Ilustrasi/nu.or.id

DUNIA sepak bola Indonesia mungkin akan mempunyai catatan manis masuk ke kancah Piala Dunia jika bukan gara-gara Israel. Ceritanya, pada 1957 itu kesebelasan Sang Merah Putih berpeluang lolos ke putaran final Piala Dunia 1958 di Swedia.

Pada pertandingan perdana babak kualifikasi Asia di Stadion Ikada, Jakarta, pada 12 Mei 1957, Indonesia menggulung Cina dalam partai perdana dengan skor 2-0. Cina membalas dalam pertarungan sengit yang digelar di Heaven Temple, Peking, Cina. Ramang dan kawan-kawan kalah tipis 4-3. Dalam Laga play-off di Yangon, Myanmar, keduan negara berbagi hasil imbang 0-0. Indonesia lolos berkat selisih gol.

Babak selanjutnya, Indonesia tergabung bersama Israel, Sudan, dan Mesir. Di fase inilah masalah muncul. Indonesia yang secara resmi tidak mengakui kedaulatan negara Israel tak mau bertanding di negeri itu dan meminta pertandingan digelar di tempat netral. Badan sepak bola dunia, FIFA, menolak. Indonesia memilih mundur, dan lenyaplah peluang Indonesia bertarung di Piala Dunia.

Dunia sepakbola Indonesia tahun-tahun itu disegani, dan sempat berjuluk Macan Asia. Saat itu China, Jepang, dan Korea Selatan termasuk lawan mudah bagi pasukan asuhan Antony Pogacknik itu. Israel? Indonesia unggul segala-galanya di atas kertas melawan negeri zionis.

Bung Karno

Kebijakan anti-Israel lahir di Indonesia sekitar Juni 1952, ketika pers dunia Arab dan Pakistan, mengutip kantor berita Antara, memberitakan pemerintah Indonesia tidak akan mengakui Israel karena mayoritas penduduk Indonesia Muslim. Indonesia juga mempertimbangkan dukungan negara-negara Arab semasa perjuangan kemerdekaan RI.

Soal dukungan negara Arab ini, berdasar catatan sejarah, justru Palestina adalah negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan dan kedaulatan RI.

Dari berbagai sumber yang diperoleh, setelah memerdekakan diri pada 1945, Indonesia membutuhkan pengakuan dari bangsa-bangsa lain. Genderang dukungan pertama pada kemerdekaan Indonesia tersebut dimulai Palestina.

Seperti bisa dibaca pada buku karya M. Zein Hassan, Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri; penerbit Bulan Bintang Jakarta; 1980), dukungan pertama atas kemerdekaan Indonesia dilakukan Palestina, diwakili oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, mufti besar Palestina, pada 6 September 1944.

Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ itu dua hari berturut-turut, bahkan dikutip harian “Al-Ahram” Mesir yang terkenal akurat. Mesir kemudian juga mengakui Indonesia setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Ketika terjadi serangan Inggris ke Surabaya pada 10 November 1945 yang menewaskan ribuan penduduk, unjuk rasa besar-besaran anti Belanda dan Inggris meledak di Timur Tengah. Shalat ghaib dilakukan puluhan ribu orang di lapangan-lapangan dan masjid-masjid di dunia Arab.

Lalu ketika Belanda melakukan agresi militer ke-1 pada 21 Juli hingga 9 Agustus 1947. Warga Mesir menduduki kapal “Volendam” milik Belanda yang mengangkut serdadu dan senjata ke Indonesia tapi singgah sebentar di Port Said. Ribuan orang, terutama buruh-buruh pelabuhan Mesir mengepung kapal itu. Menaiki puluhan motor-boat dan mengibarkan bendera Merah Putih, mereka menghalau kapal-kapal perusahaan asing yang menyuplai air dan makanan untuk kapal Belanda itu.

Wartawan ‘Al-Balagh’ dalam penerbitan edisi 8 Agustus 1947 menuliskan,”Motor-motor boat yang penuh buruh Mesir itu mengejar motor-boat besar itu dan sebagian mereka dapat naik ke atas deknya. Mereka menyerang kamar stirman, menarik keluar petugas-petugasnya, dan membelokkan motor-boat besar itu ke jurusan lain.”