Nama sebenarnya adalah Ipih Abdul Hadi. Ketika ia jatuh cinta kepada Ratna Juami Ningsih, ia memakai nama samaran Hadi-Ratna, sebagai lambang persatuan antara Asmara Hadi dan Ratna Juami. Nama Hadi-Ratna menjadi populer dan dipendekkan menjadi HR. Ketika menulis di majalah Mandala, ia memakai nama samaran lain, yaitu Ibnu Fatah. Nama pena yang kemudian melekat dengan dirinya, ya Asmara Hadi.
Pengalamannya di bidang jurnalistik cukup panjang. Mula-mula ia menjadi staf redaksi Fikiran Rakyat, yang didirikan Bung Karno di tahun 1932. Tahun 1935 Asmara Hadi bekerja sebagai redaktur harian Bintang Timoer, yang dipimpin Parada Harahap. Lalu ia menjadi pemimpin redakdi Pelopor Gerindo, majalah yang terbit sepanjanng 1937 hingga 1938. Setelah itu, ia memimpin majalah Toejoean Rakjat, yang terbit sepanjang 1938-1941.
Dia juga pernah bekerja di Penerbit Pemandangan yang tidak lama kemudian bubar, lalu berganti nama menjadi Pembangoenan, di tahun 1943. Tapi Pembangoenan dilarang terbit pemerintah pendudukan Jepang. Asmara Hadi dan sejumlah wartawannya kemudian disalurkan ke Asia Raja, majalah yang didirikan pemerintahan pendudukan Jepang. Di sini ia sebagai penulis khusus mengenai kebudayaan dan filsafat. Ia juga tercatat sebagai pembantu tetap majalah Pujangga Baru, yang dipimpin Sutan Takdir Alisyahbana.
Di antara kalangan wartawan segenerasinya, Asmara Hadi termasuk yang paling banyak membaca buku-buku karya pemikir dunia: Marx, Henriette Roland Horst, Troelstra, Hendrik de Mann, Trotsky, Liebknecht, dan lain-lain. Bagi Asmara Hadi buku merupakan barang berharga. Sewaktu Yogyakarta diduduki Belanda, di tahun 1948, dan ia beserta keluarga harus meninggalkan kota itu, ia mengutamakan membawa buku, sementara pakaian hanya secukupnya.
Karangan yang ditulisnya beragam bidang kehidupan: politik, kebudayaan, prosa, puisi, dan lain-lain. Di kalangan rekan-rekannya, ia disebut memiliki beragam profesi: wartawan, sastrawan, ahli pikir, politikus, filsuf, dan juga seorang “pemimpi”.
Sebagai penyair, ia dikenal sebagai “Penyair Api Nasionalisme”. Memang puisi-puisinya kebanyakan menyuarakan tentang semangat perjuangan dan kebangsaan. Semangat perjuangan yang tak kunjung padam itulah yang, antara lain, melahirkan sajak “Kepada Diponegoro”. Asmara Hadi merasa terhina oleh ejekan orang Belanda, Vermijs, yang mengatakan bahwa Indonesia tidak akan merdeka. Hatinya terasa mendidih sehingga lahirlah sajak tersebut.
Semangat kebangsaan dalam puisinya terlihat melalui unsur-unsur romantik yang berpadu dengan patriotisme. Hal itu memberikan isi pada puisi-puisinya yang penuh harapan untuk masa depan bangsa Indonesia. Kejayaan tanah air selalu membayang di pelupuk matanya, kejayaan yang baru akan tercapai dalam alam kemerdekaan. Dia sadar bahwa kemerdekaan memerlukan perjuangan.
Puisi-puisinya yang menggambarkan semangat kebangsaan, antara lain adalah Bangsaku Bersatulah; Chandra Bhirawa; Sengsara Doenia; Kemenangan Pasti. Para kritikus yang membicarakan puisi-puisi Asmara Hadi, antara lain Teeuw dan J.U. Nasution. Teeuw menilai Asmara Hadi sebagai pembaharu dalam pemodernan bentuk dan isi sajak, termasuk penganjur realisme masyarakat (sosialis).