Ilustrasi/imexport.gov.lk

Koran Sulindo – Defisit neraca perdagangan Indonesia periode Juli lalu merupakan yang terbesar dalam 5 tahun terakhir, sejak Juli 2013, dan terbesar dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Secara keseluruhan defisit neraca perdagangan pada Januari-Juli 2018 tercatat sebesar 3,09 miliar dolar AS.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2018 tersebut berasal dari impor yang mencapai 18,27 miliar dolar AS sementara ekspor hanya sebesar 16,24 miliar dolar AS.

Defisit sebesar 2,03 miliar dolar AS itu dipicu defisit sektor migas 1,19 miliar dolar AS dan nonmigas 0,84 miliar dolar.

Defisit terutama disumbang tingginya impor sejumlah barang termasuk mesin mekanik dan peralatan listrik.

Peningkatan impor migas dipicu oleh naiknya nilai impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah, hasil minyak, dan gas masing-masing 81,2 juta dolar (15,01 persen), 382,4 juta dolar (28,81 persen) dan 11,7 juta dolar (4,29 persen).

Impor nonmigas menurut golongan barang yang terbesar berperan terhadap total impor nonmigas Januari-Juli 2018, yang pertama adalah golongan barang mesin dan pesawat mekanik yaitu perannya sebesar 16,78 persen.

Kemudian, golongan lainnya yang berperan terhadap total impor nonmigas Januari-Juli 2018 adalah mesin dan peralatan listrik (13,45 persen), besi dan baja (6,26 persen), plastik dan barang dari plastik (5,71 persen), serta bahan kimia organik (4,4 persen).

Sementara itu, golongan barang impor nonmigas yang mengalami penurunan terbesar adalah golongan gula dan kembang gula, serta bijih, kerak dan abu logam.

Tiga negara pemasok barang impor terbesar nonmigas selama Januari-Juli 2018 ditempati China dengan nilai 24,83 miliar (27,39 persen), Jepang 10,45 miliar dolar (11,53 persen), dan Thailand 6,34 miliar (6,99 persen).

Sedangkan bila dilihat secara organisasi regional, impor nonmigas dari ASEAN mencakup 20,55 persen, sementara dari Uni Eropa 9,27 persen.

Nilai impor semua golongan penggunaan barang baik barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal selama Januari-Juli 2018 mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu masing-masing 27,03 persen, 22,99 persen dan 30,44 persen.

Banyaknya impor bahan modal seperti permesinan serta plastik, besi dan baja, memang tinggi antara lain karena gencarnya pemerintah dalam rangka menggalakkan pembangunan infrastruktur di berbagai daerah.

Anomali

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan “rekor” defisit itu agak anomali karena impor barang bahan baku maupun bahan modal lebih banyak dilakukan sebelum terjadinya Lebaran maupun libur panjang.

“Jadi ada kegiatan impor, yang banyak dilakukan sebelum Lebaran dan libur panjang dan kemudian dikompensasi pada bulan Juli,” kata Menkeu, di Jakarta, Rabu (15/8/2018), seperti dikutip antaranews.com.

Menurut Sri, anomali itu perlu dikaji terlebih dulu sebelum pemerintah mengevaluasi data ekspor maupun impor secara keseluruhan.

Pemerintah menegaskan pengendalian neraca pembayaran harus dilakukan untuk mencegah terjadinya disrupsi terhadap perekonomian tanah air yang bersumber dari lingkungan global itu

Upaya untuk memperbaiki neraca pembayaran, mencakup neraca transaksi berjalan maupun neraca perdagangan, dilakukan antara lain dengan mengkaji ulang proyek infrastruktur pemerintah.

Pengkajian ulang itu untuk menekan impor bahan baku atau bahan penolong ini dilakukan tetap dengan mempertimbangkan nilai strategis maupun potensi penciptaan kesempatan kerja.

“Kami melihat kepada seluruh komponen impor proyek pemerintah, kemudian menggunakan komponen dalam negeri. Kami melakukan re-schedule dari proyek yang tidak memiliki dampak terhadap pertumbuhan terlalu besar,” katanya.

Upaya lain adalah menghentikan untuk sementara impor 500 jenis komoditas di sektor perdagangan maupun perindustrian, yang bisa diproduksi di dalam negeri.

