Bung Karno/LIFE

INDONESIA belum merdeka pada 1926 itu, bahkan bahasa dan bangsanyapun belum disepakati, tapi Soekarno yang masih berumur seperempat abad sudah membayangkan tanah air yang terhubung dari barat hingga ke timur.

“Pada waktu itu aku telah mimpi…membikin jalan kereta api dari Banda Aceh, namanya dulu Kutaraja, ke Selatan Sumatra, selulup dibawah Selat Sunda, muncul di Anyer, terus ke Timur sampai Banyuwangi, selulup dibawah Selat Bali, sampai di Gilimanuk terus ke Timur, selulup di bawah Selat Lombok…Melintasi Lombok, selulup lagi dibawah, sampai nanti menyeberang, sampai datang di Timur.”

Itulah kutipan beberapa pasasi pidato Bung Karno pada ramah tamah dengan karyawan Komando Proyek Conefo di Istana Negara, Jakarta, pada 7 Februari 1966.

Bung Karno juga membayangkan ada jalan darat dari ujung barat nusantara hingga je pojok timur Indonesia. “Tidak boleh berhenti naik auto satu kali masuk Banda Aceh, turun-turun dengan engkau punya pacar sudah di Timur Kupang.”

Hingga lebih 50 tahun kemudian mimpi Bapak Bangsa itu masih belum bisa dilewati anak-anak bangsa. Rel kereta api dari Aceh ke Sumatera Utara masih sedang dibangun. Tak ada terowongan bawah laut yang menghubungkan Pulau Sumatera ke Jawa ke Bali, dari pulau dewata ke Lombok, dari Lombok hingga Kupang.

Dan muncullah sosok Bung Besar itu dalam penutup pidatonya itu, seorang yang selalu berpikir besar, berbicara besar, bermimpi besar.

“Bikin negara tidak kecil-kecilan, bikin bangunan tidak kecil-kecilan, bikin cipta tidak kecil-kecilan. Cipta segala cipta,” kata Bung Karno.

Tahun-tahun itu proyek-proyek mercusuar antara lain monumen nasional (Monas), toko serba ada Sarinah, dan Planetarium di Cikini mulai dikecam.

“Tidak perlu monumen, yang perlu beras?” tanya Soekarno di ujung kekuasaannya pada 1966 ketika mahasiswa yang disorong tentara turun ke jalan berunjuk rasa menentang kebijakannya.

Kepada mereka Bung Karno mengatakan Monas dibangun bukan dengan bujet negara, tapi sumbangan dari pengekspor kopra dan karcis bioskop.

“Monumen itu celana. Celana bagi bangsa yang sedang melakukan revolusi,” kata si Bung.