Koran Sulindo – Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, mengatakan norma Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 162 ayat 1 dan 2, mengandung ketidakadilan, ketidakpastian hukum, serta mengabaikan due procced of law.
Hal ini disampaikan di depan majelis panel Mahkamah Konstitusi (MK) yang memulai sidang pendahuluan, terkait uji materi KUHAP Pasal 162 ayat 1 dan 2.
Yusril bertindak sebagai kuasa hukum pemohon Izedrik Emir Moeis.
“Pada intinya kami ingin menunjukan pasal ini berisikan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, dan berisi juga pengabaian due of process of law,” kata Yusril saat membacakan pokok pemohonannya, dalam persidangan MK, di Jakarta, Rabu (4/10).
Selain itu, dengan keberadaan pasal tersebut, hak-hak konstitusional dari pemohon, secara tidak langsung hilang. Khususnya dalam proses mencari keadilan. Padahal di era teknologi keterangan saksi bisa didengarkan melalui tele conference.
“Hak-hak konstitusional pemohon secara tidak langsung telah dielemenir dengan berlakunya Pasal 162 KUHAP ayat 1 dan 2, yaitu menghilangkan due of process of law, dan kehilangan keadilan,” ujar Yusril.
Dalam petitumnya menegaskan pemohon mempunyai legal standing akibat mengalami kerugian secara konkrit. Dan pasal tersebut tidak membawa keadilan.
Petitum Alternatif
Dalam sidang pendahuluan, yang dipimpin oleh Ketua Hakim Panel Saldi Isra, memberikan kesempatan kepada hakim panel lainnya, untuk memberikan masukan.
Adapun hakim Manahan MP Sitompul, menyarankan Yusril dalam petitumnya untuk menjelaskan lebih jauh soal keberadaan pasal tersebut. Apakah memang harus dihilangkan, atau dipertahankan namun ada pemaknaan lebih jauh, khususnya menghadirkan saksi dengan cara lain, salah satunya tele conference.
“Berasal dari itu, saya mencoba sekiranya, apakah, ini sebagai alternatif ini, Pasal 162 ayat 1 dan 2 ini, misalnya dalam pemohonnya menyatakannya untuk tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, mungkin juga ada pemaknaannya. Kemudian ada pasal-pasal lain, itu bisa menjadi fokus kita untuk mengakomodir maksud pemohon ini. Apakah pasal 162 ini masih mungkin dipertahankan atau dihilangkan,” tutur Hakim Manahan.
Yusril mengajukan pertanyaan apakah boleh mengajukan petitum alternatif dalam pemohonan uji materi. Mendengar hal itu, Ketua Hakim Panel Saldi Isra, yang menjawabnya.
“Soal Petitum alternatif, memang ada beberapa petitum alternatif. Pada akhirnya kita memilih daripada alternatif itu. Ini kan mengantisipasi jika terjadinya kekosongan hukum,” tandas Saldi.
Usai menyatakan hal tersebut, sidang ditutup. Hakim Panel memberikan waktu 14 hari untuk perbaikan permohonan. Paling telat 17 Oktober 2017, Pukul 11.00 WIB diserahkan.
Pada 2004, Emir Moeis divonis bersalah dalam menerima suap dalam kasus Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung. Majelis hakim pada 2014 lalu memberikan hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider kurungan 3 bulan penjara.
Dalam persidangan kasusnya, Emir berkali-kali meminta jaksa penuntut umum (JPU) dan majelis hakim untuk menghadirkan Presiden Direktur Pacific Resources Inc., Pirooz Muhammad Sharafi yang berkewarganegaraan Amerika Serikat keturunan Iran. Bahkan, Emir Moeis sempat meminta digunakan tele conference. Namun, Pirooz tidak pernah hadir atau didatangkan. [CHA/DAS]