Ilustrasi: Belum pahlawan. Acara mengenang Ali Sastroamdijojo, mantan Perdana Menteri RI dan Ketua Umum PNI

Koran Sulindo – Setiba di tanah air dari menerima penghargaan Knight Grand Cross in the Order of Bath dari kerajaan Inggris, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menggelar rapat terbatas di bandar udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, awal November 2012 itu. Tak lama hasil rapat keluar: Presiden dan wakil presiden pertama RI, Soekarno dan Mohammad Hatta, akan dianugerahi gelar pahlawan nasional, dan dilaksanakan esok paginya dalam sebuah upacara kenegaraan di Istana Negara.

Presiden SBY yang terkenal peragu dan lamban mengambil keputusan hari itu terlihat begitu cergas. Namun, sebenarnya, keputusan SBY hari itu tak penting-penting amat. Karena, tanpa pentahbisan itupun kedua proklamator itu otomatis sudah menjadi pahlawan nasional sejak 3 tahun sebelumnya. Dalam penjelasan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan disebutkan “Pahlawan Nasional’ adalah gelar yang diberikan oleh negara yang mencakup semua jenis gelar yang pernah diberikan sebelumnya, yaitu Pahlawan Perintis Kemerdekaan, Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Proklamator, Pahlawan Kebangkitan Nasional, Pahlawan Revolusi, dan Pahlawan Ampera.

Sebelumnya, Soekarno-Hatta pernah dianugerahi gelar Pahlawan Proklamator oleh Orde Baru, sebagai satu paket, melalui Keputusan Presiden pada 23 Oktober 1986.

Yang mungkin mengagetkan banyak orang saat itu adalah kenyataan pedih ini: Bung Karno, orang yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk negeri ini, yang bahkan sudah mendirikan partai berembel-embel Indonesia pada 1927 dan membuat pledoi berjudul Indonesia Menggugat pada 1930 sebelum negara-bangsanya ada, ternyata baru diakui sebagai pahlawan nasional sekitar 40 tahun setelah kepergiannya.

Seperti ada yang salah pada bangsa dan negara ini dalam memperlakukan warga negara terbaiknya untuk bisa mendapat gelar pahlawan nasional secara resmi. Sejak anugerah ini dimulai Presiden Soekarno pada Agustus 1959, sudah sebanyak 169 orang tercatat dalam tinta emas mendapat gelar itu, seperti bisa diakses di k2ks.kemsos.go.id.

Dari nama-nama itu, hampir seperempatnya berlatar belakang menyandang bedil sewaktu hidup, dan lebih separuh adalah nama-nama yang hidup ketika Indonesia belum merdeka atau malah belum dipikirkan.

Dari nama-nama itu, tokoh-tokoh pergerakan yang ikut berjuang merintis kemerdekaan dalam lapangan politik, yang memiliki mimpi yang sama dengan Bung Karno membentuk nasion baru seperti Ali Sastroamijoyo, Supeni, Surachman, dan sederet kaum nasionalis lainnya tak ada dalam daftar itu. Ali Sastro, misalnya, seharusnya dicatat berjasa besar mensukseskan Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung yang makin mempopulerkan nama Indonesia ke seantero dunia. Ingat negara baru tersebut saat itu masih berusia 10 tahun.

Supeni adalah kepanjangan kaki Bung Karno jika tak bisa datang sendiri ke negara lain. Dengan membawa surat dari Presiden RI, Supeni menjalinkan hubungan negeri baru ini dengan banyak negara tua ke Asia Timur bahkan hingga ke ujung Afrika.

Jika dibaca satu-satu sejak 1959 hingga 2016, dengan asumsi kaum nasionalis adalah mereka yang ikut aktif dalam pergerakan nasianal menjelang dan setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, tanpa harus bergabung dengan organisasi nasionalis, dari 169 pahlawan nasional itu, hanya 13 nama kaum nasionalis; 2 nama diputuskan melalui Keppres.

Memang kaum nasionalis tersingkir dan disingkirkan selama lebih 30 tahun pemerintahan Orde Soeharto sejak 1967-1998. Apapun yang berbau Soekarno dan gagasannya tak memperoleh tempat. Namun setelah proses reformasi dan golongan ini boleh berorganisasi bebas lagi, terutama setelah kelahiran kembali Partai Nasionalis Indonesia Bung Karno dalam bentuk PDI Perjuangan, nama-nama mereka yang gugur dengan jubah nasionalis masih tak mendapat tempat di situ.

Apa yang salah? Barangkali adalah prosedur penetapan menjadi pahlawan nasional, yang mewajibkan nama-nama harus diajukan oleh daerah yang bersangkutan, melalui dinas sosial setempat. Dari situ nama-nama diuji Peneliti, Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) tingkat Provinsi, lalu ke Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), baru ke Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

Sebelum sampai ke presiden, harus ada buku biografi calon Pahlawan Nasional yang diusulkan, hasil penelitian, dan dibuat seminar usulan. Setelah proses ini selesai, sang calon pahlawan harus mempunyai dokumen-dokumen antara lain daftar dan bukti tanda kehormatan yang pernah diterima/diperoleh, foto calon Pahlawan Nasional berukuran 5 R sejumlah 3 lembar. Dia juga harus telah diabadikan namanya melalui sarana monumental sehingga dikenal masyarakat, dan terakhir harus punya buku biografi yang tercetak. Ruwet dan mencapekkan.

Mungkinkah harus kembali menyontek zaman Bung Karno ketika keputusan resmi menjadi pahlawan nasional cukup dengan selembar Surat Keputusan Presiden seperti pahlawan pertama Abdul Muis? [Didit Sidarta]