Token, Uang Lokal di Kawasan Perkebunan

Token perkebunan Asahan, 1891. (Sumber: bi.go.id)

Negara kita kaya akan koleksi numismatik. Selain uang kertas dan uang logam (koin), di Nusantara pernah beredar uang perkebunan (uang kebon) dengan istilah populer token (plantation token). Token dikeluarkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta atau nonpemerintah di Sumatera Timur atas wewenang pemerintahan Hindia-Belanda. Ciri utama token menyebut nama dan tempat asal perkebunan, jenis perkebunan (seperti tembakau, kopi, dan teh), tahun terbit token, dan nilai token. Batas waktu dan persyaratan berlakunya token ditentukan oleh penerbit ‘uang’ tersebut.

Token hanya bisa diedarkan dan digunakan secara lokal di kawasan perusahaan perkebunan tertentu. Sejauh ini diketahui token memiliki berbagai bahan, bentuk, dan variasi ukuran. Bahan terbanyak berupa logam, seperti timah, nikel, dan tembaga. Token berbahan kertas, bambu, dan kayu hanya dijumpai di beberapa tempat. Ditinjau dari bentuk, ada yang bundar, oval, segi tiga, segi lima, segi tujuh, dan tidak beraturan.

Para pekerja atau kuli kontrak menggunakan token untuk membeli keperluan sehari-hari, seperti makanan, beras, gula, kopi, dan pakaian di wilayah tempat kerja mereka. Maklum, upah mereka dibayar dengan token. Uniknya, token dapat juga dipakai sebagai alat pembayaran di tempat-tempat pelacuran di sekitar perkebunan.

Rupanya para pedagang itu merupakan rekanan perusahaan yang dipilih berdasarkan sistem ‘lelang’. Tuan kebun memborongkan hak berdagang di perkebunan kepada seorang ‘pelamar’. Sering kali pemenang ‘lelang’ adalah seorang pengawas, yang kemudian menunjuk istri atau kerabatnya yang lain.

Menurut para tuan kebun, mereka mengeluarkan token karena ada kekurangan mata uang kecil di Sumatera Timur. Alasan lain, lokasi perkebunan pada umumnya jauh dari kota sehingga rawan kejahatan. Apalagi pada waktu itu sarana transportasi masih sangat terbatas. Bila setiap minggu harus bolak-balik ke kota untuk mengambil uang tunai, maka hal itu dirasakan sangat tidak praktis. Lagi pula lewat pembayaran upah dengan token, perusahaan dapat mengontrol keluar masuknya tenaga kerja. Jika upah menggunakan uang tunai dikhawatirkan pekerja tersebut langsung kabur setelah menerima upah.

Token di Sumatera muncul sejak adanya perkebunan Deli pada abad ke-19. Perkebunan-perkebunan tersebut dibuka oleh para investor asing, seperti dari Belanda, Inggris, dan Prancis untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa. Saat itu hasil perkebunan yang paling dikenal adalah tembakau Deli. Dengan kehadiran berbagai perusahaan di Sumatera Timur, muncul berbagai jenis token yang digunakan di masing-masing perkebunan.

Token kertas Paloh Kimiri/kiri berukuran 75,82 mm x 44,42 mm dan Boven Langkat/kanan berukuran 73,59 mm x 57,76 mm. (Sumber: Museum Nasional Indonesia)

Laman kintamoney.com mencatat terdapat 80-an token dari seluruh Nusantara. Yang terbanyak token perkebunan dari Sumatera. Wilayah Jawa dan Kalimantan juga memiliki token, bahkan di wilayah Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan (Maluku Utara). Selain token perkebunan, ada token pertambangan.

Token memiliki nilai dollar dan sen. Tulisan yang ada adalah Belanda, Inggris, Jerman, Mandarin, dan Arab. Seperti halnya koin, token juga menjadi artefak yang bermanfaat untuk rekonstruksi sejarah. Kini koleksi token bisa dijumpai di beberapa museum seperti Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara, Museum Perkebunan Sumatera Utara, Museum Uang Sumatera, Museum Bank Indonesia, dan Museum Nasional Indonesia.

Di Museum Uang Sumatera ada beberapa koleksi token logam, antara lain token perkebunan unternehmung Goerach Batoe (Asahan, 1890), token perkebunan unternehmung Bindjey (Binjai, 1890), token perkebunan Toentoengan Eong Hong (Soenggal, Medan, 1896), token perkebunan unternehmung Tanah Radja (Kisaran, Asahan, 1890), token perkebunan unternehmung Poelau Radja (Asahan, 1890), token perkebunan unternehmung Tandjong Alam (Asahan, 1891), token perkebunan unternehmung Kisaran (Asahan, 1888), dan token perkebunan unternehmung Hessa (Asahan, 1888-1890).

Museum Nasional Indonesia juga memiliki beberapa koleksi token logam dan token kertas. Dapat disebut di sini beberapa token kertas dari Namu Ukur, Kampong Bahru, Tanjong Bringin, dan Boven Langkat, yang semuanya berada di Langkat. Ada lagi token kertas dari Sungai Suka Estate (Batubara) dan Paloh Kimiri (Deli Serdang).

Token logam dapat digunakan berkali-kali, sementara token kertas berlaku sekali saja. Masa berlakukanya dapat diketahui dari tanda tangan, nomor, dan stempel yang tertera di uang kertas tersebut.

Pelopor uang perkebunan mungkin Jacob Nienhuys. Pada 1869 pengusaha Belanda terkemuka itu  bersama PW Janssen dan CG Clemen, mendirikan Deli Maatschappij.  Pada 1888 mereka membuka kantor NHM di Medan. NHM atau Nederlandsche Handel-Maatschappij adalah perusahaan dagang Belanda. Mereka mempekerjakan sekitar 3.000 tenaga kuli kontrak, 1.200 orang di antaranya kuli Tionghoa yang umumnya didatangkan dari Singapura dan Penang. Sebagian lainnya pekerja dari Jawa.

Sejak 1911 token perkebunan tidak berlaku lagi karena pemerintah Hindia-Belanda sudah dapat memenuhi kebutuhan uang pecahan kecil untuk perkebunan-perkebunan tersebut.  Kini token menjadi benda koleksi yang diburu para numismatis. Ironisnya untuk mengetahui token perkebunan ini kita hampir selalu memakai karya Scholten. Sementara ini ia mendata ada sejumlah 51 pembuat token dan 195 jenis token. [DS]

Baca juga: