Syaiful Amri, Budayawan Betawi, penulis buku Betawi Ngontrak. (foto: Sulindo/Iqyanut Taufik)
Syaiful Amri, Budayawan Betawi, penulis buku Betawi Ngontrak. (foto: Sulindo/Iqyanut Taufik)

Dalam era globalisasi penyebaran informasi semakin terbuka, akses yang tak terbatas menjadikan informasi yang didapat juga semakin mudah, seperti halnya budaya asing yang perlahan mengikis budaya lokal. Anak muda lebih perhatian dengan budaya asing dibandingkan dengan budaya lokal, bahkan menganggap budaya lokal sebagai budaya yang kuno.

Hal ini menjadi perhatian bagi budayawan Betawi, Syaiful Amri yang akrab disapa Bang Ipul. Menanggapi fenomena ini, dirinya menegaskan bahwa budaya asing jangan sampai mengikis budaya lokal karena budaya lokal sudah diwariskan secara turun temurun.

”Sebetulnya Budaya Pop itu bagus juga, asal jangan sebuah tradisi (asing) sangat mempengaruhi sehingga tradisi kita menjadi hilang, karena tradisi itu merupakan sesuatu yang telah dilakukan secara turun temurun,” ucap Bang Ipul.

Bang Ipul juga menjelaskan bahwa kelestarian budaya seharusnya dilakukan dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran dan peran masyarakat maupun pemerintah  sangat dibutuhkan karena efek yang terjadi dari globalisasi bisa mengikis budaya lokal jika masyarakatnya sendiri tidak mau melestarikannya. Beliau menyampaikan ini melalui pantun

”Tanam sawi kudu di aerin, petik pepaya di pagi hari, budaya kita kudu dilestariin, kalau bukan kita siapa lagi,” katanya.

Selanjutnya beliau juga menyampaikan bahwa tata krama yang ada di masyarakat betawi mulai bergeser, khususnya para anak muda. Beliau mencontohkan perihal cium tangan dimana dulu ketika anak muda bersalaman dengan orang tua, mereka pasti mencium tangan dengan menempelkan tangannya di hidung, bukan di kening apalagi di pipi. Beliau menjelaskan bahwa mencium tangan orang tua itu mempunyai filososfi untuk menghirup aura orang tua agar anak muda lebih menghormati orang yang lebih tua.

”Orang Betawi mencium tangan itu punya filosofi, bagaimana orang betawi mencium tangan orang yang lebih tua atau yang lebih senior itu menghirup aura orang tua. Sekarang kalau cium tangannya di pipi atau di jidat, apa yang dihirup,” tegasnya.

Gaya berpakaian juga menjadi perhatian bagi laki-laki lulusan Seni Teater di Institut Kesenian Jakarta ini. Dirinya mengatakan bahwa banyak di era sekarang, orang betawi yang merasa malu untuk memakai pakaian khas Betawi dalam kegiatan sehari-hari. Beliau menyinggung kebiasaan orang India yang menggunakan pakaian khas untuk kegiatan kesehariannya.

Kebanggaan menggunakan pakaian adat sudah semakin menipis bahkan dianggap tidak modis atau ketinggalan jaman. Beliau juga menegaskan bahwa untuk melawan globalisasi utamanya adalah kebanggaan dengan budaya yang kita miliki salah satunya adalah cara berpakaian.

”Gimana kita mau menjaga tradisi kita yang mau melawan globalisasi, itu gak akan menang jika kita sendiri malu untuk melakukan itu (memakai pakaian Betawi),” pungkasnya.

Menjaga kelestarian budaya menjadi tugas kita sebagai penerus warisan yang ditinggalkan pendahulu kita. Budaya menjadi identitas yang mengenalkan kekayaan Indonesia kepada negara lain. [IQT]