Koran Sulindo – Dari tahun 1864 hingga 1889, Alexander Oltmans duduk sebagai Presiden Komite Jawatan Kereta Api Hindia Belanda di Semarang. Selama seperempat abad masa jabatannya di tanah kolonial, ia beranak dan bercucu. Willem Oltmans adalah cicit Alexander Oltmans.
Dalam bukunya In Het Land Der Blindens, Willem Oltmans bercerita bahwa nenek moyang dari pihak ibunya membawa pohon yang kulitnya dipakai untuk membuat obat malaria, kina, dari Bolivia ke Hindia Belanda. Kakeknya, Ir.H.van der Woude, adalah salah satu pendiri pabrik kina di Maarsen yang bahan bakunya didapat dari Hindia Belanda.
Willem Oltmans mengaku latar belakang keluarga kolonial yang khas ini telah memasukkan keterikatan dengan Indonesia ke dalam gennya.
Pendidikan di Institut Pelatihan untuk Luar Negeri, Belanda, kemudian ilmu politik dan Hubungan Luar Negeri di Yale College di New Haven, Connecticut, logisnya akan membawanya ke Kementerian Luar Negeri. Namun, sebagai orang yang berpikiran bebas dan mandiri, ia sadar akan sulitnya mengatasi berbagai macam halangan dalam menjalankan tugas sebagai diplomat Den Haag.
Ketika terjadi agresi militer Belanda kedua, Desember 1949, Oltmans menganggap dirinya masih “hijau” dalam politik dan dengan membuta mengikuti slogan right or wrong, my country. Tidak aneh kalau Bung Karno merupakan tokoh Republik yang negatif baginya.
Awal Juni 1956, Oltmans berada di Roma mewakili koran De Telegraaf. Tersiar berita Soekarno akan berkunjung ke Italia. Kontan Oltmans melihat kesempatan emas untuk mewawancarai tokoh negatif ini. Tak terduga, ia mendapat perintah dari pemimpin redaksinya untuk tidak menemui Bung Karno. Oltmans tak mengerti. Ia pikir profesi wartawan memberi lebih banyak kebebasan dari pada pegawai Kemlu. Ternyata wartawan diblokir juga.
Tanpa memikirkan konsekuensinya, Oltmans menghubungi kantor berita Agence France Presse di Roma. Dapatlah ia tugas untuk meliput kunjungan 7 hari Bung Karno di Italia. Melalui dubes Indonesia ketika itu, Oltmans diundang turut rombongan presiden, juga selama kunjungan kenegaraan lima hari di Jerman Barat. Perlakuan para pejabat termasuk presiden sendiri kepadanya membuat Oltmans bingung. Ia, orang Belanda; Bung Karno, orang Indonesia, dipenjara dan dibuang lebih dari 11 tahun; kok tidak memperlihatkan sikap permusuhan dan membencinya? Oltmans menceritakan pengalamannya kepada pemimpin redaksi koran Algemeen Handelsblad. Komentarnya: “logislah kalau Soekarno baik sama Anda di Eropa. Di Indonesia, akan lain lagi sikapnya kepada Anda”.
Tindakan Oltmans menolak perintah tidak menemui Bung Karno telah membuat Menteri Luar Negeri Joseph Luns serta Dubes H.N. Boon di Roma kebakaran jenggot. Dubes Boon menulis dua surat protes kepada pemimpin redaksi De Telegraaf. Tak lama kemudian Oltmans di-PHK. Ia tak menyangka, sejak itulah Kemlu dan Dinas Rahasia sibuk, melalui berbagai macam usaha, untuk membungkam dan menghancurkan kariernya sebagai wartawan. Kartu merah sudah dikeluarkan Den Haag. Oltmans, persona non grata.
Pada 4 Desember 1956, wartawan pembangkang ini menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Tanjung Priok. Sikap menentang didudukinya New Guinea oleh Belanda telah membuat opini umum di Belanda mencapnya sebagai pengkhianat bangsa dan wartawan renegade. Namun Oltmans masih bisa mendekati de Nieuwe Rotterdamse Corant (NRC), Het Vaderland dan Algemeen Handelsblad untuk menerima tulisannya dari Indonesia. Pamannya, direktur Maatschappij Nederland, membantunya dengan tiket kapal laut “Willem Ruys”.
