Di Jepang, ada sebuah teknik kuno bernama Yakisugi, yang memanfaatkan api bukan untuk menghancurkan kayu, tapi justru untuk menjaganya. Api, yang biasanya identik dengan kehancuran, dalam teknik ini diperlakukan sebagai cara yang mampu menguatkan, melindungi, dan memperindah kayu.
Yakisugi bukan sekadar soal membakar kayu hingga menghitam. Ia adalah warisan budaya, lahir dari kearifan yang sederhana namun mendalam, bahwa alam bisa bekerja sama dengan manusia jika diperlakukan dengan bijak. Kayu yang dibakar tidak habis menjadi abu, melainkan berubah mendapatkan kulit baru berupa arang yang membuatnya tahan terhadap cuaca, rayap, bahkan waktu.
Yakisugi juga banyak diminati tak hanya di Jepang tapi juga di berbagai belahan dunia. Rumah-rumah modern, kafe, hingga ruang-ruang kecil yang hangat mulai dihiasi dengan kayu hitam yang terlihat seperti bekas kebakaran namun memesona.
Lalu, seperti apa sebenarnya proses Yakisugi? Di rangkum dari berbagai sumber, berikut rincian tentang sejarah, proses pembuatan hingga kelebihan Yakisugi.
Jejak Tradisi dalam Bara Api
Yakisugi berasal dari Jepang bagian barat dan telah digunakan selama ratusan tahun, terutama untuk melapisi eksterior rumah-rumah tradisional di daerah pesisir yang rentan terhadap cuaca ekstrem. Kata Yakisugi sendiri berarti “membakar (yaki) kayu cemara Jepang (sugi)”.
Prosesnya terlihat sederhana, namun membutuhkan keterampilan dan ketelitian. Kayu yang digunakan biasanya kayu sugi atau cemara Jepang akan dibelah, kemudian permukaannya dibakar hingga membentuk lapisan arang tipis.
Setelah pembakaran, kayu didinginkan, disikat untuk menghilangkan sisa arang yang rapuh, lalu dipoles dengan minyak alami seperti minyak linseed atau tung. Hasilnya adalah kayu berwarna gelap dengan tekstur eksotis menyerupai kulit reptil, yang indah sekaligus tahan lama.
Lapisan arang hasil pembakaran pada permukaan kayu ternyata bukan sekadar hiasan. Ia menjadi perisai alami yang membuat kayu tahan terhadap berbagai ancaman lingkungan. Mulai dari serangan rayap, jamur, cuaca ekstrem, bahkan api semuanya dapat diredam oleh lapisan karbon yang terbentuk.
Salah satu keunggulan utama Yakisugi adalah daya tahannya yang luar biasa. Sementara kayu biasa bisa rusak dalam waktu 20 hingga 40 tahun, kayu yang diolah dengan teknik Yakisugi dapat bertahan hingga ratusan tahun tanpa perlu bahan pengawet kimia atau perawatan intensif.
Estetika dan Keberlanjutan
Tak hanya unggul dari sisi fungsionalitas, Yakisugi juga menawarkan nilai estetika yang khas. Warna hitam alami, corak arang yang tidak seragam, serta sentuhan kilau minyak alami menjadikannya material favorit untuk arsitektur modern dan kontemporer. Tampilan ini menyatu sempurna dalam gaya desain minimalis yang menekankan keindahan alami dan kehangatan material.
Lebih dari itu, Yakisugi adalah pilihan yang ramah lingkungan. Karena tidak menggunakan bahan kimia dalam proses pengawetannya, ia menjadi alternatif berkelanjutan di tengah meningkatnya kesadaran terhadap isu lingkungan dalam dunia konstruksi dan desain.
Penggunaan Yakisugi tidak terbatas pada rumah tradisional Jepang. Kini, teknik ini telah diterapkan di berbagai belahan dunia, dalam desain rumah, bangunan publik, hingga hotel dan restoran. Kayu Yakisugi banyak digunakan untuk eksterior seperti dinding luar rumah, fasad bangunan, pagar, dan pelapis atap.
Selain itu bisa juga untuk interior seperti panel dinding, langit-langit, dan furnitur seperti meja, kursi, lemari. Tidak jarang juga sebagai dekorasi yang menambah elemen artistik dalam ruangan seperti bingkai, papan nama, dan rak.
Ketahanannya terhadap cuaca tropis menjadikan Yakisugi sangat cocok untuk iklim Indonesia. Dengan kombinasi kekuatan, keindahan, dan nilai tradisi, tak heran bila teknik ini semakin diminati oleh arsitek dan desainer masa kini.
Yakisugi membuktikan bahwa tradisi tidak selalu harus ditinggalkan demi kemajuan. Justru, dalam kesederhanaannya, teknik ini mengajarkan bahwa alam menyediakan cara-cara alami untuk melindungi dan mempercantik asal kita tahu bagaimana memahaminya. [UN]