Presiden Soekarno pernah membentuk tim pembentukan NKRI, yang bertugas mengembalikan Republik Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia. Sebagian anggota tim ini nyaris terlupakan dalam sejarah Indonesia.
Ketika saya meneliti buku-buku lawas dan dokumen di Arsip Nasional hal perjuangan kemerdekaan dan pembentukan Negara Kesatuan RI, terdapat dua nama dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia adalah Iszak R. Lobo dan Benyamin Sahetappy Engel. Sayang sekali nama-nama itu tidak diingat dan dilupakan di NTT. Kedua nama besar itu tak ada tanda dalam nama jalan atau semacam lapangan terbang atau pelabuhan.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, negara muda ini menghadapi berbagai macam ancaman yang bisa menghancurkannya. Belanda sama sekali tidak mau mengakui kemerdekaan kita. Inggris yang menjalankan misi sekutu pun memiliki dua tugas: melucuti Jepang dan mengembalikan RI kepada Belanda sesuai dengan Perjanjian Potsdam.
Pasukan Inggris yang menghadapi berbagai perlawanan di Surabaya dan Bojong Kokosan, akhirnya menghadapi kenyataan bahwa kemerdekaan Indonesia dan pemerintahan Soekarno-Hatta adalah suatu realitas. Padahal sebelumnya, sudah ada pesanan dari mantan Perdana Menteri Inggris Churchill bahwa pemerintahan Soekarno harus digagalkan. Soekarno, kata Churchill, tidak saja akan memerdekakan negerinya, tapi ia akan membuat Inggris kelak kehilangan koloni-koloninya.
Di dalam negeri Soekarno mendapat dukungan dari mana-mana. Tanggal 16 Januari 1946, dikeluarkan resolusi oleh 1.300.000 orang Tapanuli, yang isinya: berdiri di belakang Presiden Soekarno dan siap sedia mempertahankan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Inilah pertama kali resolusi pertama serupa itu yang diperoleh pemerintahan Soekarno dari rakyat. Perundingan demi perundingan, dengan pihak Inggris dan kemudian dengan Belanda yang mencoba membatalkan kemerdekaan Indonesia, akhirnya sampai juga ke Konperensi Meja Bundar (KMB) di mana Indonesia dan Belanda berada pada posisi sederajat. Walau pun begitu Belanda masih berusaha mengikat Indonesia bersama Suriname dan Curacao dalam satu perserikatan.
Sebelum maju dalam KMB, wilayah Indonesia secara de facto terdiri dari Republik Indonesia dengan Presiden Mr Asaat, dan Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari Republik Indonesia dan beberapa negara bagian, seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, dan lain-lain. Negara-negara bagian bentukan Belanda ini satu demi satu membubarkan diri. Secara simbolis Presiden Soekarno tidak menghendaki bendera Merah Putih berkibar sebagai bendera RIS pada Ulang Tahun kemerdekaan kelima, 17 Agustus 1950.
Maka, setelah penyerahan kedaulatan RI dari Kerajaan Belanda tanggal 29 Desembar 1949, Presiden RIS Bung Karno buru-buru membentuk Tim Pembentukan NKRI yang dipimpin Prof. Dr. Mr. Soepomo sebagai Ketua dan Mr Moh. Kosasih Purwanegara sebagai wakil ketua. Anggotanya: Mr. A. M. Tambunan, Ir Sakirman, I. R. Lobo, B. Sahetappy Engel, Mr Teuku Muhammad Hassan, serta Mr. A. W. Suryadiningrat sebagai sekretaris. .
Presiden RI Mr. Asaat menugaskan tujuh orang pula, yaitu: Abdul Hakim (Ketua), dengan anggota Mr. Hardi, Mr. Soehardi, Mr. Roestamadji, Djohan Syahruzah, Harsono Tjokroaminoto, Hutomo Supardan, serta Ali Wistohardjo sebagai sekretaris. Sebelum perundingan dimulai Hutomo Supardan dari RI dan Ir Sakirman dari RIS mengundurkan diri.
