PROFESOR TJAN TJOE SIEM adalah seorang keturunan Tionghoa yang lahir di Solo pada tanggal 15 Februari 1903, dan besar dalam keluarga muslim taat.
Keluarga Tjan termasuk keluarga terkenal, salah satunya karena paman Tjoe Siem, yaitu Tjan Kong Sing, berjasa besar membantu Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa 1825 – 1830. Kong Sing kemudian berganti nama menjadi Prawirasetja dan menikah dengan salah satu kerabat Pangeran Diponegoro.
Tjoe Siem sempat menjalani pendidikan HCS (Hollandsch Chineesche School) Surakarta, kemudian melanjutkan pendidikannya di AMS (Algemeene Middelbare School) di Yogyakarta. Sebelum sempat menyelesaikan AMS, Tjan muda kembali ke Solo untuk melanjutkan bisnis batik “De Bliksem” milik keluarganya yang sebenarnya mengalami penurunan sejak berakhirnya Perang Dunia.
Tjoe Siem termasuk generasi pertama intelektual Indonesia yang berpendidikan luar negeri. Siem muda berangkat ke Universitas Leiden pada tahun 1930 setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya.
Di tahun 1940-an itu Universitas Leiden hanya mencatatkan dua nama etnis Tionghoa dari Indonesia, Tjan Tjoe Siem dan Tjan Tjoe Som. Keduanya kakak beradik. Siem dikenal sebagai javanolog dan islamolog, sedangkan Som sang kakak dikenal sebagai seorang sinologi sekaligus ahli hukum Islam yang sama-sama mengabdi di Universitas Indonesia sekembalinya dari Leiden.
Pada 1954 – 1958 Tjoe Siem menjadi guru besar Bahasa Jawa Modern di Jurusan Nusantara Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan menjadi dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1960–1965.
Gerakan 30 September/PKI menjadikan keahlian dirinya berada di titik terendah kehidupannya. Pada tanggal 10 November 1965 berdasarkan surat Dekan FSUI No: S/18/FS/XI/Pedek.II/65 mengenai pembebasan sementara dari segala tugas dan kewajiban di FSUI, serta surat rektor No: S/17/FS/XI/65 tertanggal 13 November 1965, Tjoe Siem bersama sang kakak Tjoe Som dinonaktifkan dari dunia akademisi.
Mereka kemudian disebut oknum-oknum kontrarevolusioner. Dalam seruan tersebut disebutkan kategori para oknum yaitu “…orang-orang yang menjadi ketua/anggota pengurus pusat HSI, anggota pimpinan Universitas Republica, pengajar Aliarham, Ronggowarsito, Multatuli, Universitas Rakyat dan Lekra.”
Sementara sang kakak dipecat dari posisinya sebagai guru besar di Universitas Indonesia karena dianggap berhubungan dengan salah satu gerakan underbouw PKI, Tjoe Siem pun didesak mengundurkan diri dari Fakultas Sastra.
Untunglah, emas tetaplah emas. Ia ditawari sebuah universitas di Singapura untuk mengajar. Karier Tjoe Siem pun berlanjut di Singapura, menjadi guru besar bidang ‘Malay Studies’ pada Universitas Nanyang–Singapura.
Pada tahun 1969, Siem menikah dengan Soelastri Soerowardoyo. Siem dan Soelastri sudah bersahabat sejak lama. Pada saat Siem menjadi dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1954, Siem dekat dengan Soelastri yang menjadi sekretaris fakultas. Perasaan Siem kepada Soelastri sempat terhalang karena Sulastri tidak diizinkan orang tuanya menikah dengan orang beretnis Tionghoa. Keduanya baru menikah setelah orang tua Sulastri meninggal.
Yang menarik, sehari-harinya Siem menjuluki Sulastri sebagai Dewi Sembodro (Subadra). Pernikahan itu pun membuat Siem kerap menyanyikan tembang tentang Dewi Subadra. Siem sendiri tidak hadir dalam akad nikah itu karena tengah berada di Singapura. Siem hanya mewakilkan dirinya dengan mengirim sebilah keris. Tak lama Sulastri menyusul ke Singapura sebagai istri. Penantian Prof Tjan Tjoe Siem untuk menikah dengan Sulastri pun selesai. Itu pula yang membuatnya dijuluki ‘Eeuwige de Bruidegom’ atau pengantin abadi.
Pada 1973 Tjoe Siem pensiun dan kembali ke Indonesia. Jiwa akademisinya mendorongnya untuk terus mengabdi di bidang Pendidikan. Ia diterima mengajar di IAIN Sunan Kalijaga pada 1978.
Tak lama kemudian, pada 30 Desember 1978, Tjan Tjoe Siem meninggal dunia di usia 69, saat mengambil air wudhu.
Tjan Tjoe Siem dimakamkan di Solo, berdampingan dengan Tjan Tjoe Som sang kakak yang meninggal lebih dulu, di tahun 1969.[S21]