Walter Spies
Walter Spies

SENIMAN kelahiran Jerman, Walter Spies (1895–1942) menghabiskan sebagian besar hidupnya di Indonesia. Ia terkenal karena gayanya yang unik, yang menggabungkan unsur Barat dan Timur, mengeksplorasi motif spiritual yang diambil dari budaya setempat kemudian diadopsi sambil menerapkan teknik seni Eropa kontemporer.

Spies lahir pada tahun 1895 di Moskwa, dari seorang diplomat Jerman dan istrinya yang ditempatkan di sana. Keluarga itu kemudian kembali ke Jerman, tempat ia besar dan dididik. Dia memiliki saudara laki-laki Leo, yang menjadi komposer dan konduktor, dan saudara perempuan Daisy, yang menjadi penari balet.

Spies mulai melukis sebagai seorang pemuda dan dikenal di Eropa untuk karyanya pada tahun 1920-an. Dia juga belajar musik, termasuk seni budaya lainnya. Pada tahun 1923, ia pindah ke Jawa, Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Hindia Belanda di bawah kendali kolonial. Pada tahun 1927, ia bermukim di Bali.

Spies tidak mengabaikan minatnya pada musik, film, dan tari. Bersama penari dan fotografer Beryl de Zoete, mereka menciptakan drama tari di  Bali, yang mencakup presentasi teater tradisional Bali. Yaitu salah satu ikon budaya Bali Tari Kecak, yang sering disebut Ramayana Monkey Chant. Tarian spektakuler, yang sering ditampilkan untuk turis, melibatkan kerumunan 100 atau lebih penari, meniru monyet secara verbal dan kinetik saat mereka memerankan adegan pertempuran dari epos Ramayana Hindu. 

Pada tahun 1937, Spies membangun villa,  yang ia sebut sebagai “gubuk gunung” di Iseh di Karangasem. Spies adalah salah satu pendiri koperasi seniman Pita Maha, di mana ia membentuk perkembangan seni Bali modern. Selama tahun 1930-an ia menjadi tuan rumah bagi banyak orang Barat di Bali, termasuk aktor, seniman, dan penulis, dan ia diyakini telah membangun citra Bali terhadap banyak orang Barat.

Masalah paling serius yang menimpa Spies adalah apa yang orang-orang lihat sebagai suasana bebas di lingkarannya; Ternyata Spies adalah seorang gay, bersamaan dengan fakta itu serta dikombinasikan dengan kewarganegaraan Jermannya, terbukti telah menambah kemalangan baginya, apalagi saat itu Jerman mengancam seluruh Eropa pada akhir 1930-an.

Sementara itu suasana budaya di Indonesia memang semakin ketat, dan Spies pun kemudian ditangkap atas tuduhan perilaku tidak senonoh pada bulan Desember 1938, ia lalu menjalani hukuman penjara yang berlangsung hingga September 1939. 

Selama periode awal penahanan ini ia dikunjungi oleh otoritas Belanda yang simpatik dan diizinkan untuk melukis dan bermusik; beberapa karya terakhirnya yang terbesar, seperti Palmen Durchblick (View Through the Palms, 1938), menunjukkan istana megah yang dilihat sekilas dari jarak yang sangat jauh oleh sosok soliter yang membawa air, dilukis saat dia berada di penjara.

Ketika Jerman menginvasi Belanda segera setelah pecahnya Perang Dunia II, beberapa warga negara Jerman di Hindia Belanda ditangkap. Spies ditahan selama 20 bulan di kamp-kamp interniran di Jawa dan Sumatra. Beruntung di sana Spies sesekali bisa melukis dan mempelajari musik yang dikirimkan oleh kerabatnya. 

Pada awal tahun 1942 ia diikutkan pada kapal pengangkut menuju Ceylon. Sehari setelah meninggalkan Sumatra, pada 19 Januari 1942, kapal itu dihantam bom Jepang di lepas pantai Pulau Nias, serta merta awak kapal Belanda meninggalkan kapal tanpa membebaskan tawanan Jermannya. Spies pun tenggelam bersama tahanan lainnya. 

Bahkan jauh setelah Spies tiada pun cerita tentangnya masih diungkit oleh presenter Australia, Carrick, Damien (25 November 2008). “Identifying victims of child sexual assault and abuse“. ABC Radio National: Law Report. Australian Broadcasting Corporation.

Dalam broadcasting tersebut (diakses tanggal 28 November 2016) pernyataan Damien sebagai berikut,  “Berhubungan seks dengan anak-anak di Bali bukanlah hal yang baik. Dan ada seorang pedofil yang sangat terkenal di Bali, Walter Spies, seorang seniman yang melalui wisata budaya benar-benar memiliki kehadiran yang sangat kuat di Bali. Dia meninggal pada tahun 1930-an. Tapi dia adalah seorang pedofil yang dihukum; dia divonis oleh pengadilan dan dia dijebloskan ke penjara. Dan semua ekspatriat di sekitar Walter Spies — dia adalah kesayangan ekspatriat saat itu — membelanya. Dan ada masalah nyata dengan pedofilia di pulau itu pada saat itu, ada pengadilan massal yang sedang berlangsung dan banyak orang melarikan diri sebelum ada kesempatan bagi mereka untuk diadili dan dihukum.” 

Walaupun Spies berjasa dalam mengkreasikan sebentuk seni tari drama yang kemudian hari menjadi ikon kesenian dari pulau Bali ternyata tidak serta merta menenggelamkan perilakunya yang kurang pantas. [S21]