Koran Sulindo – Jika Donald Trump berpikir ‘tekanan maksium’ Washingtong kepada Pyongyang berhasil memaksa Kim Jong Un melucuti program nuklirnya tentu saja itu omong kosong.
Sejatinya, alasan utama Republik Rakyat Demokratik Korea meninggalkan program itu karena Cina dengan tegas menolaknya.
Beijing yang merupakan mitra dagang terbesar Pyongyang menyodorkan dua pilihan kepada Kim, hentikan program nuklir atau menghadapi cekikan ekonomi dari Cina dalam jangka panjang.
Kim dengan bijak memilih yang pertama dan mundur dari ambisinya sebagai kekuatan nuklir.
Menghadapi putaran sanksi ekonomi yang dimotori AS, sejauh ini Pyongyang tak terlalu terpengaruh. Mereka mungkin tak bakal bergeming dan baik-baik saja jika Beijing tak bergabung.
Namun begitu Beijing setuju berpartisipasi, nasib Pyongyang sudah disegel. Tahun lalu mata uang DPRK anjlok drastis sementara ekspor-impor terpangkas hingga setengahnya dan ekonomi langsung terpukul begitu dalam. Cina secara efektif memotong aliran modal dan sumber daya vital ke DPRK.
Untuk memahami seberapa besar ketergantungan DPRK terhadap Cina lihatlah daftar berikut. Perdagangan dengan Cina mewakili 57 persen impor dan 42 persen ekspor DPRK. Ketika Cina menghentikan impor batubara dari DPRK sejak Februari 2017, pendapatan Pyongyang langsung menguap karena batubara selama ini menjadi andalan utama ekspor mereka.
Ketika Pyongyang masih cukup tangguh untuk bertahan, pada 28 September 2017 Cina memerintahkan semua perusahaan DPRK di Cina untuk berhenti beroperasi dalam 120 hari. Bulan Januari 2018, statistik menunjukkan perdagangan kedua negara jatuh pada level terendah sepanjang sejarah.
Itu bertambah berat bagi Pyongyang karena sebelumnya Beijing telah memutus akses ke perbankan asing ke DPRK dan berhenti mengucurkan dukungan keuangan.
Dapatkan sebuah negara bertahan dari pencekikan ekonomi macam itu oleh mitra dagang terbesarnya?
Baca juga
- Kim Jong un: Kami Tak Lagi Butuh Uji Coba Nuklir
- Trump: Pertemuan dengan Kim Jong Un, Mei atau Juni
- Cina Akui Pertemuan Xi Jinping dan Kim Jong Un
Jelas semua itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kampanye ‘tekanan maksimum’ yang digembar-gemborkan Donald Trump. Kim Jong Un benar-benar mengabaikannya. Denuklirisasi di Semenanjung Korea, benar-benar murni dilakukan Cina.
Ketika Cina bergabung dalam putaran sanksi ekonomi untuk mengucilkan DPRK, Kantor Berita Korea dengan keras mengkritik Cina dengan menyebut Beijing, “menari mengikuti irama AS sementara membela perilaku bermusuhan dengan alasan sanksi tidak dimaksudkan menyakiti rakyat Korea Utara, namun untuk menghentikan program nuklir.”
Tentu saja kemarahan Pyongyang bisa dimengerti. Namun Beijing jelas menunjukkan bahwa mereka sejak 2016 –jauh sebelum hubungan kedua negara itu memburuk- Menteri Luar Negeri Cina secara terbuka mengutuk perilaku DPRK.
“Kami sangat mendesak DPRK untuk tetap berkomitmen terhadap denuklirisasi di Semenanjung Korea dan berhenti mengambil tindakan yang akan membuat situasi menjadi lebih buruk.”
Peringatan itu kembali diulang Beijing setahun kemudian.
Cina menodongkan pistol ke Kim dan menunggu ia menyerah dengan program nuklirnya. Lalu apa yang didapat Kim sebagai imbalannya?
Baca juga
- Tahun 2018, Awal Damai di Korea?
- Korea Utara dan Korea Selatan Sepakat Akhiri Perang?
- Apa yang Dilakukan China Jika AS Serang Korea?
Tiba-tiba saja pada Maret 2018, Kim mendadak menggelar lawatan ke Beijing dan bertemu dengan pemimpin tertinggi Cina, Xi Jinping. Selama empat hari kunjungannya itu, Kim disambut karpet merah sekaligus dipaksa duduk membahas denuklirisasi sekaligus revitalisasi ekonomi.
Kepada Kim, Xi menawarkan integrasi ekonomi yang luas negeri semenanjung itu dengan Cina. Selain itu ia juga didorong untuk menormalkan hubungan dengan rekannya di selatan dengan jaminan denuklirisasi.
Tentu bukan kebetulan jika dalam beberapa minggu setelah pertemuan itu, DPRK secara dramatis mengubah posisi politiknya. Jelas, Cina berada di belakang keputusan Kim.
Denuklirisasi di Semenanjung Korea jelas masalah yang sangat kompleks. Kim jelas tak mungkin melepaskan program nuklirnya ketika ia membayangkan nasib Saddam Hussein di Irak atau Moammar Gaddafi di Libya. Tanpa nilai tawar apapun mereka segera ditusuk sampai lumat oleh AS dan sekutu-sekutunya.
Lalu mengapa Kim merasa harus berbeda dengan kedua tokoh itu jika ia mesti merelakan program nuklirnya. ? Jadi bagaimana Cina berhasil meyakinkan Kim agar tidak perlu khawatir?
Pertanyaan itu memang belum sepenuhnya terjawab, apakah Cina –dan mungkin Rusia- akan berdiri di belakang DPRK jika meraka diserang AS?
Jelas jaminan seperti itu tak akan pernah terjadi, namun tahun 2017 Beijing dengan tegas menyatakan jika DPRK meluncurkan rudal yang mengancam tanah AS terlebih dahulu dan AS membalas, Cina akan tetap netral.
Tapi jika AS dan Korea Selatan melakukan serangan dan mencoba menggulingkan rezim Korea Utara dan mengubah peta politik di Semenanjung Korea, Cina memastikan bahwa mereka bakal mencegah melakukan hal itu. (TGU)
Baca juga: