Koran Sulindo – Empat bulan sebelum pemilihan presiden (pilpres) 2019, hasil temuan sejumlah lembaga survei kredibel, seperti Indikator Politik, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Indonesian Survey Institute (LSI) dan Kompas menunjukkan keunggulan mutlak pasangan Joko “Jokowi” Widodo-Ma’ruf Amin atas Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Dalam survei tersebut, Jokowi diprediksi akan mendulang lebih dari 50% suara pemilih, sedangkan Prabowo hanya mendapatkan 30%.
Pertanyaannya adalah apakah posisi elektabilitas tersebut akan tetap sama pada 2019? Apakah ada risiko politik yang bisa mengubah posisi elektabilitas kedua calon presiden (capres) tersebut?
Mengukur Peluang Kemenangan Jokowi
Kemungkinan menang Jokowi lebih tinggi ketimbang Prabowo apabila kita hanya melihat dari dukungan partai-partai politik. Jokowi didukung koalisi sembilan partai, sedangkan Prabowo hanya lima
Namun Jokowi belum tentu pasti menang.
Jokowi memang mendapatkan banyak pujian dari calon pemilih dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan, airport, dan pelabuhan, namun lawan-lawannya masih dapat menjatuhkannya dengan isu-isu lain.
Salah satunya adalah isu agama. Isu ini terbukti berhasil menggagalkan usaha mantan gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama untuk terpilih dalam pilkada tahun 2017.
Belajar dari kekalahan Ahok, Jokowi mengubah strateginya. Jokowi yang pada pilpres 2014 memakai isu-isu pluralisme dan hak asasi manusia dalam kampanyenya pada akhirnya memilih Ma’ruf Amin, pemimpin Majelis Ulama Indonesia yang konservatif dan juga merupakan Ra’is Aam (dewan penasihat) Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), sebagai calon wakil presidennya.
Ia juga berhasil membujuk anggota-anggota oposisi untuk pindah haluan, termasuk politisi Islam Ali Mochtar Ngabalin.
Ketika lawan-lawannya berusaha mempolitisasi isu-isu agama, seperti yang berkaitan dengan pembakaran bendera bertuliskan kalimat Tauhid, usaha mereka kurang berhasil berkat keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia.
NU mendukung pencalonan Jokowi karena mereka memiliki kepentingan yang sama untuk mencegah penyebaran kelompok-kelompok Muslim yang intoleran.
Selama Jokowi mampu menghindari kontroversi-kontroversi agama, dia akan terhindar dari nasib yang menimpa Ahok, dan sejauh ini Jokowi berhasil melakukannya.
Namun, isu ekonomi tetap menjadi ancaman. Jokowi dapat menang selama ekonomi dalam kondisi baik. Masalahnya, banyak faktor eksternal, yang berada di luar kendali Jokowi, yang dapat mengganggu perekonomian Indonesia, seperti perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina, krisis ekonomi di Turki, masalah di Uni Eropa yang disebabkan Brexit dan krisis anggaran belanja negara Italia.
Awal bulan September, nilai rupiah terhadap dolar sempat jatuh menembus batas psikologis Rp15,000 per dolar. Meski pada November nilai rupiah telah menguat karena masuknya investasi asing, nilai tukar rupiah masih berpotensi melemah karena ketidakpastian perekonomian dan perpolitikan global, dan hal itu dapat mengganggu prospek elektabilitas Jokowi.
Melemahnya nilai tukar rupiah ini memang tidak menimbulkan dampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok secara signifikan, tetapi daya beli masyarakat ikut menurun. Hal ini bisa memengaruhi peluang Jokowi untuk menang mengingat mayoritas pemilih sangat mencermati isu-isu ketersediaan/ kecukupan pangan.
Mengukur Peluang Kemenangan Prabowo
Prabowo sebetulnya bisa menang dengan cara sederhana: dirinya perlu lebih menyoroti kelemahan ekonomi Indonesia di bawah Jokowi.
Namun Prabowo tampaknya terkendala oleh blunder-blunder politik yang dibuatnya.
Kritik Prabowo terhadap kebijakan ekonomi Jokowi disampaikan secara agresif oleh pasangannya, seorang pebisnis yang terjun ke dunia politik, Sandiaga Uno.
Salah satu yang dilakukan Sandiaga adalah mempertanyakan mengapa ukuran tempe di pasar-pasar telah menipis seukuran kartu ATM. Serangannya terhadap kebijakan ekonomi Jokowi juga mencakup pernyataan bahwa uang Rp100.000 yang dia bawa ke pasar hanya dapat membeli cabe dan bawang merah.
Strategi Sandiaga adalah menciptakan kontroversi untuk menarik perhatian media dan media sosial demi kepentingan kampanyenya.