Pada 31 Desember 1956, Oltmans diundang Bung Karno untuk bersama-sama nonton film dan bermalam tahun baru di Istana Merdeka. Ketika ia memperhatikan ruang dansa Istana di mana akan dipertunjukkan film kunjungan Bung Karno ke AS dan Uni Soviet, Oltmans terkejut melihat tirai panggung beludru hitam yang dijahit dan disulam oleh tangan-tangan Belanda dari zaman Gubernur Jenderal, masih tergantung di situ. Ia melihat sebuah peta Hindia Belanda, terbuat dari kain brokat emas terukir di layar itu. New Guinea ada di peta itu sebagai bagian dari Hindia Belanda. Oltmans bergumam, kalau begitu, New Guinea jelas milik sah Indonesia.
Paul Rijkens, CEO Unilever ketika itu, anggota Grup Rijkens, juga mendukung penyerahan New Guinea kepada Indonesia. Bedanya dengan Oltmans, Rijkens berusaha selalu menyembunyikan pembangkangannya terhadap kebijakan Menlu Luns. Ia takut dicap pengkhianat. Namun dalam memoirnya, ia mengaku pernah melihat peta Hindia Belanda cetakan Belanda tergantung di kantor kepresidenan. Dari situ ia menyimpulkan New Guinea merupakan bagian sah Indonesia. Ia melihat Soekarno berjuang melawan pemerintahan kolonial Belanda untuk seluruh Hindia Belanda, bukan Hindia Belanda tanpa Irian Barat.
Setelah malam tahun baru 1957, Oltmans dimasukkan dalam daftar protokol istana dan diikutsertakan dalam semua perjalanan presiden di Indonesia. Ramalan pemimpin redaksi, H. M. Planten yang mengatakan di Indonesia Bung Karno tak akan mempedulikan Oltmans, tak terbukti.
Oltmans berpendapat, tahun 1949, Belanda seharusnya sudah menyerahkan New Guinea, seperti semua pulau-pulau yang menjadi bagian dari Hindia Belanda, kepada Indonesia. Ia yakin, Ratu Juliana, suaminya, Pangeran Bernard dan juga Dubes Belanda di AS, J.H. van Roijen berpendapat sama. Soalnya, menurut Oltmans, Van Roijen tidak berani melawan kebijakan Menlu Luns, ia memilih menjadi penjilat dan mengorbankan harga dirinya.
Selama di Indonesia, Oltmans bergaul dengan tokoh-tokoh politik, militer, dan wartawan Indonesia, dan juga dengan tokoh-tokoh perdagangan, perusahaan, kalangan intelektual, agama dan masyarakat Belanda yang dengan terus terang menyatakan senang bekerja dan hidup di Indonesia dan mengharapkan hubungan kedua pemerintah menjadi normal. Orang-orang Belanda ini menganggap sikap pemerintahnya yang terus ingin menduduki New Guinea bukanlah sebuah opsi yang realistis. Penyerahannya kepada Indonesia merupakan satu-satunya jalan untuk menormalkan hubungan antara kedua negara.
Bahkan misi diplomatik Belanda di Jakarta tidak menyetujui kebijakan resmi Menlu Luns. Wakil diplomatik Belanda ketika itu, Duco Middelburg, dalam percakapan dengan Oltmans, mengungkapkan pendapat yang bertentangan. Tapi, ketika Oltmans menyerahkan draf tulisannya untuk mendapatkan persetujuannya, ia menolak pendapatnya itu dipublikasi. Berpuluh-puluh pertemuan dan pembicaraan yang dilakukan Oltmans memberi dasar kuat guna menulis berbagai artikel yang berkaitan dengan sengketa Irian Barat. Namun lebih dari setengah dari semua artikel yang ditulis berdasarkan pada sumber primer dan terpercaya itu ditolak. Pimpinan redaksi mengakui kebenaran argumentasi yang diajukan, tapi toh menolak mempublikasinya, dengan alasan publik Belanda belum matang untuk mencernakan pandangan yang bertolak belakang dengan politik resmi pemerintah.
Awal 1957, melihat begitu kecilnya jumlah tulisan yang dimuat di media dalam negeri Belanda, Oltmans mencari cara lain untuk mencapai perhatian dan mempengaruhi opini umum berkaitan dengan isu New Guinea. Ketika itu Oltmans sudah punya hubungan dengan sebuah grup pengusaha besar Belanda yang diketuai CEO Unilever, Paul Rijkens. Grup ini bersifat informal dan tidak mewakili seluruh masyarakat bisnis Belanda. Mereka disatukan oleh pendapat yang bertentangan dengan pemerintah Belanda yang ingin terus menduduki New Guinea. Mereka melakukan lobi di kalangan pejabat tinggi pemerintah Indonesia. Sudah tentu yang mendorong mereka berpendapat begitu adalah kepentingan bisnisnya. Mereka ingin supaya hubungan ekonomi Belanda-Indonesia dapat segera dipulihkan. Rijkens juga berteman dengan Pangeran Bernhard.
