeran Danuningrat (1736–1763), Blambangan berhasil mempertahankan kedaulatannya. Bahkan ketika berada di bawah perlindungan Bali (1763–1767), VOC tidak menunjukkan minat untuk menguasai wilayah ini. Baru setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan pada tahun 1766, VOC mulai bergerak.

Keberadaan kantor dagang Inggris di Banyuwangi, yang saat itu dikenal dengan nama Tirtaganda, Tirtaarum, atau Toyaarum, menjadi pemicu utama ekspansi VOC. Banyuwangi yang telah berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan menarik perhatian VOC untuk segera merebut wilayah tersebut. Peperangan pun berlangsung selama lima tahun (1767–1772), dengan puncaknya pada perang Puputan Bayu.

Perang Puputan Bayu: Simbol Perjuangan dan Lahirnya Banyuwangi

Perang Puputan Bayu bukan sekadar pertempuran melawan penjajah, tetapi juga bagian dari proses lahirnya identitas Banyuwangi. Keberanian rakyat Blambangan dalam mempertahankan tanah air mereka menjadi simbol perjuangan yang abadi. Perang ini juga mencerminkan pentingnya Banyuwangi sebagai wilayah strategis dan pusat perdagangan pada masa itu.

Jika Inggris tidak mendirikan kantor dagangnya di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan segera melakukan ekspansi ke Blambangan. Dengan kata lain, perang Puputan Bayu merupakan peristiwa penting yang turut melahirkan Banyuwangi sebagai entitas yang dikenal hingga saat ini. Oleh karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi merupakan keputusan yang sangat rasional.

Sejarah Banyuwangi adalah kisah tentang perjuangan, keberanian, dan identitas. Dari perang Puputan Bayu hingga menjadi pusat perdagangan, Banyuwangi terus berkembang dengan semangat juang yang diwarisi dari para leluhur. Tanggal 18 Desember bukan hanya peringatan sejarah, tetapi juga pengingat akan nilai-nilai heroik yang membentuk Banyuwangi. Dengan memahami sejarah ini, kita dapat menghargai betapa besar perjuangan yang telah dilakukan untuk mewujudkan Banyuwangi yang kita kenal hari ini. [UN]