BKMarhaen
Pidato Bung Karno

Sulindomedia – Masa demokrasi parlementer tak berlangsung lama. Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret yang salah satu isinya adalah membubarkan Konstituante. Pada hakikatnya, pembubaran Konstituante ditujukan untuk menegaskan kekuasaan yang dimiliki Presiden Soekarno. Pemicu pembubaran adalah gagalnya Konstituante merumuskan undang-undang dasar negara.

Selanjutnya, pada tahun 1960, Presiden Soekarno membubarkan sejumlah partai politik. Ada beberapa pertimbangan yang menjadi dasar pembubaran partai politik itu. Dasar pertama pembubaran itu adalah keterlibatan partai politik dalam mendukung pemberontakan PRRI/Permesta di daerah-daerah. Yang termasuk kategori ini adalah Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Dasar kedua: partai-partai yang mendapat bantuan dana dari luar negeri. Dasar ketiga: partai-partai yang mendapat kurang dari empat kursi di parlemen dalam Pemilihan Umum Tahun 1955. Dasar keempat: partai-partai yang tidak mendukung penerapan Manipol/Usdek. Yang berhasil lolos dari saringan pemerintah itu hanya 10 partai politik, yaitu PNI, PKI, PSII, NU, Perti, IPKI, Murba, Partindo, Partai Katholik, dan Parkindo.

Di samping itu, pemerintah mencari wadah untuk memobilisasi semua kekuatan politik dibawah pengawasan pemerintah. Wadah yang berdasarkan pada Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) dibentuk pada tahun 1960 dan disebut Front Nasional.

Semua partai terwakili di dalamnya. Begitu pula kelompok-kelompok yang sebelumnya kurang mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses membuat keputusan, seperti golongan fungsional dan ABRI.

Selanjutnya, karena berpikir partai-partai akan menjadi penghalang dalam pelaksanaan konsep Manipol/Usdek, parlemen dalam Kabinet Karya yang waktu itu dipimpin Perdana Menteri Djuanda juga dibubarkan. Sebagai penggantinya dibuatlah parlemen gotong-royong atau DPRGR. Sebanyak 130 orang anggota DPRGR adalah wakil partai, 132 orang dari golongan fungsional, termasuk dari militer.

Dalam periode ini, PKI mampu menunjukkan gerak kepartaiannya. Melalui kehadirannya dalam Front Nasional yang berdasarkan Nasakom, PKI berhasil mengembangkan sayapnya dan memengaruhi semua aspek kehidupan politik: di parlemen, dalam massa, bahkan memasukkan pengaruhnya di tubuh angkatan bersenjata.

Para aktivis PKI terutama memainkan isu landreform yang didasarkan pada Undang-Undang Pokok Agraria yang dikeluarkan tahun 1960. Masa-masa itu dengan gencar para aktivis PKI melakukan gerakan yang kemudian dikenal dengan sebutan “aksi sepihak”. Bisa dikatakan, kekuatan partai politik masa itu hanya diwakili PKI, yang menjadi salah satu titik utama dalam segitiga kekuasaan: PKI-Presiden Soekarno-Angkatan Darat.

Secara umum, partai politik dibatasi ruang geraknya. Dihapuskannya perwakilan partai di kabinet  dan dikebirinya parlemen menutup kemungkinan bagi partai untuk membuat keputusan besar di tingkat nasional. Meskipun demikian, partai-partai politik terus bersuara dalam proses pembuatan keputusan di tingkat menengah dan bawah, baik di Jakarta maupun di daerah. Alasannya, tanpa sebuah organisasi politik yang kuat di belakangnya, Presiden Soekarno masih membutuhkan dukungan dari partai-partai politik dan para pengikut mereka di lingkungan birokrasi.

Peran PNI di pentas politik nasional bangkit kembali setelah Kongres IX di Solo, Juli 1960. Dalam kongres ini, yang terpilih sebagai ketua umum adalah Ali Sastroamidjojo, salah seorang pendiri PNI di masa pergerakan, yang juga dikenal dekat dengan Bung Karno. Dengan segera, DPP PNI di bawah kepemimpinan Ali Sastroamidjojo melakukan perubahan organisasi untuk memulihkan kewibawaan pimpinan pusat.

Partai juga membuka peluang bagi para aktvis muda yang berhaluan nasionalis-radikal untuk berkiprah di jajaran DPP, DPD, hingga ke tingkat cabang. Dengan begitu, perwakilan ormas dalam jajaran kepemimpinan partai meningkat pesat.

