Koran Sulindo – Sebagai tokoh pergerakan yang menentang kekuasaan kolonial, penjara atau pembuangan konsukuensi. Semua tokoh pergerakan sadar risiko itu, termasuk Bung Karno sekalipun.
Bung Karno pertama kali berurusan dengan hukum dan aparatus Hindia Belanda ketika ditangkap tanggal pagi buta tanggal 9 Desember 1929 di Yogyakarta.
Ia segera dijebloskan ke ke Mergansan penjara untuk orang sakit, dan keesokan harinya diangkut mobil ke stasiun dan diboyong kereta ke Bandung. Ia dijebloskan ke Penjara Banceuy.
Penjara Benceuy kala itu adalah penjara kelas usang, bobrok dan kumuh yang dibangun pada abad 19. Penjara tersebut kala itu digunakan untuk mengurung dua jenis tahanan, tahanan pepetek dan tahanan politik. Pepetek merujuk pada ikan murah yang dimakan orang miskin. Sebutan khas itu juga untuk merujuk ransum tahanan yang berupa nasi beras merah dan sambal.
Jika para pepetek tidur di lantai, tahanan politik yang dianggap berkasta lebih tinggi disediakan sebuah ranjang besi berupa velbed. Ranjang yang hanya selebar satu oran itu dialasi tikar jerami setebal karton.
Di Banceuy, Bung Karno menempati sel selebar 1,5 meter. Tanpa jendela untuk mengintip keluara, sel hanya berupa tembok sampai langit-langit yang separuh ruang bahkan habis oleh velbed. Tempat itu gelap, lembek dan sumpek.
Pintu sel dari besi hitam yang kokoh dilengkapi sebuah lubang kecil untuk mengintip. Memiliki penutup di bagian luar pintu, lubang intip membuat penjaga bisa melihat ke dalam sedangkan tahanan tak bisa melihat mereka.
Begitu masuk Banceuy rambutnya langsung dipotong pendek hingga hampir gundul. Ia juga wajib mengenakan baju tahanan warna biru dengan sebuah nomor di punggungnya.
Masa-masa awal penahanan di Bancey, Bung Karno benar-benar diisolasi dengan dunia luar. Tak boleh menerima atau mengirim surat, menerima tamu dan bahkan bertemu sesama tahanan. Bung Karno dibiarkan begitu saja, Bung Karno baru diinterogasi beberapa hari kemudian.
Dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat tulisan Cindy Adams, Bung Karno menyebut pengalaman pertama masuk penjara itu benar-benar ‘meremukkan’. Sebagai orang yang menyukai kerapian dan lelaki yang selalu ingin memuaskan perasaan, ia benar-benar tak tahan dengan keterasingan, kekerasan, kekotoran, dan penghinaan-penghinaan paling rendah dalam kehidupan di tahanan.
“Yang paling menekan perasaan adalah pengasingan itu sendiri. Sering, saat malam telah larut, aku merasa seperti dimasukkan ke dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua sisi dari dindingnya,” kata Bung Karno.
“Aku sama sekali tidak suka dengan hal ini. Aku merasa tidak dapat bernafas. Kupikir lebih baik aku mati.”
Baru di hari ke-40 dalam kurungan, Bung Karno dibolehkan menerima tamu. Pengunjung pertamanya tentu Inggit Ganarsih, istrinya. Mereka bertemu di ruang tamu terpisah jala kawat dan penjaga yang berdiri disekeliling menatat apapun yang dikatakan mereka berdua. Belanda hanya mengizinkan mereka bertemu selama lima menit. Tak kurang juga tak lebih.
Menurut Bung Karno, selama ini kemanapun ia pergi Inggit selalu mengikutinya dan menganggapnya sebagai ‘jimatnya’. Di Yogyakarta saat Bung Karno ditangkap itu adalah kali pertama Inggit absen menemani.