Tim ini bertugas mengembalikan kedudukan Negara Republik Indonesia yang semula diubah menjadi RIS yang di dalamnya terdapat RI dan negara-negara federal, yang disepakati pendiriannya hanya untuk kebutuhan Konperensi Meja Bundar (KMB) sesuai tuntutan Belanda. Presiden Soekarno ingin agar tanggal 17 Agustus 1950 RIS dan RI sudah kembali melebur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tanggal 3 Juni 1950 tim itu menghasilkan Sub-panitia Perancang UUD, Sub- Panitia Politik, Sub Panitia Ekonomi dan Keuangan, Sub Panitia Pertahanan, serta Sub Panitia Sosial.
Pada tanggal 29 Juni 1950 panitia ini berhasil menyusun RUUD Sementara dan keesokan harinya langsung diserahkan kepada kedua pimpinan negara: Presiden RIS Soekarno dan Presiden RI Mr. Assat. UUD itu kemudian dikenal dengan UUD 1950.
Panitia bersama itu selajutnya menyusun kementrian-kementerian yang terdiri dari: Kementrian Dalam Negeri; Luar Negeri; Pertahanan; Kehakiman; Keuangan; Perdagangan dan Perindustrian; Pertanian; Perhubungan; Perburuhan; Kesehatan; Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP&K); Sosial, dan Agama. Susunan ini disetujui oleh kedua Perdana Menteri yaitu: Perdana Menteri RIS Moh. Hatta dan Perdana Menteru RI Abdul Halim.
Panitia ini juga menyusun organisasi Parlemen dan Konstituante dengan memperhatikan keterwakilan dari golongan-golongan kecil.
Bagi anggota tim ini–I. R. Lobo, B. Sahetappy Engel, Mr Albert Mangaratua Tambunan, Teuku Mohammad Hassan– berdiplomasi dalam organisasi bukanlah hal baru.
Saat Jakarta diduduki Belanda, misalnya, Lobo membentuk Direktorat Jenderal Doane (Bea Cukai) yang berkedudukan di Magelang dan menjadi dirjennya yang pertama. Di Jogjakarta ia membentuk Batalion Paradja, yang teridiri dari pemuda-pemuda asal Karisidenan Timor yang bergabung dalam Resimen Sunda Kecil. Ia ikut juga merebut KPM yang dijadikannya sebagai pelayaran milik RI dengan nama Pelni.
Dalam Ensiklopedia Indonesia pertama yang diterbitkan oleh Penerbitan NV W. Van Hoeve, Bandung, tahun 1955, I.R. Lobo disebut sebagai anggota KNP (Komite Nasional Pusat) yang sekarang disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) sejk bulan Maret 1947. Di KNP ia menjadi Ketua Fraksi Partai Indonesia Raya (Parindra). Bulan April 1951 ia keluar dari Parindra dan membentuk Persatuan Rakyat Marhaenis Indonesia (Permai) dan menjadi ketua umumnya. Sejak tahun 1945 Ia aktif dalam GRISK (Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Keci)l yang ikut memperjuangkan kemerdekaan tahun RI. Sejak tahun 1947 – 1950 GRISK dipimpin Prof. Ir. Herman Johannes.
Mr A. M. Tambunan adalah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kemudian menjadi Wakil Ketua DPR RI dan Ketua Partai Kristen Indonesia. Ia lahir di Tarutung, tahun 1911.
Sedangkan Mr Teuku Mohhamd Hassan lahir di Sigli, Aceh tahun 1906. Setamat dari pendidikan Ilmu Hukum di Leiden, Belanda, ia memimpin Muhamdiyah di Aceh, duduk dalam Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, menjhabat Gubernur Sumetera, kemudian Menteri Dalam Nnegeri dalam pemerintahan darurat.
Nama-nama mereka juga terdapat dalam buku Bung Hatta, “Mendayung di Antara Dua Karang”, yang aslinya merupakan pidato dalam penyusunan kebijakan luar negeri Republik Indonesia. Nama-nama mereka dalam susunan Pembentukan NKRI umumnya dinamai jalan di Ibukota negara atau provinsi tempat mereka berasal, kecuali I. R. Lobo dan Sahetappy Engel. Tokoh-tokoh itu juga sudah diangkat sebagai Pahlawan Nasional, kecuali kedua politisi asal Kupang itu.
Pemerintah Indonesia ada baiknya memperhatikan soal ini. Para tokoh ini layak dihargai jasa-jasanya bagi bangsa dan negara. [Peter A. Rohi]
Artikel ini pernah di muat pada (7 Desember 2017)