Koran Sulindo – Sudah sejak ribuan tahun lalu, manusia berhasrat ingin bisa terbang. Kita dapat menemukan tokoh Icarus dalam mitologi Yunani Kuno, yang telah dikisahkan sejak sebelum Masehi. Icarus dibuatkan sayap oleh ayahnya sehingga bisa mengangkasa, tapi penerbangannya berakhir tragis karena terlampau dekat dengan matahari.
Di dataran Asia ada kisah epik Mahabharata yang dari India, yang ditulis sekitar tahun keempat sebelum Masehi. Di dalamnya ada tokoh Gatot Kaca, yang bisa terbang.
Mobilitas manusia selama ribuan tahun memang belum dapat menjangkau ke daerah-daerah yang sangat jauh dari kawasan asalnya. Manusia mulai dapat bergerak lebih leluasa ketika mampu menciptakan roda dan kemudian perahu.
Lalu terjadi penemuan mesin uap, yang memicu Revolusi Industri pada abad ke-18 dan ke-19. Teknologi pun bergerak lebih cepat. Dan, pada abad ke-20, manusia mampu menciptakan pesawat terbang, yang me-revolusi bukan saja cara manusia menjangkau daerah lain yang sangat amat jauh, tapi juga cara pandang manusia terhadap dunia.
Dalam film dokumenter Living in the Age of Airplanes yang dibesut Brian J. Terwilliger dan narasinya diisi dengan suara Harrison Ford tergambarkan, dengan adanya pesawat terbang, manusia mampu melakukan perjalanan sangat jauh sampai ke berbagai pelosok dunia, yang tak terbayangkan sebelumnya.
Pertukaran kebudayaan juga meningkat pesat. Begitu pula globalisasi perdagangan dan migrasi. Pesawat terbang benar-benar telah mengubah cara manusia berinteraksi satu sama lain di planet ini.
Bahkan, perjalanan dengan pesawat terbang dianggap sebagai perjalanan paling aman dibanding dengan menggunakan alat transportasi lain. Prosedur yang ketat sebelum dinyatakan pesawat layak terbang menjadi salah satu kuncinya.
Jadi, benarlah judul film dokumenter Terwilliger itu, inilah Zaman Pesawat Terbang. Apalagi, belakangan ini, semakin banyak saja manusia yang “dapat terbang”, dengan adanya apa yang dinamakan penerbangan murah atau low-cost carrier (LCC).
Namun, kita pun tahu, musibah atau kecelakaan yang menimpa pesawat terbang juga tidak sedikit. Di Indonesia saja, data dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkapkan, ada 94 accident dan 160 serious incident penerbangan sejak tahun 2010 hingga 2017.
Sementara itu, Aviation Safety Network menyebutkan, ada 99 kasus yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1945 hingga Oktober 2018. Semua kecelakaan tersebut berakhir fatal, yang menyebabkan 2.247 jiwa melayang. Indonesia pun masuk dalam daftar sepuluh negara dengan jumlah accident tinggi. Yang juga masuk dalam daftar ini adalah Amerika Serikat, Rusia, dan Brasil.
Apakah penerbangan murah menjadi salah satu faktor penyebab kecelakaan-kecelakaan itu? Perlu diteliti lebih lanjut untuk mendapat jawaban seakurat mungkin atas pertanyaan tersebut.
“Masalahnya, sesuai dengan istilahnya, penerbangan murah, apakah bisa para penyedia penerbangan murah melakukan efisiensi yang sangat tinggi dan ketat, tanpa mengabaikan aspek-aspek keselamatan? Karena, harus diakui, harga pesawat itu relatif mahal dan juga bahan bakarnya serta biaya-biaya operasional lainnya,” kata Pendiri dan Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia, Emir Moeis, dalam diskusi dengan seluruh awak redaksi.
Yang juga perlu diperhatikan, lanjut Emir, adalah soal kedisiplinan dalam menaati aturan yang terkait keselamatan dalam penerbangan. “Ini tanggung jawab semua pihak yang berkepentingan, termasuk para penumpang. Namun, pemerintah sebagai regulator punya tanggung jawab lebih untuk memastikan semua aspek terkait keselamatan penerbangan telah dipenuhi, sehingga dapat meminimalkan risiko kecelakaan,” ujar Emir. [PUR]