Dikagumi sipir
Meski rata-rata pengawas penjara adalah orang-orang Belanda, di jajaran yang lebih rendah seperti para pemegang kunci sel hampir semua adalah orang-orang pribumi. Mereka berpihak kepada Bung Karno dan siap membantunya untuk urusan apapun.
Salah satunya di antaranya adalah Sariko yang bertanggung jawab menjaga blok tempat Bung Karno ditahan dan diam-diam menganggap Bung Karno sebagai pemimpin politiknya. Ia juga yang pertama kali membuka jalan dengan tawaran rokok untuk ‘bantuan-bantuan’ selanjutnya di Penjara Banceuy itu.
Setelah membuktikan kesungguhannya, pada suatu pagi Sariko berbisik kepada Bung Karno. “Bung, kalau Bung ingin aku menyelundupkan suatu pesan ke dalam atau ke luar penjara, beri tahu aku. Aku akan menjadi perantaranya. Inilah caraku mengabdi pada bangsaku.”
“Aku perlu koran Bung, carikan aku koran,” jawab Bung Karno dengan berbisik juga.
Tak butuh waktu lama, pada hari berikutnya setelah Bung Karno selesai mandi tangannya segera merasakan selembar koran terlipat dihanduk. Begitu juga hari-hari berikutnya, koran diterima Bung Karno ketika berbaring di velved atau terselip di bawah piring ransum makanan.
Meski mendapatkan koran adalah masalah, agar koran bisa dibaca semua tahanan juga masalah lain yang tak kalah pelik. Mengatasinya, Bung Karno akhirnya menemukan solusinya. Setelah berhasil menyelundupkan sebuah benang halus ke dalam sel, benang itu direntangkannya di atas tanah dan diulur dari ujung pintu sel ke ujung sel yang lain.
Indonesia Menggugat
Setiap Bung Karno selesai membaca, koran itu diikatnya pada benang itu dan berteriak “Aman” untuk memastikan tak ada penjaga yang mengintai. Dengan hati-hati, benang itu lantas ditarik dari satu sel ke sel yang lain. Meski kadang ‘penjaga’ memergoki aksi itu, biasanya mereka akan bertingkah pura-pura tidak tahu.
Delapan bulan setelah dibenamkan di Penjara Banceuy, perkara Bung Karno segera di bawa ke pengadilan. Resminya ia dituduh melanggar Pasal 169, 161, 171 dan 153 yang tergolong sebagai Haatzaai Artikelen, yang mencegah penyebaran rasa ‘benci.
Bung Karno menolak bantuan sahabatnya, Mr Sartono untuk melakukan pembelaan di pengadilan. “Sartono, aku hargai segala usahamu. Namun ahli hukum tak bisa menyimpang dari asas hukum, mereka harus taat pada hukum yang berlaku. Suatu revolusi menolak hukum yang berlaku sekarang dan bergerak dengan dasara untuk meninggalkanya. Jadi sulit melancarkan suatu revolusi bersama ahli hukum,” kata Bung Karno kepada sahabatnya itu.
Mempersiapkan pembelaannya, Bung Karno mendapatkan kertas dan tinta dari rumah. Sedangkan sebuah kamus didapat dari perpustakaan penjara. Namun, masalah lain segera timbul. Di dalam sel selain velved hanya ada WC. Itu adalah kotak kotak kaleng setinggi 60 cm yang menyebarkan bau tak sedap karena menjadi wadah bagi air kencing dan kotoran.
Selama satu setengah bulan, kotak itu segera naik pangkat menjadi meja tulis dan diangkat ke tempat tidur dengan dilapisi kertas tebal. Di atas velved itulah Bung Karno kemudian duduk tegak, dengan kaki bersila menulis pembelaannya.
Pembelaan itu merinci penderitaan rakyat yang terjerumus penjajahan Belanda selama tiga setengah abad. Pembelaan itu diberi judul Indonesia Menggugat.[TGU]