Langkah lain untuk mengurangi impor terutama dari sektor migas adalah dengan memberlakukan penerapan bahan bakar sawit atau biodiesel (B20) yang saat ini sedang diupayakan oleh pemerintah.

Kemenkeu menyatakan hanya membatasi terhadap komoditas yang memiliki multiplier (effect) paling kecil terhadap pertumbuhan. Dengan demikian, walaupun import ditekan, momentum pertumbuhan ekonomi akan tetap relatif terjaga.

“Belakangan kita mengalami pelebaran di current account mencapai 3% di PDB. Ketika ekonomi dunianya bergejolak, terutama dipicu belakangan ini di Turki. Mereka banyak yang keluar dari Turki sehingga Turki mata uangnya melemah. Ini kemudian berimbas pada negara lain, termasuk Indonesia melalui sentimen negatif. Kita akan melakukan upaya khususnya di current account deficit,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (Kepala BKF) Suahasil Nazara, pada konferensi pers APBN KiTa Bulan Agustus 2018 di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (14/8/2018), seperti dikutip kemenkeu.go.id.

Data BPS

Sementara itu data lengkap neraca perdagangan RI, seperti dirilis bps.go.id, menyebutkan nilai ekspor Indonesia Juli 2018 mencapai US$16,24 miliar atau meningkat 25,19 persen dibanding ekspor Juni 2018. Demikian juga dibanding Juli 2017 meningkat 19,33 persen.

Ekspor nonmigas Juli 2018 mencapai US$14,81 miliar, naik 31,18 persen dibanding Juni 2018. Demikian juga dibanding ekspor nonmigas Juli 2017, naik 19,03 persen.

Secara kumulatf, nilai ekspor Indonesia Januari–Juli 2018 mencapai US$104,24 miliar atau meningkat 11,35 persen dibanding periode yang sama tahun 2017, sedangkan ekspor nonmigas mencapai US$94,21 miliar atau meningkat 11,05 persen.

Peningkatan terbesar ekspor nonmigas Juli 2018 terhadap Juni 2018 terjadi pada kendaraan dan bagiannya sebesar US$285,6 juta (67,50 persen), sedangkan penurunan terbesar terjadi pada bijih, kerak, dan abu logam sebesar US$86,0 juta (15,99 persen).

Menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari–Juli 2018 naik 6,80 persen dibanding periode yang sama tahun 2017, demikian juga ekspor hasil tambang dan lainnya naik 37,43 persen, sementara ekspor hasil pertanian turun 7,50 persen.

Ekspor nonmigas Juli 2018 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$2,19 miliar, disusul Jepang US$1,59 miliar dan Amerika Serikat US$1,56 miliar, dengan kontribusi ketganya mencapai 36,09 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) sebesar US$1,46 miliar.

Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada Januari–Juli 2018 berasal dari Jawa Barat dengan nilai US$17,40 miliar (16,69 persen), diikut Jawa Timur US$10,98 miliar (10,53 persen) dan Kalimantan Timur US$10,76 miliar (10,32 persen)

Sedangkan dalam hal impor, nilai Juli 2018 mencapai US$18,27 miliar atau naik 62,17 persen dibanding Juni 2018, demikian pula jika dibandingkan Juli 2017 meningkat 31,56 persen.

Impor nonmigas Juli 2018 mencapai US$15,66 miliar atau naik 71,54 persen dibanding Juni 2018, demikian juga jika dibanding Juli 2017 naik 29,28 persen.

Impor migas Juli 2018 mencapai US$2,61 miliar atau naik 22,20 persen dibanding Juni 2018 dan meningkat 47,09 persen dibanding Juli 2017.

Peningkatan impor nonmigas terbesar Juli 2018 dibanding Juni 2018 adalah golongan mesin dan pesawat mekanik US$1.096,3 juta (71,95 persen), sedangkan penurunan terbesar adalah golongan gula dan kembang gula sebesar US$35,8 juta (20,00 persen).

Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–Juli 2018 ditempat oleh Tiongkok dengan nilai US$24,83 miliar (27,39 persen), Jepang US$10,45 miliar (11,53 persen), dan Thailand US$6,34 miliar (6,99 persen). Impor nonmigas dari ASEAN 20,55 persen, sementara dari Uni Eropa 9,27 persen.

Nilai impor semua golongan penggunaan barang baik barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal selama Januari–Juli 2018 mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing 27,03 persen, 22,99 persen, dan 30,44 persen. [DAS]