Koran Sulindo – Di antara aksi mogok yang terjadi di zaman pergerakan pada masa kolonial Belanda yang terbesar adalah pemogokan yang terjadi di Jawa 9 Mei 1923.
Aksi yang dipelopori oeh Serikat Buruh Kereta Api dan Trem (VSTP) itu merujuk langsung ketidakpuasan yang berkembang di antara kaum buruh.
Pemerintah kolonial dan perusahaan-perusahaan kereta api dengan klaimnya selalu berkelit dan menuding pemogokan terjadi karena semata-mata keterlibatan dan manipulasi PKI terhadap VSTP.
Sebagai salah satu serikat buruh tertua di Hindia Belanda, VSTP dibentuk di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 4 November 1908. Semula serikat itu dibangun oleh 63 buruh Eropa yang bekerja di tiga perusahaan kereta api yang berbasis di Semarang yakni Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatchappij (NIS), Semarang –Joana Maatshcappisj (SJS) dan Semarang-Cheribon Stoomtram Maatchappij (SCS).
Pembentukan serikat buruh di perusahaan-perusahaan itu itu meniru serikat yang sudah lebih dulu dibentuk di perusahaan kereta api milik negara. Sama seperti serikat-serikat buruh Eropa yang tak pernah mengakui buruh-buruh Indonesia, VSTP juga hanya mengakui buruh Indonesia tingkat atas dan tanpa hak voting.
Mayoritas buruh Eropa itu terus menjadi mayoritas bahkan hingga tahun 1914 sekaligus memonopoli posisi-posisi eksekutif baik itu di pusat maupun cabang VSTP. Meski mengakui buruh-buruh pribumi berbahasa Belanda sebagai rekan sejawat, pada praktiknya mereka tetap mempertahankan basis eksklusif rasial.
Di sisi lain, menyadari keuntungan yang didapat dari melakukan aksi-aksi bersama buruh-buruh pribumi mulai membentuk serikat-serikat sendiri sedini tahun 1910. Mereka yang membentuk serikat sendiri itu di antaranya golongan juru tulis dan administrasi yang dipekerjakan pada pemerintah kolonial.
Semula pemimpin-pemimpin buruh Eropa di VSTP terbelah pada pendapat yang membatasi buruh-buruh pribumi menjadi anggota pasif dan mereka yang ingin melibatkan buruh pribumi dengan hak-hak penuh.
Kedatangan Henk Sneevliet pada tahun 1913 di Hindia segera memuncaki perdebatan mengenai masa depan VSTP. Ia dengan tegas menyebut serikat-serikat buruh di sebuah negara koloni seperti Hindia tak boleh berbeda dengan serikat yang ada di Eropa dengan satu-satunya peran yakni membela hak-hak buruh terhadap kaum kapitalis.
Sneevliet mendesak serikat-serikat itu tak hanya harus bersifat multirasial namun lebih jauh mesti sanggup bekerjasama dengan mayoritas buruh pribumi yang berupah rendah.
Akhirnya pada Oktober 1913 dipengaruhi pendapat Sneevliet, Eksekutif Pusat VSTP memutuskan merekrut anggota-anggota dari kalangan pribumi dan memberi hak untuk duduk di dalam kepemimpinan serikat buruh.
Dalam rapat umum yang digelar bulan Februari 1914, VSTP setuju untuk mengalokasikan 3 dari 7 posisi eksekutif pusat bagi buruh pribumi. Ini menandai babak baru perubahan VSTP dari semula serikat buruh yang didominasi orang-orang Eropa menjadi serikat buruh yang dikontrol oleh orang-orang pribumi Indonesia.
Gambaran umumnya bisa dilihat dari komposisi kebangsaan para buruh. Pada akhir tahun 1913 dari 1.242 orang anggota VSTP, jumlah buruh Eropa dalam serikat itu adalah 673 orang sementara jumlah buruh pribumi adalah 669. Porsi mayoritas itu berbalik pada Januari 1915, dari 2.292 buruh anggota VSTP terdapat 1.439 orang buruh pribumi.
Selain itu, meski bermula dari buruh perusahan kereta yang berbasis di Semarang, perluasan keanggotaan VSTP pada tahun 1914 justru lebih merekrut buruh-buruh yang bekerja pada perusahaan kereta milik negara.
Keputusan VSTP untuk merekrut keanggotaan buruh-buruh pribumi sekaligus member mereka hak suara tak serta merta menjadi suara bulat oleh buruh Eropa. Banyak di antaranya yang kemudian meninggalkan serikat itu di tahun-tahun berikutnya.
Gelombang eksodus meningkat setelah tahun 1917 ketika VSTP dengan tegas mengancam bakal menggunakan kekuatan industrialnya terhadap perusahaan-perusahaan kereta api. Tercapat pada tahun 1920, dari 6.494 buruh yang menjadi anggota VSTP hanya 236 buruh yang berkebangsaan Eropa.
Buruh Eropa yang ngotot bertahan rata-rata buruh kelas rendah yang berharap VSTP dapat mewakili kepentingan mereka dengan lebih baik dibandingkan serikat-serikat buruh Eropa.
Seperti serikat-serikat buruh lainnya, VSTP juga membuat penerbitan yang diberi nama Si Tetap dengan yang merupakan edisi Melayu dari jurnal yang sebelumnya sudah ada.
Jabatan editor pada Si Tetap dipercayakan kepada Muhammad Yusuf, seorang juru tulis dari Perusahaan Kereta Listrik Semarang sekaligus merupakan pendiri Sarekat Islam cabang Semarang.
Ketika pada tahun 1915 digelar pemilihan Eksekutif Pusat, Yusuf terpilih bersama tiga buruh pribumi lainnya yakni Semaun yang muncul dalam dunia pergerakan di bawah bimbingan Sneevliet.
Semaun bertemu Sneevliet dalam kunjungan singkatnya ke Surabaya tahun 1913 dan ketika akhirnya pindah ke Semarang, Semaun bekerja sebagai propagandis VSTP dan editor Si Tetap dengan gaji kerja penuh.
Pengangkatan itu Semaun itu menandai periode perkembangan pesat VSTP. Tercatat sampai tahun 1920, serikat buruh itu telah membangun 93 cabang di seluruh Jawa dan beberapa cabang di pesisir barat Sumatra.
Basis terkuat dari dukungan VSTP adalah buruh kereta swasta yang mengoperasikan jaringan Cirebon, Semarang dan Yogyakarta serta buruh perusahaan kereta negara di Surabaya dan Madiun.
Di sisi lain meskipun memiliki anggota hingga 13.000 orang di masa-masa puncaknya, VSTP tetaplah bukan serikat buruh terbesar. Jumlah itu tak lebih dari seperempat total tenaga kerja pribumi pada industri kereta api dan kereta listrik di Jawa.
Secara kategoris, keanggotaan VSTP merefleksikan semua pekerjaan yang mencakup tukang-tukang terlatih hingga mereka yang sama sekali buta huruf. Mereka yang berpendidikan dan memiliki kelas sosial yang lebih tinggi umumnya bergabung dengan serikat buruh Eropa sebagai anggota sejawat sedangkan jumlah yang lebih besar justru sama sekali menjauhkan diri dari serikat.
Mereka yang enggan bergabung dengan serikat umumnya mengkhawatirkan ‘pembalasan’ perusahaan tempat mereka bekerja atau karena tidak ketidakpercayaan mendapat manfaat dari serikat buruh.[TGU]