Koran Sulindo – Upaya untuk melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya paparan rokok tergolong berat. Paparan dari asap rokok merupakan salah satu masalah besar yang merusak kesehatan.
“Target capaian RPJMN 2014-2019 Indonesia adalah 5,4 persen, tapi yang terjadi malah 9,1 persen,” kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto kepada wartawan, Senin (2/11).
Padahal, secara regulasi, misalnya Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 45 B, mengatakan bahwa pemerintah pusat, daerah, masyarakat dan orang tua wajib memberikan perlindungan bagi anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang anak.
Kemudian dalam Pasal 76 Undang-undang 35 Tahun 2014 juga mengatakan secara jelas bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh anak dalam penyalahgunaan serta produksi alkohol dan zat adiktif lainnya.
“Artinya, anak-anak kita tidak boleh disuruh atau dimintai untuk membeli rokok karena berlawanan dengan undang-undang,” kata Susanto.
Untuk kondisi saat ini, merujuk data Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi perokok anak usia 10 hingga 18 tahun berada pada angka 7,2 persen. Kemudian angka itu naik menjadi 9,1 persen pada 2018.
Berdasarkan hasil Riskesdas Kemenkes, lanjut Susanto, tingginya prevalensi perokok anak di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain, di antaranya terkait harga rokok itu sendiri.
Dari sisi harga rokok di Tanah Air, kata Susanto, masih dapat dijangkau oleh kalangan anak-anak yang memudahkan mereka untuk membeli. Selanjutnya faktor lingkungan juga turut menyumbang tingginya prevalensi perokok anak.
“Saat ini promosi rokok juga makin dinamis, bahkan melalui media digital,” ujar Susanto.
Sementara, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Rizkiyana Sukandhi Putra mengatakan, tembakau merupakan salah satu faktor penyebab risiko kesakitan, kematian, disabilitas hingga Covid-19.
Putra menyebut, orang yang termasuk perokok aktif memiliki risiko kematian lebih tinggi akibat Covid-19 jika dibandingkan orang yang tidak merokok.
Bila dilihat dari aspek ekonomi, penduduk miskin sebagai perokok sebesar 27,3 persen dan penduduk kaya 19,5 persen. “Ini menunjukkan perilaku merokok ada di setiap lapisan masyarakat,” kata Putra. [WIS]