Petisi kepada Staten General (Parlemen)
Oltmans mendapat informasi sangat berharga dari Pekelharing, atase press di Jakarta, yaitu, ketika seorang warga tidak setuju dengan kebijakan pemerintahnya, ia dapat mengajukannya kepada Staten General (parlemen). Seketika itu juga, ia menemui Profesor Dr. Pieter Drost, dosen tamu dalam bidang hukum internasional. Profesor Drost sependapat dengan Oltmans tentang keharusan Belanda menyerahkan New Guinea kepada Indonesia. Lahirlah sebuah naskah yang ditujukan kepada parlemen di Den Haag. Isi pokok petisi mengharapkan pemerintah Belanda merundingkan penyerahan secara damai wilayah New Guinea.
Akhir Januari 1957, dikirimlah petisi yang kemudian mendapat dukungan lebih dari 400 orang Belanda di Jakarta. Sebelum dikirim, Oltmans menggunakan kesempatan bertemu dengan Bung Karno untuk memperlihatkannya. Bung Karno memandang petisi sebagai pengabdian Oltmans kepada negerinya, namun khawatir pemerintah di Den Haag tidak akan mau mengerti.
Petisi jatuh di Kemlu bagaikan sebuah bom. Editorial berjudul “Pengkhianatan” muncul di De Telegraaf. Oltmans digambarkan sebagai seorang kriminal. Dukungan Oltmans kepada Indonesia telah membuat Menlu Luns menyebarkan cap “orang berbahaya bagi negara” ke segala penjuru. Parlemen Belanda membisu. Tak seorangpun dari anggotanya bersedia memperhatikan atau mendengar suara warganya di Jakarta.
Yang menarik perhatian adalah kalangan media sama sekali tidak membicarakan isi petisi. Petisi ditolak pertama-tama karena orang yang memprakarsainya, Oltmans, telah divonis sebagai pengkhianat bangsa.
Tak lama berselang, Oltmans menerima tiga telegram yang menyatakan pemecatannya sebagai koresponden de Nieuwe Rotterdamse Courant, het Vaderland dan het Algemeen Handelsblad. Oltmans kembali jadi penganggur karena sikap politiknya. Untung, majalah De Niewsgier yang terbit di Indonesia dalam bahasa Belanda bersedia mempekerjakan Oltmans sampai akhir kunjungannya, September 1957. Di Belanda, hanya pemimpin redaksi Vrij Nederland yang masih mau berhubungan dengan Oltmans.
Henk Hofland, seorang rekan Oltmans, mengungkapkan Dinas Rahasia Belanda ada di belakang pemecatan itu. Pimpinan redaksi ketiga koran itu sebenarnya tahu bahwa Oltmans benar, tetapi mereka lebih mementingkan keselamatan perusahaannya.
Pengalaman pahit Oltmans ini membuktikan betapa palsunya demokrasi borjuis negara-negara Eropa Barat yang membanggakan freedom of speech. Anda akan dibolehkan bicara selama pendapat Anda tidak dianggap mengganggu tata tertib dan membahayakan kelangsungan negara serta sistemnya. Tapi begitu Anda kritis dan berseberangan dengan kebijakan pemerintah, demokrasi yang mereka ciptakan mereka langgar sendiri.
Di samping upaya Oltmans untuk menimbulkan ombak dan riak dalam opini umum di Belanda, patut dicatat langkah yang diambil oleh Gereja Reformasi Belanda melalui “Seruan Sinode Umum Gereja Reformasi Belanda untuk memikirkan tanggung jawab rakyat Belanda atas isu-isu yang bersangkutan dengan New Guinea”, Juni 1956.
Berbeda dengan Oltmans yang berusaha sendirian, Gereja Reformasi punya pendukung luas. Ia mewakili hampir sepertiga penduduk Belanda dan memiliki otoritas moral yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena itu, “Seruan Sinode Umum Gereja Reformasi” memicu diskusi sengit baik di dalam gereja maupun di media.
