Setiap tanggal 5 Juli, bangsa Indonesia memperingati Hari Bank Indonesia. Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan atas berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI), bank pertama milik pemerintah Indonesia pascakemerdekaan, sekaligus tonggak awal perjalanan kedaulatan ekonomi nasional.
Namun, jauh sebelum lahirnya BNI maupun Bank Indonesia (BI) seperti yang kita kenal hari ini, sejarah panjang perbankan di Nusantara telah berlangsung sejak era kolonial, melewati berbagai fase pemerintahan, krisis ekonomi, hingga transformasi hukum dan kelembagaan. Dilansir dari laman resmi Bank Indonesia, berikut perjalanan panjang sejarah Perbankan di Indonesia.
Awal Sejarah Perbankan
Perbankan di Indonesia bermula pada pertengahan abad ke-18, saat kebutuhan untuk menopang kegiatan perdagangan di Hindia Belanda mendorong berdirinya Bank van Courant pada tahun 1746.
Bank ini memberikan pinjaman dengan jaminan berupa emas, perak, perhiasan, dan barang berharga lainnya. Pada tahun 1752, bank tersebut diperluas fungsinya menjadi De Bank van Courant en Bank van Leening, yang selain melayani pinjaman masyarakat, juga memberikan kredit kepada pegawai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dengan imbalan bunga.
Namun pada tahun 1818, lembaga keuangan ini ditutup akibat krisis keuangan. Kekosongan fungsi bank sirkulasi pasca-penutupan inilah yang kelak mendorong pendirian lembaga perbankan yang lebih mapan oleh pemerintah kolonial.
De Javasche Bank
Sebagai respons atas kebutuhan sistem keuangan yang stabil, Kerajaan Belanda mendirikan De Javasche Bank (DJB) pada tahun 1828. DJB diberikan octrooi atau hak istimewa sebagai bank sirkulasi yang berwenang mencetak dan mengedarkan mata uang Gulden di wilayah Hindia Belanda. Octrooi ini diperpanjang setiap 10 tahun dan dilakukan sebanyak tujuh kali hingga 1922.
DJB menjadi bank sirkulasi pertama di Asia. Seiring waktu, DJB membuka kantor cabang di berbagai kota, di antaranya Semarang dan Surabaya (1829), Padang dan Makassar (1864), Cirebon (1866), Solo dan Pasuruan (1867).
Tahun 1830, DJB turut mendukung kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan Belanda untuk mengisi kas negara akibat defisit dari Perang Jawa. Sistem ini mendapat kecaman karena eksploitasi terhadap petani, dan dikritik keras lewat novel Max Havelaar karya Douwes Dekker.
Era liberalisasi dimulai pada 1870 ketika Belanda memberlakukan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet), membuka peluang modal swasta di sektor perkebunan.
Perbankan pun tumbuh pesat, dan DJB memperluas jaringannya ke kota-kota strategis seperti Yogyakarta (1879), Pontianak (1906), Bengkalis dan Medan (1907), Banjarmasin (1907), Tanjungbalai dan Tanjungpura (1908), Bandung dan Palembang (1909), Manado (1910), Malang (1916), Kutaraja (1918), Kediri dan Pematang Siantar (1923), serta Madiun (1928).
Kedatangan Jepang pada 1942 membawa perubahan besar dalam struktur keuangan. Pemerintah militer Jepang melikuidasi DJB dan menggantinya dengan Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG) sebagai bank sirkulasi. NKG bertugas mencetak dan mengedarkan mata uang yang berlaku di wilayah pendudukan Jepang, termasuk Indonesia.
Pasca-Kemerdekaan dan Perang Mata Uang (1945–1949)
Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak serta-merta diikuti dengan stabilitas ekonomi.
Pemerintah kolonial Belanda yang tergabung dalam Netherlands Indies Civil Administration (NICA) kembali berusaha menguasai sistem keuangan dengan membangkitkan DJB dan mencetak mata uang NICA. Langkah ini memicu ketegangan finansial di lapangan.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia merespons dengan membentuk Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank sirkulasi resmi berdasarkan penjelasan UUD 1945 Pasal 23. BNI mencetak uang bernama Oeang Republik Indonesia (ORI), sebagai simbol kedaulatan ekonomi. Perbedaan ini menciptakan dualisme keuangan dan memunculkan fenomena “currency war” di mana mata uang DJB dikenal sebagai “uang merah” dan ORI sebagai “uang putih”.
