Koran Sulindo – Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia, per akhir Oktober 2017 terus naik dengan cepat. Bank Indonesia (BI) mencatat utang Indonesia tercatat 341,5 miliar dolar Amerika Serikat, naik sebesar 4,8% (yoy).
Berdasarkan data utang Indonesia di situs bi.go.id, hingga akhir triwulan III-2017 atau akhir September 2017 (dirilis BI akhir November 2017), jumlah utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 343,1 miliar. Jika dirupiahkan, total utang luar negeri Indonesia ini mencapai sekitar Rp 4.631 triliun. Utang ini terdiri dari utang publik dan swasta.
BI memandang perkembangan ULN ini terkendali, dilihat dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di kisaran 34%.
Pada Maret 2017 lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan utang pemerintah tumbuh cepat. Saat itu total utang mencapai Rp3.667,41 triliun, naik 17 triliun dibanding Maret 2017.
Saat itu Menteri Darmin mengatakan pemerintah berupaya mengurangi porsi utang dengan mengundang keterlibatan swasta maupun badan usaha dalam proyek pembangunan. Melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) tersebut, maka beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sedikit berkurang.
“Pemerintah memang berusaha supaya pembangunan infrastruktur jangan membebani APBN terlalu besar. Kalau Anda melihat sekarang banyak pembangunan, untuk air minum, jalan tol dengan KPBU, itu sebenarnya supaya jangan terlalu membebani APBN,” katanya.
Baca juga: Utang Pemerintah Tumbuh Cepat
Sejak Maret 2017 hingga Oktober 2017, data di atas menunjukkan utang Indonesia naik sebesar Rp1.000 triliun.
Latar Belakang
Berdasarkan data Kemenkeu per Februari 2017, perkembangan utang dan rasio utang pemerintah pusat dari masa ke masa berpuncak pada 1998, ketika Indonesia dihantam krisis moneter.
Presiden ke-2 Soeharto yang berhenti pada Mei 1998 meninggalkan utang Rp 551,4 triliun (saat itu setara US$ 68,7 miliar). Rasio utang mencapai 57,7 persen terhadap PDB.
Pada pemerintahan BJ Habibie (1998-1999) per 1999 total outstanding utang Indonesia mencapai Rp 938,8 triliun (US$ 132,2 miliar). Rasio utang membengkak jadi 85,4 persen dari PDB.
Pada masa Abdurrahman Wahid (Gus Dur/1999-2001) utang pemerintah membumbung tinggi menjadi Rp 1.232,8 triliun, namun dalam denominasi dolar AS, jumlahnya turun menjadi US$ 129,3 miliar. Rasio utang makin parah menjadi 88,7 persen.
Pada 2001, rasio utang turun menjadi 77,2 persen dan nilai outstanding utang naik tipis menjadi Rp 1.271,4 triliun (US$ 122,3 miliar).
Pada masa Megawati Soekarnoputri (2001-2004) per 2002 sebesar Rp 1.223,7 triliun (atau US$ 136,9 miliar), dan rasio utang 67,2 persen. Pada 2003: Rp 1.230,6 triliun (US$ 145,4 miliar) dan rasio utang 61,1 persen; dan pada 2004: Rp 1.298 triliun (US$ 139,7 miliar), dengan rasio utang 56,5 persen.
Pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rasio utang dan nilai utang Indonesia mencapai Rp 1.311,7 triliun (US$ 133,4 miliar) dengan rasio utang 47,3 persen pada 2005.
Antara tahun pertama SBY berkuasa hingga 2012, posisi utang Indonesia terus merangkak naik, namun rasio utangnya terus turun. Sejak 2013, utang pemerintah tetap naik terus sedang rasio utang mulai ikutan naik.
Posisi ditinggal SBY pada 2014 utang sebesar Rp 2.608,8 triliun (US$ 209,7 miliar) dengan rasio utang 24,7 persen.
Pada 10 tahun SBY ini, utang pemerintah naik 100 persen dibandingkan posisi awal, namun rasio utang ditekan turun 100 persen juga.
Pada akhir 2015 pemerintahan Joko Widodo, utang pemerintah naik menjadi Rp 3.165,2 triliun (US$ 229,44 miliar) dan rasio utang terhadap PDB meningkat menjadi 27,4 persen.
Total outstanding utang pemerintah sepanjang 2016 tercatat naik lagi menjadi Rp 3.466,9 triliun (US$ 258,04 miliar) dengan rasio utang 27,5 persen dari PDB.
Sejak Orde Baru meskipun secara nilai utang naik namun rasio utang pemerintah terhadap PDB masih jauh dari batas maksimal yang ditetapkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 60 persen terhadap PDB. [DAS]