ilustrasi. Menolak RKUHP
ilustrasi. Menolak RKUHP /ist

Di rapat kerja Komisi III DPR RI, Rabu (9/6), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menyebut pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sengaja dimasukkan ke Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dengan maksud bukan untuk membatasi kritik. 

Pasal ini, katanya, dimasukkan ke RKUHP sebagai penegas batas yang harus dijaga agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang beradab. Pasal itu harus dimasukkan dengan alasan, karena setiap orang memiliki hak hukum untuk melindungi harkat dan martabatnya.

Seperti contoh, bila ada pihak yang dihina oleh orang lain, maka secara hukum dia mempunyai hak menjaga harkat martabatnya. “Kalau ada yang menyerang harkat dan martabat saya, misalnya saya dikatakan anak haram jadah, nggak bisa itu,”ujarnya. Yasonna menganggap kritik semacam ini bukan lagi kebebasan. 

Lain soal, kata Yasonna, bila kritik ditujukan pada jabatan yang melekat pada seseorang. Namun, ini pun harus sesuai dengan tupoksinya. Karena itu, Yasonna memastikan, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sama sekali tak diniatkan untuk membatasi kritik. Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia membuka ruang atas kritik tersebut.

Sebagaimana diketahui, belakangan draft RUU KUHP menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat akibat keberadaan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini tertuang dalam Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden Bagian Kedua Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam Pasal 218 ayat 1 disebutkan bahwa: setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Sementara Pasal 219 berbunyi: setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. 

Lantas Yasonna berkaca pada kasus di Thailand. “Di Thailand lebih parah. Jangan coba-coba menghina Raja, itu urusannya berat,” ungkapnya. Di Jepang dan beberapa negara, pasal penghinaan kepala negara memang hal lumrah. 

Yahonna mengklaim, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di RKUHP ini berbeda dengan pasal sejenis yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. “Sekarang kan bedanya, ia menjadi delik aduan,” katanya.

Diketahui, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKUHP kembali menjadi polemik. Terlebih, pasal tersebut pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) saat dipimpin Mahfud MD pada tahun 2006 lalu melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. MK pada saat itu menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi. 

Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden tertuang dalam Pasal 218 hingga 220 bagian kedua penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden wakil presiden di BAB II Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam draf RKUHP terbaru.

Berikut bunyi sejumlah pasal tersebut:

Pasal 218

(1) Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempatkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 220

(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan bahwa kita harus melihat tiga aspek dalam jabatan publik. Pertama, jabatannya. Kedua, orang yang menjabat sebagai pejabat publik. Ketiga, pribadi pejabat publik. 

“Itu artinya pada terminologi presiden dan wakil presiden, tentu sepenuhnya ada di ranah publik,”kata Abdul Fickar Hadjar ketika dikonfirmasi wartawan Sulindo, Senin (11/10).

Bila ada keluhan keberatan atau bahkan cacian terhadap jabatan presiden dan wakil presiden, kata Fickar, itu harus dipandang sebagai keluhan ketidakpuasan atau kritik pada jabatan yang diciptakan untuk melayani publik. 

“Jadi, sudah tidak relevan, dalam negara demokrasi yang perkembangan masyarakatnya sudah terbuka, ada pasal yang melindungi jabatan,” ungkapnya.

Fickar pun lantas mencontohkan seperti orang yang menjabat jabatan publik presiden merasa dirugikan, ukurannya adalah apakah keberatan itu ditujukan kepada jabatan atau pribadi. Misalnya presiden hidungnya pesek, tangannya cacat dan sebagainya yang bersifat pribadi. Bila hal tersebut masuk ranah pribadi, maka orang yang menjabat presiden bisa mempersoalkan dengan mengadukan pencemaran nama baik yang secara umum ada pengaturannya, bukan aturan untuk presiden. 

Fickar mengingatkan, KUHP itu peninggalan penjajah Belanda yang sistem pemerintahannya kerajaan yang hanya bisa diganti jika meninggal dunia. Karena itu, lahirlah pasal yang melindungi Ratu yang kemudian diterjemahkan sebagai presiden yang jelas-jelas dipilih lima tahun sekali. 

“Jadi, pasal ini jelas-jelas tidak relevan dan bertentangan dengan iklim demokrasi,”tuturnya. Terlebih-lebih, MK telah mencabut pasal tentang penghinaan terhadap presiden-wakil presiden yang sebelumnya terdapat di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. 

Karena itu, penghidupan kembali pasal penghinaan, baik terhadap presiden-wakil presiden maupun pemerintah adalah suatu bentuk sikap melawan amanah putusan MK, yang berarti pembangkangan pula terhadap konstitusi. Terlebih, penghidupan kembali pasal-pasal tersebut semakin melegitimasi adanya pembungkaman terhadap freedom of expression setiap warga negara.

Bukan tidak mungkin, lanjut dia, delik penghinaan terhadap penguasa hanya akan menghambat berbagai kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah. Padahal, dalam negara yang demokratis, partisipasi publik menjadi kunci utama penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan, dan protes maupun kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari partisipasi publik.

Pasal-pasal RKHUP itu, kata dia, justru mencederai hak-hak konstitusional warga negara. Pasal ini sejatinya ditujukan untuk Kepala Negara bukan kepada Kepala Pemerintahan atau disebut lese majeste. Rumusan pasal tersebut sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda, yang pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda. [WIS]