PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN pada tahun 2019 ini memasuki usia yang ke-46, hampir setengah abad. Bagi suatu organisasi, terutama partai politik, perjalanan panjang itu tentulah bukan sekadar lintasan angka. Sejarah pun mencatat, dinamika dan gejolak di internal PDI Perjuangan tidaklah sedikit, bahkan kadang tak jarang begitu sengit.

Namun, sampai sekarang, semua orang bisa menyaksikan soliditas para kader banteng bermoncong putih ini. Sulit dimungkiri, apa yang telah dicapai PDI Perjuangan sehingga menjadi partai besar yang solid tak lain karena keberhasilan Megawati Soekarnoputri dalam menjalankan kepemimpinannya, sebagai ketua umum.

Menjadi penting kiranya mengingat kembali apa yang dikatakan Megawati dalam pidato politiknya pada peringatan ulang tahun ke-45 PDI Perjuangan, 10 Januari 2018 lalu. Dalam pidato tersebut, putri sulung Bung Karno ini mengingatkan sekali lagi kepada kader PDI Perjuangan agar mengenyahkan pemikiran pragmatis.

Kalau direnungkan lebih jauh, sebenarnya inilah kunci utama keberhasilan Megawati memimpin PDI Perjuangan. Ia tidak pernah berpikir pragmatis. Visinya sangat jauh ke depan dan bukan semata-mata demi partainya, melainkan juga demi Tanah Air, bangsa dan negara, juga bagi dunia.

Kita dapat menelusuri rekam jejaknya. Perhatian dan tindakan Megawati melewati sekat-sekat politik praktis. Ia, misalnya, memberi perhatian terhadap kelestarian lingkungan, pentingnya sistem kearsipan, perlunya kesiapsiagaan dalam penanganan bencana, sampai upayanya untuk aktif dalam menjaga perdamaian dunia.

Orang yang pragmatis tentu saja tak akan memberi perhatian dan bersikap seperti itu. Bagi politisi pragmatis, semua tindakan hanya ad hoc belaka, dilakukan hanya untuk mengejar kursi kekuasaan, tak peduli dengan dampak yang akan ditimbulkan. Politisi pragmatis tak memiliki gambar besar tentang kehidupan bangsa dan negaranya di masa depan.

Itu sebabnya, politisi pragmatis memandang ideologi tak lebih sekadar omong kosong atau setidaknya hanya dijadikan sebagai “bulu domba” untuk menutupi perangai “serigala”-nya. Mereka juga mudah menyerah, gampang kompromi, apalagi bila dihadang batu sandungan.

Tak mengherankan jika politisi dan juga partai politik yang pragmatis menjadi mudah dikooptasi, penuh konflik, dan kehilangan arah perjuangan. Karena, mereka berpolitiknya mengabaikan gagasan ideologis yang terang-terangan, termasuk pertimbangan moral dan etika. Tak jarang malah menghalalkan segara cara.

Pada dasarnya, orang-orang seperti itu adalah politisi yang individualistis, tak peduli dan tak mempertimbangkan kepentingan orang banyak, keselamatan rakyat. Soal ini juga telah diingatkan Megawati dalam pidatonya tersebut. Sikap individualistis tak boleh ada dan tak boleh hidup di PDI Perjuangan.

“Gelorakan jiwa gotong-royong! Nyalakan suluh perjuangan!” kata Megawati lagi.

Pesan ini sungguh perlu selalu diingat oleh seluruh kader PDI Perjuangan. Apalagi, kita sedang memasuki era baru, era yang berlandaskan ilmu pengetahuan dan bersandar pada kemajuan teknologi informatika yang luar biasa.

Era sekarang juga menyimpan paradoks-nya sendiri. Di satu sisi, sekat-sekat primordial, termasuk sekat-sekat kebangsaan, semakin mencair. Namun, di sisi lain, manusia malah semakin sering terperangkap dalam ruang-ruang personalnya masing-masing, berlama-lama di depan telepon pintarnya, dan menengok realitas kehidupan yang nyata hanya lewat layar kaca.

Generasi Milenial juga telah datang. Jumlah mereka yang memiliki hak pilih dalam Pemilihan Umum 2019 mendatang, menurut beberapa survei, lebih dari 50%.

Jadi, seperti kata Megawati, “Nyalakan api pergerakan, satukan diri, singsingkan lengan, kepalkan tangan persatuan, dan gemakan pekik merdeka sejati. Karena tujuan kita adalah Indonesia raya. Merdeka, merdeka, merdeka!” [PUR]