Menurut Hans van de Wal, “Seruan” itu, antara lain, menyatakan ‘Orang Belanda harus bertanya pada diri sendiri, apakah pemerintah Belanda tidak mengalihkan penduduk Nieuw Guinea dari ‘Indonesia, negeri tetangga alami’ mereka sendiri dan dengan demikian membuatnya lebih sulit untuk ‘bergabung dengan tetangga besar’ itu, sementara ikatan dengan pemerintah asing dan pekerja misionaris yang tak terelakkan juga bermasalah”.
Dalam kenyataannya, dipisahkannya New Guinea dari Indonesia sejak tahun 1949 dan digencarkannya usaha pendidikan untuk menciptakan sebuah elite pro-Belanda dan anti-Indonesia memang ditujukan untuk menjauhkannya dari Indonesia dan mempersulit kembalinya pulau itu menjadi bagian sah dari wilayah Indonesia. Bukankah itu salah satu faktor penting yang melahirkan separatisme di Papua? Pemutarbalikkan fakta sejarah dan politik identitas yang selalu menonjolkan perbedaan ras, merupakan dasar separatisme Papua.
Sikap Mohammad Hatta
Saya mengikuti beberapa webinar tentang rasisme, diskriminasi dan separatisme yang diadakan oleh beberapa organisasi dan lembaga, termasuk ILPS Asia-Pacific (Liga Internasional Perjuangan Rakyat Asia-Pasifik) yang menyelenggarakannya dalam rangka memperingati “proklamasi kemerdekaan Papua Barat”, 1 Juli 1971. Saya bertanya-tanya sendiri apakah ini berarti pengakuan terhadap “negara hantu” ciptaan segelintir separatis yang mendasarkan gerakannya pada perbedaan ras dan politik identitas.
Untuk kesekian kalinya saya menyaksikan pemantik dan peserta diskusi, ketika menyinggung sejarah Indonesia yang berhubungan dengan Papua, pada umumnya hanya bertolak dari kejadian tahun 1961 dan Pepera 1969. Mereka gunakan kedua kejadian itu sebagai “bukti” aneksasi Papua oleh Indonesia. Kalau bicara tentang fakta sejarah, satu-satunya yang diangkat adalah Mohammad Hatta sebagai “pembela” terlepasnya Papua dari Indonesia. Padahal Hatta hanya dapat 6 suara dari 60 suara lebih di Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Itulah yang diungkapkan Octo Mote dari ULMWP dalam webinar ILPS.
Dalam “Mengangkat Kembali Pemikiran Bung Hatta untuk Resolusi Konflik Papua” yang dimuat di SuaraPapua.com, Pares L. Wenda menganggap sikap Hatta itu “bertolak dari hukum internasional yang berlaku”. Hukum internasional yang mana? Anehnya, Wenda tidak bicara tentang prinsip Uti Possidetis Juris, yang diakui oleh hukum internasional! Dan lebih ngawur lagi, Wenda menulis ‘jika klaim BPUPKI memasukkan semua wilayah eks koloni Belanda bagian dari wilayah Indonesia, mengapa Suriname tidak dimasukkan sebagai bagian dari wilayah NKRI?”. Barangkali Wenda lupa atau tidak tahu bahwa Hindia Belanda adalah wilayah yang diklaim oleh Indonesia. Apakah Suriname termasuk Hindia Belanda?
Ketidaktahuan dan pengabaian terhadap duduk perkara sebenarnya dari klaim wilayah Papua ternyata ada juga di kalangan pejabat tinggi pemerintah Indonesia. Oltmans menyinggung bagaimana Mayor Jenderal Nasution, didampingi oleh atase militer di Bonn ketika itu, Kolonel Pandjaitan, dalam konferensi pers di Bonn tahun 1956 gagap dan kewalahan menjawab pertanyaan yang diajukan banyak wartawan Belanda. Ketika ditanya mengapa Indonesia begitu gairah mengklaim New Guinea, tapi tak peduli dengan Borneo dan Timor Timur, Nasution memberi jawaban yang rumit. Padahal, menurut Oltmans, Soekarno sudah memberi jawaban standar, yaitu Borneo jajahan Inggris, dan Timor Timur jajahan Portugal, tidak termasuk dalam Hindia Belanda. Barulah Nasution sadar, dan berkata: “Betul, Tuan Oltmans, itulah posisi kami”.
Kalau orang mau dengan jujur mempelajari sejarah modern perjuangan rakyat Nusantara dari berbagai suku bangsa, sebetulnya sulit sekali menemukan argumentasi dan fakta sejarah yang membenarkan pemisahan Irian Barat dari Indonesia alias separatisme. Tokoh satu-satunya yang dapat mereka ajukan adalah Hatta. Namun mereka tidak pernah mau mengakui kenyataan bahwa 6 suara yang didapat Hatta dan kesediaan Hatta menjadi wakil presiden, sudah menegasi pendapatnya yang ingin menukar Irian Barat dengan Borneo utara dan Malaya.
