Koran Sulindo – Bumi tidak bertambah luasnya, namun penghuninya terus bertambah dari masa ke masa. World Resources Institute (WRI), Bank Dunia, dan UNDP memperkirakan, penduduk dunia pada tahun 2050 akan mencapai 9,8 miliar jiwa.
Sekarang ini, jumlahnya sudah lebih dari 7,5 miliar orang. Data Badan Statistik Amerika Serikat memperlihatkan, jumlah penduduk dunia pada Januari 2018 mencapai 7,53 miliar jiwa. Dengan demikian, dalam tempo sekitar 30 tahun lagi, penduduk dunia akan bertambah lebih dari 2 miliar orang.
Dari jumlah penduduk dunia sekarang ini, yang terbanyak adalah anak berusia 0-4 tahun, yakni mencapai 662 juta jiwa atau kurang-lebih 8,7% dari total populasi; setelah anak usia 5-9 tahun dan 10-14 tahun. Yang masuk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 4,99 miliar atau kurang-lebih 66% dari total penduduk dunia. Adapun yang berusia di atas 100 tahun mencapai 500 ribu jiwa atau sekitar 0,01% dari populasi. Jadi,
Bagaimana dengan Indonesia? Hasil Survei Penduduk Antar-sensus (Supas) Tahun 2015 menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2019 ini diproyeksikan mencapai 266,91 juta jiwa. Yang bisa dikatakan menguntungkan, penduduk usia produktif Indonesia lebih banyak dari usia tidak produktif. Penduduk usia produktifnya lebih dari 68% dari total populasi. Inilah yang disebut bonus demografi.
Namun, penduduk usia produktif di Indonesia banyak yang menanggung beban membiayai orang yang tak lagi berusia produktif. Angka Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) penduduk Indonesia mencapai 45,56%. Itu berarti, setiap 100 orang yang berusia produktif (angkatan kerja) memiliki tanggungan 46 penduduk tidak produktif (usia 0-14 tahun ditambah usia 65 tahun ke atas).
Jadi, kalau melihat Angka Rasio Ketergantungan itu, ada sisi yang mencemaskan dari bonus demografi . Begitu pula dengan akan semakin banyaknya penduduk dunia.
Tak mengherankan jika WRI, Bank Dunia, dan UNDP mengingatkan akan adanya kemungkinan ancaman krisis pangan dunia pada tahun 2050. Karena, dengan bertambahnya penduduk tentu saja kebutuhan meningkat. Pada tahun 2050 itu, kebutuhan pangan penduduk dunia diperkirakan akan meningkat 60% dari sekarang.
Kita memang tidak boleh pesimistis. Namun, bukan berarti kita boleh menjadi abai terhadap bahaya yang mengintip generasi bangsa di masa depan. Bumi Indonesia memang “tanah surga”, “tempat padi terhampar, samuderanya kaya raya” seperti potongan lirik lagu “Darah Juang” yang diciptakan musisi aktivis John Tobing.
Namun, seperti diungkap dalam lirik lagu itu juga, negeri ini masih menyimpan banyak masalah kesejahteraan. Misalnya saja masih banyak anak di bawah usia lima tahun (balita) yang kurang gizi, sehingga mengalami hambatan pertumbuhan, bertubuh kerdil (stunting). Prevalensi anak penderita stunting di Indonesia terbesar kedua di kawasan Asia Tenggara, di bawah Laos yang mencapai 43,8%. Di dunia, Indonesia berada di peringkat keempat.
Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, balita yang mengalami stunting di Indonesia mencapai 30,8%. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang sebesar 20%.
Ironisnya, seperti diungkapkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro, Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia, terbesar setelah Arab Saudi.
Sementara itu, luas persawahan di Pulau Jawa juga terus menyusut. Data dari Institut Pertanian Bogor menunjukkan, luas sawah di Jawa sekarang ini ada 8,1 juta hektare. Diperkirakan pada tahun 2045 tinggal 5,1 juta hektare.
Padahal, produksi pangan di seluruh Indonesia sangat bergantung pada Pulau Jawa. Karena, memang, tanah di Pulau Jawa paling subur dibanding sebagian besar tanah yang ada di negeri ini.
Produksi padi yang dihasilkan Pulau Jawa sekarang kurang-lebih 51,7% dari total produksi padi Indonesia. Luas lahan persawahan di Pulau Jawa sendiri kini hanya 6,8% dari luas keseluruhannya. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kalau luas sawah di Pulau Jawa berkurang: Indonesia bisa sangat kekurangan beras—yang sudah menjadi bahan makanan pokok hampir seluruh penduduk.
Bergantung pada impor untuk bahan makanan pokok jelas bisa membuat Indonesia terpuruk, apalagi bila dilakukan dalam rentang waktu panjang. Jadi, sudah saatnya memang memikirkan dan bekerja sungguh-sungguh untuk menyelamatkan generasi mendatang, menyelamatkan negeri ini. [PUR]