Pertama, strategi Sandiaga berhasil membuatnya disukai kaum milenial dan juga menunjukkan bahwa ia bukan hanya seorang pengusaha melainkan politisi juga.
Kedua, dan yang paling penting, Sandiaga menggiring perhatian publik dan pemerintahan Jokowi kepada masalah-masalah ekonomi yang disebabkan oleh melemahnya rupiah.
Tujuannya untuk mengikis elektabilitas Jokowi.
Namun, sejalan dengan pencapaian Sandiaga tersebut, Prabowo dan tim suksesnya malah membuat sejumlah blunder politik yang membahayakan prospek kemenangan mereka.
Salah satu blunder tersebut adalah menyebut Sandiaga sebagai santri lulusan pondok pesantren, yang merupakan pembenaran bagi keputusan Prabowo dalam memilih Sandiaga.
Dengan mengusung isu-isu keagamaan, kubu Prabowo pernah menyatakan bahwa mereka hanya memilih ulama sebagai kandidat wakil presidennya.
Faktanya, Sandiaga, yang walaupun seorang Muslim, tetapi mengenyam pendidikan di sekolah swasta Kristen dan kemudian melanjutkannya di Wichita State University dan George Washington University, Amerika Serikat.
Lebih jauh lagi, seolah tak cukup menyebut Sandiaga seorang santri, politisi pendukung Prabowo dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid, mendeklarasikan Sandiaga sebagai ulama.
Hal tersebut justru tidak membawa dampak positif melainkan membuat pencalonan Sandiaga menjadi bahan olok-olok dan menunjukkan bahwa uang memang bisa membeli segalanya–termasuk nilai diri seseorang dan gelar keagamaan.
Blunder besar lainnya adalah kebohongan yang disebarkan oleh salah seorang anggota penting (juru kampanye nasional) tim pemenangan Prabowo, Ratna Sarumpaet. Ratna menyatakan di hadapan media bahwa ia mengalami penyerangan yang dilakukan sekelompok orang tak dikenal saat berada di Bandung, Jawa Barat. Kabar serangan ini disambut kegemparan dimana kubu oposisi dengan segera bersatu membelanya dan menuding kubu Jokowi berada di balik peristiwa tersebut.
Tak lama, cerita Ratna itu terbukti dan diakui hanyalah kebohongan. Luka-luka di wajahnya merupakan akibat dari operasi plastik yang belum lama ia lakukan. Prabowo akhirnya meminta maaf atas ulah Ratna tersebut. Sayangnya, kasus Ratna sudah terlanjur mencederai kredibilitas kubu oposisi].
Tak berhenti sampai di situ, ada tiga blunder lainnya yang dilakukan Kubu Prabowo. Pertama, ketika Prabowo menjadikan masyarakat Boyolali, Jawa Tengah, sebagai bahan lelucon; kedua, saat Sandiaga dianggap tidak menghormati makam salah seorang tokoh besar Islam NU dengan melangkahi makam tersebut; dan terakhir, ketika Prabowo mengeluarkan pernyataan meremehkan para pengemudi motor dan taksi online.
Blunder-blunder tersebut mengalihkan kubu Prabowo dari misi utamanya karena membuatnya mereka menjadi terlalu sibuk meminta maaf.
Jika Prabowo terus mengulangi kesalahan-kesalahan politiknya, sulit baginya untuk menang meskipun dirinya memiliki kesempatan untuk menang, misalnya dengan memburuknya kondisi ekonomi Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi.
Pemenangnya adalah…
Saat ini, kemungkinan Jokowi untuk menang masih sangat tinggi, selama perekonomian dunia tidak memburuk dan selama dia mampu menghindar dari jebakan kontroversi-kontroversi pribadi maupun agama.
Yang terpenting adalah, ia harus berusaha agar masyarakat yang potensial mendukungnya tetap benar-benar memilihnya di pilpres 2019. Jokowi juga harus bisa meyakinkan dan merangkul para pendukung setianya yang kecewa atas pemilihan Ma’ruf Amin sebagai kandidat wakil presiden. Dengan demikian, Jokowi dan Ma’ruf Amin bisa memenangkan perolehan suara.
Sementara itu, kesempatan menang Prabowo memang sempit, namun bukan tidak mungkin. Yang Prabowo perlukan adalah lebih merangkul kelompok minoritas etnis dan agama, juga mengurangi pernyataan-pernyataan yang menyinggung Suku, Ras dan Agama (SARA) yang kerap dilontarkan kelompok pendukungnya, yang membuat kaum moderat dan minoritas tak mau memilih Prabowo-Sandi.
Lebih penting lagi, ia harus melaksanakan kampanye politik yang lebih disiplin dan terpadu untuk menghindari blunder-blunder politik. [Yohanes Sulaiman, pengajar di Universitas Jendral Achmad Yani Cimahi, Jawa Barat; Asrudin Azwar, pendiri The Asrudian Centre]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.