Sebelum pertemuan dengan Hatta, 6 Juli 1957, informasi dan opini umum yang tersebar di kalangan pejabat pemerintah dan media arus utama Belanda yang diterima Oltmans adalah bahwa Hatta tidak tertarik sedikitpun pada masalah New Guinea dan pendapatnya bertentangan dengan Soekarno. Di kalangan para pemimpin separatisme Papua sekarang, pendapat ini juga yang terus menerus didengungkan pada setiap kesempatan mereka bicara.
Di bukunya Verrader (baca: pengkhianat), Oltmans menulis kata-kata Hatta yang diucapkan kepadanya. “Saya merasa tragis melihat bagaimana sengketa Irian Barat telah memperumit hubungan antara negara Anda dan negara saya. Sekarang, sengketa ini telah menjadi masalah kehormatan bagi kami di Indonesia. Pertama-tama, secara moral tidak dapat dibenarkan bagi kami untuk meninggalkan New Guinea pada nasibnya sendiri. Pada saat itu, dalam negosiasi tentang masalah ini dengan Belanda, negosiasi yang sebagian besar saya pimpin sendiri, saya telah bicara dengan banyak pemimpin Anda seperti Van Mook, Schermerhorn, Van Poll, Stikker dan lainnya. Saya tidak pernah merasa Belanda ingin memisahkan Irian Barat dari bekas kerajaan kolonial. Saya juga tidak pernah mengerti mengapa pemerintah Anda pada saat-saat terakhir mencengkam erat masalah ini.”
Hatta melanjutkan, “Kemudian, kedua, klaim kami atas New Guinea ditetapkan secara hukum. Menurut persetujuan Linggarjati, seluruh wilayah bekas Hindia Belanda, begitu pula Irian Barat, akan dialihkan ke Republik Indonesia. Bagi negeri kami, masalah ini sekarang telah menjadi masalah moral dan hukum. Yang selalu saya pikirkan adalah pada dasarnya, apa arti New Guinea bagi Anda, orang Belanda? Apakah di negeri Anda orang cukup sadar bahwa pertarungan yang sedang berlangsung di daerah ini merusak seluruh situasi Belanda dan Indonesia yang sebenarnya sama sekali tidak perlu?”
Di samping itu, Hatta mengemukakan bahwa ia merasa dikhianati dan disia-siakan oleh Belanda. “Den Haag sama sekali tidak mematuhi perjanjian yang saya buat secara lisan atas dasar gentleman’s agreement,” ujar Hatta. Secara pribadi Hatta merasa diperdaya oleh Den Haag, karena ia diyakinkan atas dasar keputusan Konferensi Meja Bundar bahwa dalam waktu satu tahun, jadi tahun 1950, Irian Barat akan diserahkan kepada Indonesia.
Sejarawan Belanda, Hans Meijer, melihat sebab utama New Guinea tidak diserahkan kepada Indonesia adalah karena tekanan besar dari golongan konservatif kolonial yang ingin menjadikannya sebagai tanah air orang-orang Indo-Eropa yang sudah lama tinggal di Hindia Belanda. Hal ini sudah disinggung dalam Meluruskan Sejarah (Bagian 2).
Sementara itu, sejarawan Belanda, J.G. Kikkert, mengungkapkan pendapat Menlu Luns yang menganggap kehadiran Belanda di daerah Pasifik sangat penting dan mempertahankan New Guinea akan memberi keuntungan ekonomi.
Alasan ekonomi, posisi strategis dan rencana membangun koloni Belanda di New Guinea, pulau terakhir yang masih bisa dikeluarkan dari Indonesia, membuat pemerintah Belanda tidak berkepentingan sama sekali untuk membicarakan penyelesaian masalah kedaulatan atas Irian Barat. Di samping itu, dukungan pemerintah AS di bawah Eisenhower, mendorong Belanda untuk semakin kuat bercokol di sana. Situasi inilah yang memaksa Indonesia untuk membawa isu Irian Barat ke PBB.
Pada 28 Februari 1957, ketika diambil pemungutan suara tentang Papua, Indonesia mendapat 40 suara, Belanda 25. Tak ada kemajuan menuju dikembalikannya Papua ke Indonesia. [Tatiana Lukman]