Konferensi Meja Bundar dan Peralihan ke NKRI (1949–1953)
Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). DJB tetap dijadikan sebagai bank sirkulasi RIS. Namun setelah RIS bubar dan Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), DJB tetap beroperasi dengan kepemilikan saham mayoritas masih berada di tangan Belanda.
Desakan nasionalisme ekonomi dan kedaulatan finansial mendorong pembentukan Panitia Nasionalisasi DJB pada tahun 1951. Proses pembelian saham DJB sebesar 97% oleh Pemerintah Republik Indonesia berhasil dilakukan. Puncaknya, pada 1 Juli 1953, melalui UU No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia, DJB resmi dinasionalisasi dan berganti nama menjadi Bank Indonesia.
Pada masa awal, BI tidak hanya menjalankan fungsi sebagai bank sirkulasi, tetapi juga menjalankan fungsi perbankan komersial melalui pemberian kredit. Kebijakan moneter ditetapkan oleh Dewan Moneter (DM), yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan Menteri Perdagangan. BI bertugas melaksanakan kebijakan moneter tersebut.
Pada era Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep Ekonomi Terpimpin. Gubernur BI saat itu menjadi bagian dari kabinet sebagai Menteri Urusan Bank Sentral. Dewan Moneter tidak berfungsi lagi.
Pemerintah juga mencanangkan doktrin “Bank Berdjoang”, yaitu penyatuan seluruh bank negara menjadi satu institusi bernama Bank Negara Indonesia melalui Perpres No.17 Tahun 1965. Dalam sistem ini, Bank Indonesia berubah menjadi BNI Unit I, sementara bank lain menjadi BNI Unit II sampai V.
Reposisi sebagai Bank Sentral (1968)
Pemerintah mengakhiri sistem bank tunggal pada tahun 1968. Melalui UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia, BI dikembalikan pada perannya sebagai bank sentral yang independen.
BI tidak lagi menyalurkan kredit komersial dan fokus sebagai pemegang kas negara serta agen pembangunan. Di saat yang sama, UU No.21 dan 22 Tahun 1968 memisahkan bank-bank pemerintah yang sebelumnya tergabung ke dalam BNI menjadi entitas mandiri kembali.
Tahun 1988 menjadi titik penting ketika BI mengeluarkan Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 atau yang dikenal sebagai Pakto 88, sebagai bentuk deregulasi untuk mendorong pertumbuhan industri perbankan nasional. Regulasi ini mempermudah pendirian bank baru dan mempercepat dinamika keuangan domestik.
Namun krisis moneter Asia tahun 1997 mengguncang sistem keuangan Indonesia. BI harus mengambil kebijakan krusial, termasuk penerapan sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate), penutupan bank bermasalah, dan restrukturisasi menyeluruh pada sektor perbankan.
Pasca-krisis, Pemerintah menerbitkan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menetapkan BI sebagai bank sentral yang independen. Tujuan utamanya pun diperjelas: mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.
Status sebagai agen pembangunan dihapuskan, dan BI mulai menerapkan kebijakan Inflation Targeting Framework (ITF), di mana kredibilitas diukur dari kemampuannya mencapai target inflasi.
Pada 2004, DPR mengesahkan UU No.3 Tahun 2004 yang memperkuat posisi independen BI, sekaligus menyempurnakan pengaturan tugas dan pengawasan bank sentral.
Melalui UU No.6 Tahun 2009, peran BI sebagai lender of the last resort ditegaskan, memungkinkan bank sentral memberikan likuiditas dalam situasi darurat.
Tahun 2011, dengan disahkannya UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan dari BI ke OJK. BI pun fokus pada pengawasan makroprudensial demi stabilitas sistem keuangan nasional.
Era Modern: Undang-Undang P2SK dan Transformasi BI (2023)
Perjalanan panjang itu mencapai babak baru pada tahun 2023 dengan lahirnya UU No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). UU ini memberikan mandat baru bagi BI dalam penguatan sektor keuangan domestik, terutama dalam bidang makroprudensial. BI melakukan transformasi internal secara masif demi mengoptimalkan perannya di tengah tantangan global.
Sejarah panjang Bank Indonesia merupakan refleksi dari evolusi keuangan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Dari kolonialisme, penjajahan, revolusi, hingga era modern, BI telah menjalani perjalanan transformasional menuju bank sentral yang kuat, independen, dan kredibel.
Peringatan Hari Bank Indonesia setiap 5 Juli bukan sekadar seremonial institusi, tetapi momentum untuk mengenang dan mengapresiasi peran vital BI dalam menjaga kestabilan ekonomi nasional serta membangun masa depan keuangan yang berdaulat. [UN]