Tak Cuma Blokade, Saudi Juga Incar Perahu Nelayan Yaman

Koran Sulindo – Sementara nelayan Yaman mempertaruhkan nyawa di laut untuk memberi makan keluarganya, jet-jet tempur Saudi menggunakan mereka dan perahu-perahu mereka sebagai latihan menembak.

Dengan semua sektor-sektor sipil terancam oleh serangan brutal Saudi, kelaparan menjadi hantu krisis kemanusian terparah sepanjang sejarah negeri itu. Bertambah buruk karena Saudi dan sekutu-sekutunya melakukan blokade ketat mencegah impor makanan.

“Mereka mengatakan kepada kami bahwa jika kami tidak mengaku kalah, mereka akan membunuh kami dan melemparkan tubuh kami ke laut untuk dimakan ikan dan burung,” kata Omar Ghalib, seorang nelayan Yaman yang ditangkap tentara Saudi gara-gara membawa perahunya mencari ikan di luar pelabuhan Hodeida.

Tentu saja penangkapan itu sekaligus bonusnya, penyiksaan brutal.

“Kami mencari ikan di tempat biasa pada jam 2 siang. Saat mulai menurunkan jala helikopter serang Apache mulai melayang di atas kepala dan melepaskan tembakan meriamnya,” kata Omar.

“Mereka menargetkan setiap kapal nelayan. Kami ketakutan dan tidak tahu harus bagaimana. Apache itu berputar di atas kepala dan terus menembakkan tiga hingga empat putaran ke setiap kapal perahu ikan.”

Omar dan nelayan-nelayan lain bukan tak mengantisipasi serangan.  Mereka bahkan sudah mengibarkan bendera putih besar di belakang kapal untuk menunjukkan bahwa mereka adalah warga sipil. Cuma nelayan yang cari makan, tak kurang dan tak lebih.

Meskipun tanda yang disampaikan cukup jelas, kepada MintPress Omar menyebut, setelah helikopter pergi sebuah kapal mendatangi mereka. Enam tentara  mulai menembaki mereka meskipun nelayan-nelayan sudah menyerah.

“Apa yang membawamu ke tempat ini? Anda tahu tempat ini berbahaya,” kata Omar menirukan tentara-tentara Saudi itu.

“Saya katakan kepada mereka, bahwa kami datang memancing karena ikan Hamoor berlimpah di sini dan itu adalah ikan yang berkualitas baik dan berharga tinggi,” kata Omar.

Setelah percakapan dan penjelasan panjang, menurut Omar mereka segera menyela dan berkata, “Apakah Anda tahu bahwa saya bisa memberi perintah Apache untuk membunuh Anda semua?” kata Omar mengutip tentara itu.

Tak hanya dibentak dan diancam, nelayan-nelayan Yaman itu dituduh bekerja kepada milisi Houthi. Tuduhan yang tentu saja ditolak.

Setelah memerintahkan semua nelayan terjun ke laut, tentara-tentara Saudi itu menggeledah kapal selama dua jan dan tentu saja tak menemukan apapun yang mencurigakan.

Mereka lantas menangkap semua nelayan yang berjumlah 10 orang itu, memindahkan ke kapal perang mereka dan memborgolnya dengan borgol plastik.

Terlepas dari kenyataan bahwa tentara Saudi tak menemukan apa pun di kapal mereka, nelayan-nelayan itu tetap dituduh sebagai kolaborator Houthi. Mereka dipisah menjadi dua kelompok dan dimasukkan ke sel di kapal sekaligus ditelanjangi untuk mempermalukan.

“Mereka membawa saya ke ruangan tertutup ditemani tiga tentara. Dua tentara yang saya lihat adalah orang Saudi dan setiap kali saya dipukuli, seorang dokter Mesir akan datang untuk memeriksa saya,” kata Omar.

Pemukulan itu brutal, menurut Omar mereka dibaringkan telanjang dengan secuil kain dipinggang dan mulai mencambuk sementara tangan diborgol di belakang.

“Mereka mencambuk kami berulang-ulang menggunakan kabel listrik hitam sampai saya merasa tubuh saya terbakar. Teriakan saya, Tolong berhenti! tolong kasihanilah! tidak berhasil,” kata Omar.

Cerita mengerikan seperti yang disampaikan Omar bukan satu-satunya kisah. Selama tiga setengah tahun terakhir, koalisi Saudi dan UEA yang didukung Amerika Serikat dan Inggris tanpa henti membombardir target sipil, termasuk sekolah, rumah sakit, klinik, fasilitas pengolahan air, dan bahkan bis-bis sekolah.

Bukannya tanpa sengaja, sasaran sipil memang dipilih untuk menghancurkan ekonomi Yaman. Di kepala para perancang perang Saudi, dengan ekonomi yang hancur kekalahan gerilayawan hanya soal waktu.

Tanpa nelayan dan petani yang bekerja, Yaman mengalami krisis kemanusian parah. Seperti belum cukup, krisis diperburuk dengan blokade Saudi sejak Maret 2015 untuk mencegah negeri itu mengimpor makanan.

Laporan PBB baru-baru ini memperkirakan 18,4 juta orang Yaman atau dua pertiga seluruh populasi negara berisiko mati akibat kelaparan.[TGU]