TRAGEDI Talangsari 1989 digolongkan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah).
Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Aturan ini terwujud dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Komnas HAM mencatat tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa. ABRI juga membakar seluruh perabotan rumah warga sehingga situasi saat itu sangat mencekam. Dusun itu sempat disebut sebagai Dusun Mati dan orang-orang yang tinggal di sana mendapat sebutan sebagai “orang lokasi” sehingga mendapat diskriminasi dari penduduk sekitar.
Latar Belakang
Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menyetujui usulan Pemerintah Orde Baru untuk memberlakukan UU Nomor 3/1985 pada 19 Februari 1985. Undang-undang itu mengharuskan semua partai politik di Indonesia untuk berasas tunggal pancasila. Undang-undang itu menggantikan UU Nomor 3/1975 yang membolehkan partai mengusung azas lain selain pancasila.
Selain Pancasila, asas lain dilarang sejak 19 Februari 1985. Tidak hanya partai politik, seluruh organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia juga diwajibkan mengusung Pancasila sebagai asas tunggal. Keharusan itu, menurut Faisal Ismail dalam Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila (1999), didasarkan pada keluarnya Undang-undang Nomor 8/1985 pada 17 Juni 1985 (hlm. 206-207).
Tragedi Talangsari
Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi di desa Talangsari, Lampung. Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.
Pada tanggal 1 Februari 1989, ketika Kepala Dukuh Karangsari mengirimkan surat yang ditujukan kepada Komandan Koramil (Danramil) Way Jepara, Kapten Soetiman, yang menyatakan bahwa di dukuhnya ada orang-orang yang melakukan kegiatan mencurigakan. Yang disebut sebagai orang-orang itu adalah Warsidi dan kelompok pengajian yang menamakan diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, berlokasi di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah. Warsidi dan pengikutnya dianggap menjadi salah satu kubu yang ingin menegakkan “negara Islam” di Talangsari, Lampung.
Karena itu pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Berangkatlah sebuah rombongan dari Kantor Camat Way Jepara, menuju kompleks kediaman Anwar. dalam rangka melakukan klarifikasi atas sejumlah laporan dari warga Talangsari tentang keberadaan jamaah Warsidi yang dinilai aneh.
Sehari sebelumnya, tanggal 5 Februari 1989, Sukidi yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa (Kades), meneruskan informasi dari warganya kepada Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara), bahwa ada enam anak muda dalam balutan pangsi hitam dilengkapi senjata tajam seperti pedang, celurit, golok dan panah, seolah bersiap hendak berperang. Inilah salah satu keanehan jama’ah Warsidi yang dilihat warga Talangsari.
Terjadi kesalahpahaman di antara dua kelompok yang kemudian menyulut bentrokan. Kedatangan rombongan aparat sipil dan militer ini, oleh jamaah Warsidi dimaknai sebagai ajakan berperang. Mereka pun menyerang dan membunuh Kapten Soetiman. Tewasnya Soetiman menyebabkan tentara dari Korem Garuda Hitam 043 di bawah pimpinan Kolonel Hendropriyono, menyerbu Pondok Pesantren yang dipimpin Warsidi pukul 04.00 WIB.
Keterlibatan Militer dan Polisi
Tragedi Talangsari disebut Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu karena peristiwanya terjadi secara meluas dan sistematis yang berbeda dengan kejahatan biasa. Undang-undang No. 26 tahun 2000 pasal 9 tentang pengadilan HAM menyebut bahwa penyerangan terhadap kelompok sipil yang dilakukan atas perintah atau komando dari atasan militer maupun non militer dapat dikategorikan sebagai kejadian yang terjadi secara sistematis sehingga dapat disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pemerintah melontarkan banyak stigma terhadap aktivitas Jemaah kelompok Warsito dan mengambil tindakan represif untuk mengendalikan warga. Turunnya Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung) menyerbu Umbul Cihideung, dengan 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob mengakibatkan banyak korban jatuh. Usai serangan, menurut catatan KontraS, setidaknya 130 warga terbunuh, 46 orang mengalami penyiksaan, 77 orang mengalami pengusiran, dan 53 orang dirampas kemerdekaannya. Komnas HAM telah memasukkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat. [Ky]