Ir. Sukarno pada saat pidato ditengah puluhan ribu lautan massa. LIFE
Ir. Sukarno pada saat pidato ditengah puluhan ribu lautan massa. LIFE

Pada awal 1960-an minyak mencakup seperempat dari total ekspor RI. Industri ini didominasi multinational corporation atau MNC yang menanam modal 400 juta dollar AS dan diperkirakan melonjak ke satu miliar dollar AS tahun 1965.

Caltex Amerika Serikat (AS) menguasai 85 persen ekspor, Stanvac (AS) 5 persen, dan Permina 10 persen. Tahun 1963 total ekspor RI 94 juta barrel per tahun atau 1,7 persen dari konsumsi dunia.

Ekspor minyak dikuasai Shell (Belanda) yang per tahunnya 43 juta barrel-sementara Stanvac 10 juta barrel. Penerima terbesar adalah AS, Jepang, dan Australia.

Sejak tahun 1951, Bung Karno (BK) membekukan konsesi bagi MNC dan memberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1960.

UU ini menegaskan, “Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan negara.” Sejak merdeka, MNC berpegang pada “let alone agreement”.

Cara ini menghindari nasionalisasi, namun juga mewajibkan MNC mempekerjakan tenaga lokal lebih banyak lagi. Pembekuan konsesi membuat MNC kelabakan karena laba menurun dan produksi terhambat.

“Tiga Besar” (Stanvac, Caltex, dan Shell) meminta negosiasi ulang. BK menjawab, kalau MNC menolak UU No 44/1960, ia akan jual konsesi ke Jepang.

Maret 1963 BK mengatakan, “Saya berikan Anda waktu beberapa hari untuk berpikir dan saya akan batalkan seluruh kontrak lama jika Tuan-tuan tak mau terima tuntutan saya.”

Apa tuntutan BK? Ia minta Caltex menyuplai 53 persen dari kebutuhan domestik yang harus disuling Permina. Surplus produksi yang dihasilkan Tiga Besar harus dipasarkan ke luar negeri dan hasilnya diserahkan ke RI.

Caltex wajib menyerahkan fasilitas distribusi dan pemasaran dalam negeri dan biaya prosesnya diambil dari laba ekspor. Caltex juga menyediakan valuta asing yang dibutuhkan untuk biaya pengeluaran dan investasi modal yang dibutuhkan Permina.

Masih kurang, BK menuntut Caltex menyuplai kebutuhan minyak tanah dan BBM dalam negeri. Formula pembagian laba 60 persen untuk RI dalam mata uang asing dan 40 persen untuk Caltex dihitung dalam rupiah. Karuan saja Caltex panik dan minta bantuan Presiden John F Kennedy.

Mereka menilai tuntutan BK tak masuk akal dan bisa membuat Caltex bangkrut. Tadinya Washington DC menganggap BK gertak sambal.

Namun, waktu Presiden China Liu Shaoqi dan menteri Uni Soviet datang ke Jakarta membahas penjualan konsesi, mereka sadar BK tak main-main.

Duta Besar AS di Jakarta Howard Jones pusing. “Jika Tiga Besar keluar, AS tak punya pilihan kecuali membatalkan bantuan ekonomi. Jangan mengancam, BK tak bisa ditekan,” lapor Jones ke Kennedy.

Saat itu RI baru mau ikut program paket stabilisasi IMF yang ditawarkan Kennedy. Sehari setelah penandatanganan paket itu, BK menerbitkan “Regulasi 18” yang isinya tuntutan resmi dia.
BK tak mau paket stabilisasi dikaitkan dengan Regulasi 18.

Kennedy ketar-ketir dan segera mengirimkan utusan khusus, Wilson Wyatt, ke Tokyo, “mencegat” BK yang berada di Jepang.
Lewat negosiasi alot, BK dan Wyatt menyepakati sistem “kontrak karya” yang disahkan DPR, 25 September 1963. Intinya, RI memiliki kedaulatan atas kekayaan migas sampai ke tempat penjualan (point of sale).

MNC cuma kontraktor: Stanvac untuk Permina, Caltex untuk Pertamin, dan Shell untuk Permigan. Jangka waktu dan area konsesi dibatasi dibandingkan dengan kontrak-kontrak lama.
MNC menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun. Pembagian laba tetap 60:40, MNC wajib menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap dan menjual aset distribusi-pemasaran setelah jangka waktu tertentu.

MNC mau menerima karena yang penting batal kehilangan konsesi. Kennedy dan Kongres langsung menyetujui paket stabilisasi IMF, yang oleh BK diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Nasional (RPN) Ketiga yang berlaku delapan tahun (1961).

Tahap pertama RPN mencapai swasembada sandang-pangan, tahap kedua memulai industrialisasi. Jangan-jangan RPN jauh lebih baik dibandingkan dengan Repelita. Bandingkan kontrak karya dengan profit-sharing agreement (PSA) ala Orde Baru yang justru antinasionalisasi. PSA seolah menempatkan RI sebagai pemilik, MNC kontraktor.

Namun, pada praktiknya MNC yang mengontrol ladang yang mendatangkan laba berlipat ganda-mirip kolonialisme. PSA pernikahan ideal antara kontrak bagi hasil yang seolah menempatkan RI jadi majikan dan sistem kontrak berbasis konsesi/lisensi yang profit oriented.

RI seakan pegang kendali, padahal MNC-lah yang punya kedaulatan. “Klausul stabilisasi” PSA mengatakan UU RI tak berlaku bagi setiap kegiatan MNC dan tak bisa jadi rujukan jika sengketa terjadi-yang berlaku hukum internasional yang tak kenal kepentingan nasional.

“Cerita sukses” PSA ini yang dipakai MNC untuk menguras minyak Irak. Ironisnya BK malah dikagumi presiden yang bukan orang sini: Evo Morales. Populasi 100 juta, 70 persen di desa dan lebih dari 50 persen GNP berasal dari pertanian-dari industri 15 persen.

Utang luar negeri 2,5 miliar dollar AS walau inflasi membengkak akibat PRRI/Permesta, Konfrontasi, dan pembebasan Irian Barat. Tingkat melék huruf naik dari 10 ke 50 persen (1960).

Sukses BK lainnya yang sering disebut orang luar negeri adalah membenahi pendidikan karena kualitas kurikulum membuat generasi muda siap bersaing di tingkat internasional. Nah, ada pertanyaan?