Pelantikan Kabinet Sjahrir

Koran Sulindo – Istilah makar atau kudeta kembali menjadi populer belakangan ini di Tanah Air. Dalam buku Political Order in Changing Societies (1968), Samuel P. Huntington memilah kudeta menjadi tiga: kudeta sempalan, kudeta wali, dan kudeta veto.

Kudeta sempalan dilakukan oleh sekelompok bersenjata yang dapat terdiri dari militer atau tentara yang tidak puas dengan kebijakan pemerintahan tradisional saat itu. Kemudian, mereka melakukan gerakan yang bertujuan menggulingkan pemerintah tradisional dan kemudian menciptakan elite birokrasi baru.

Sementara itu, kudeta wali dilakukan sekelompok orang dengan mengumumkan diri sebagai perwalian guna meningkatkan ketertiban umum, efisiensi, dan mengakhiri korupsi tapi pada kenyataan tidak akan ada perubahan yang mendasar pada struktur kekuasaan umumnya. Para pemimpin kudeta akan menggambarkan diri dan tindakan mereka bersifat sementara dan akan menyesuaikan dengan kebutuhan.

Yang ketiga adalah kudeta veto. Kudeta ini dilakukan melalui partisipasi dan mobilisasi sosial sekelompok massa rakyat dalam melakukan penekanan skala besar berbasis luas pada oposisi sipil.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, berbagai percobaan makar terhadap pemerintahan yang sah pernah terjadi. Tercatat percobaan makar atau kudeta pertama kali terjadi bahkan ketika negara ini baru setahun berdiri, yakni pada 3 Juli 1946. Ketika itu, Mayor Jendral R.P. Sudarsono, pelaku utama penculikan Perdana Menteri Sjahrir yang sehaluan dengan kelompok Persatuan Perjuangan, menghadap Soekarno bersama beberapa rekannya dan menyodorkan empat maklumat untuk ditandatangani presiden.

Pertama: Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir II. Kedua: Presiden menyerahkan pemimpin politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik. Ketiga: Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Dokter Boentaran Martoatmodjo, Mr. R. S. Budhyarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri. Keempat: Presiden mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat tersebut.

Presiden Soekarno, pihak pemerintah yang sudah jauh hari siap menghadapi pihak Soedarsono, tidak menerima maklumat tersebut dan memerintahkan penangkapan para pengantar maklumat. Akhirnya, percobaan pemebrontakan itu pun gagal karena partai-partai seperti Masyumi, PNI, dan PBI yang diharapkan mengerahkan mendukung dengan massa ke jalan-jalan untuk berpawai tidak menjalankan hal tersebut.

Pihak militer pun tidak memberikan dukungan. Terbukti dengan munculnya Soeharto yang ditugaskan langsung oleh Presiden Soekarno untuk menangkap Soedarsono dan yang terlibat dari pihak tentara dan polisi.

Pada akhirnya, Sjahrir berhasil dibebaskan dan Tan Malaka beserta kelompoknya masuk jeruji besi di Penjara Wirogunan, Yogyakarta. Sementara itu, 14 orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta diajukan ke Mahkamah Tentara Agung. Tujuh orang dibebaskan, 5 orang dihukum 2 sampai 3 tahun, sedangkan R.P. Sudarsono dan Muhammad Yamin dijatuhi hukuman selama 4 tahun penjara. Dua tahun kemudian, pada 17 Agustus 1948, seluruh tahanan Peristiwa 3 Juli 1946 dibebaskan melalui pemberian grasi presiden.

Latar belakang peristiwa pemberontakan itu berawal dari, perbedaan pemikiran yang frontal antara Perdana Menteri Soetan Sjahrir  dengan kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka. Terjadi insiden penculikan hingga upaya kudeta Kabinet Sjahrir II pada medio 1946. Pemicunya adalah ketidakpuasan pihak oposisi terhadap politik diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Belanda. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh, sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.

Ide penculikan Sjahrir berawal dari A.K Joesoef, Kepala Tentara Pendjagaan Kota (Jogjakarta), karena Sjahrir dianggap telah merugikan bangsa dengan hasil perundingannya. Karena Sjahrir pada waktu itu sedang ada di Solo, yang berarti di luar wilayah kekuasaan Joesoef, dia meminta surat perintah kepada Soedarsono, Komandan Batalyon 63 dan juga disetujui Panglima Divisi IV Kolonel Sutarto, yang merupakan tangan kanan Jendral Soedirman. Akhirnya, dari Soedarsono, ide itu merembet sampai ke penasihat- penasihat politik Soedirman dan sampai pada Yamin. Berbekal surat itulah A.K. Joesoef tak menemui halangan berarti dari Kepolisian Solo untuk melakukan penangkapan terhadap Sjahrir.