Peran kubu nasionalis-radikal semakin menguat setelah Kongres PNI X di Purwokerto, Mei 1963. Dalam kongres ini, Ali Sastroamidjojo kembali terpilih sebagai ketua umum. Dan sebagai Sekretaris Jenderal DPP PNI terpilih Surachman, tokoh muda yang sebelumnya aktif di Petani, ormas sayap PNI yang bergerak di kalangan petani.  Selain itu, beberapa tokoh GMNI juga masuk dalam jajaran DPP PNI, seperti Bambang Kushardono dan John Lumingkewas.

Kehadiran para tokoh muda dengan garis politik nasionalis-radikal ini membuat PNI semakin menggelora. Tema baru dalam propaganda dan indoktrinasi partai merefleksikan perubahan ini. Pidato-pidato para pemimpin partai pada waktu itu terpusat pada “kebutuhan kembali kepada kaum marhaen“, untuk membangun persatuan antara partai dan ormas di dalam Front Marhaenis yang kuat, serta tekad untuk menjadikan PNI sebagai partai pelopor.

Perkembangan ini memuncak saat dicetuskan “Deklarasi Marhaenis“ dalam pertemuan Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang, Bandung, November 1964. “Deklarasi Marhaenis” tersebut antara lain berbunyi sebagai berikut.

Bahwasanja perdjuangan untuk membela kaum Marhaen dan menentang musuh2nja, jaitu kapitalisme, nekolim, dan feodalisme adalah suatu perdjuangan jang paling terhormat, sutji, dan mulia.

Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis adalat alat bagi kaum Marhaen untuk memperdjuangkan dan merealisasikan tjita2ja jaitu: Kemerdekaan penuh, sosialisme, dan dunia baru.

Di dalam perdjuangan untuk merealisasikan tjita-tjitanya PNI/Front Marhaenis senantiasa mengintegrasikan perdjuanganja dengan garis dan kepemimpinan revolusioner Bung Karno/Bapak Marhaenisme/Pemimpin Besar Revolusi/Penjambung Lidah Rakyat.

Oleh karena itu, setiap Marhaenis harus senantiasa membadjakan diri dan mendidik dirinja di dalam teori dan praktek perdjuangan rakjat untuk dapat mendjadi Marhaenis jang lebih baik lagi, sebagai murid2 jang terbaik dan terperdjaja dari Bapak Marhaenisme Bung Karno, jang sekaligus djuga adalah perasan NASAKOM….

Tidak ada gerakan revolusioner tanpa didasari oleh teori perdjuangan jang revolusioner. Marhaenisme adalah suatu faham perdjuangan jang revolusioner berdiri di atas sendi2nja massa aksi jang revolusioner dan menghendaki sjarat2 perdjuangan jang revolusioner….

Retorika “Deklarasi Marhaenis” bukanlah sekadar tanggapan taktis terhadap iklim Demokrasi Terpimpin, melainkan merupakan tanda-tanda perubahan nyata sikap PNI terhadap isu-isu dasar yang berkembang saat itu. Jajaran kepemimpinan PNI mulai menatap kondisi-kondisi domestik serta kelompok yang dalam tingkah lakunya memberi peluang bagi imperialisme. Gerak politik PNI berhasil mengimbangi PKI dan tokoh-tokoh Angkatan Darat dalam pentas politik nasional.

Hubungan Presiden Soekarno dengan jajaran kepemimpinan PNI, terutama dari kalangan muda, semakin terjalin akrab. Pada April 1964, misalnya, suatu delegasi yang berjumlah 26 aktivis muda PNI diterima Bung Karno di Istana Negara untuk membicarakan usaha-usaha pengembangan partai. Bung Karno menantang mereka untuk menjadikan PNI sebagai “partai pelopor“.

Dan patut dicatat, dalam masa kepemimpinan Ali Sastroamidjojo-Surachman, PNI berhasil menyelenggarakan perayaan ulang tahun partai secara besar-besaran pada Juli 1965. Acara yang digelar di Stadion Senayan, Jakarta, itu berhasil menghadirkan sekitar 100.000 orang, yang bahkan mengalahkan acara yang digelar PKI sekalipun. Ketika Bung Karno hadir untuk memberikan pidato dalam acara tersebut, kata pertama yang diucapkannya saat melihat lautan manusia yang hadir adalah “Bukan main!“

Sayang, beberapa bulan kemudian, meletus Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau yang oleh Bung Karno disebut sebagai Gestok. Peristiwa ini merupakan titik balik kekuasaan Bung Karno. Dan, PNI sebagai pengikut setia ajaran Bung Karno terkena imbasnya. [Imran Hasibuan]