Sri Mulyani dan Bambang Brodjonegoro

Koran Sulindo – Bulan Desember 2017 tampaknya perlu dicatat dalam perjalanan sejarah negeri ini. Karena, setidaknya ada dua peristiwa yang bikin perasaan dan pikiran banyak orang Indonesia tak keruan. Peristiwa pertama: Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro tampak kebingungan dengan hasil dari upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi dan upaya penurunan kemiskinan. Karena, ternyata, hasilnya mengecewakan.

Diungkapkan Bambang, pemerintah sudah menempuh banyak cara untuk itu, baik lewat deregulasi maupun perbaikan serta penyederhanaan perizinan usaha. Namun, angka pertumbuhan ekonomi belum seperti yang ditargetkan. Padahal, beberapa tahun lalu, ketika harga komoditas melonjak, Indonesia bisa tumbuh mudah di atas 6%.

Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal ketiga 2017 baru tumbuh sekitar 5,03%. Padahal, pemerintah mematok target yang cukup tinggi, yakni 5,2% dalam APBNP 2017.

Angka kemiskinan pun begitu. Sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan, misalnya peningkatan belanja bantuan sosial dan perbaikan penyalurannya. Namun, sampai sekarang, angka kemiskinan belum juga turun ke bawah 10% dari total penduduk. “Saya sadari masih sulit untuk tumbuh sesuai harapan, tidak seperti era komoditas dulu, dan pertumbuhan tersebut ternyata juga tidak cukup mengurangi kemiskinan, ini yang sedang kami pelajari,” kata Bambang, 12 Desember 2017.

Kalau melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2017 lalu, angka kemiskinan malah mengalami peningkatan sebesar 5,67% dari Maret 2016. Per Maret 2017, penduduk miskin di Indonesia tercatat 27,77 juta orang atau kurang-lebih 10,64% dari jumlah penduduk Indonesia.

Peristiwa kedua: pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Magelang, Jawa Tengah, pada 16 Desember 2017 lalu. Ia bahkan dengan terang-terangan mengatakan kekhawatirannya atas tidak turunnya tingkat kemiskinan di daerah, padahal dana desa setiap tahun mengalami peningkatan, dari Rp 20 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp 60 triliun pada tahun 2017. “Ini sangat berbahaya, ketika dana desa semakin besar, angka penurunan kemiskinannya tak beranjak,” katanya.

Lalu, bagaimana tenggapan para ekonom terkait kondisi eknomi Indonesia? Setidaknya 100 ekonom Indonesia sepakat: ekonomi Indonesia belum tumbuh optimal.

Ke-100 ekonom itu memang sengaja berkumpul di Jakarta pada 12 Desember 2017 lalu untuk membicarakan kondisi ekonomi Indonesia yang membuat waswas. Itu sebabnya, mereka juga mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam membuat keputusan ekonomi, apalagi menjelang tahun politik, 2018 dan 2019.

“Tahun politik harus jadi momentum memacu perekonomian kita. Kami ingatkan ancaman ekonomi di tahun politik. Bukan bermaksud beri pesimisme atau sinyal negatif terhadap pertumbuhan ekonomi kita, tetapi mengingatkan,” kata Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati saat membuka pertemuan tersebut.

Dalam kesempatan itu, ekonom dari Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih, mengungkapkan, ekonomi Indonesia pada tahun 2018  belum cukup kuat untuk mengangkat pertumbuhan di atas 5,2%. “Karena ada potensi tahun depan pemerintahan daerah dan pusat kurang efektif karena akan ada pilkada dan pileg, juga menjelang pilpres. Investasi juga cenderung wait and see,” tuturnya.

Diproyeksikan oleh Lana, ekonomi domestik pada 2018 tidak akan melompat tinggi. Diperkirakan,  ekonomi tahun depan hanya bisa bertumbuh sebesar 5,15%.

Sementara itu, ekonom senior Indef Didik J. Rachbini mengatakan, 100 ekonom berkumpul itu untuk menyerukan kepada pemerintah bahwa permainan politik jangan sampai berpengaruh pada perekonomian. Karena, kalau permainan politik tidak beres, ekonomi akan jatuh juga. “Sebenarnya ini warning dari teman-teman ekonom bahwa ada ancaman ekonomi di tahun politik, jadi politik dan permainan politik itu jangan kasar, jangan merusak sistem. Karena politik itu seperti roller coaster, naik-turun. Kalau main politiknya akrobatik, tidak beres, ekonomi akan jatuh juga,” tutur Didik.

Kalau menteri-menteri bingung dan waswas seperti itu, bagaimana pula dengan masyarakat luas, terutama kalangan menengah ke bawahnya, yang penghasilannya pas-pasan meski telah bekerja mati-matian?  [RAF]