Survei: Terjadi Disparitas Penegakan Hukum di Kejagung

Gedung Kejaksaan Agung/ist

Koran Sulindo – Lembaga Survei KedaiKOPI melakukan survei opini publik tentang kinerja lembaga Kejaksaan Agung. Hasilnya menunjukkan, masih terjadi disparitas penegakan hukum dan penanganan perkara yang dilakukan oleh institusi Kejaksaan pada kasus-kasus tertentu.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo mengatakan, sebanyak 59,5 persen dari responden di seluruh Indonesia menganggap disparitas atau ketimpangan perlakuan yang cenderung tidak adil dalam penegakan hukum di kejaksaan sangat besar.

Responden menilai masih terjadi ketidakadilan hukum yang dirasa tajam ke bawah, tumpul ke atas. “Disparitas hukum dipersepsi terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Ini harus menjadi perhatian kejaksaan dan pemerintah,” imbuh Kunto kepada wartawan, Kamis (12/8).

Sementara, sebanyak 71,7 persen responden di seluruh Indonesia menganggap telah terjadi disparitas perlakuan hukum terhadap eks Jaksa Pinangki. Adanya tuntutan hukuman yang rendah serta tidak diajukannya kasasi atas putusan hakim oleh Jaksa Penuntut Umum menjadi alasan utama persepsi warga tentang disparitas hukum tersebut.

Analis komunikasi politik Hendri Satrio mengatakan, sebanyak 71,2 persen warga Indonesia menganggap tuntutan JPU terhadap Pinangki terlalu ringan. Sebanyak 61,6 persen responden tidak setuju terhadap absennya proses kasasi dari JPU, serta 65,6 persen menganggap ada perlakuan tidak adil dari Kejaksaan dalam kasus Pinangki.

“Ini karena Kejaksaan dianggap melindungi anggotanya,” kata Hendri.

Hendri menambahkan bahwa di dalam survei ini mayoritas publik, atau 79,6 persen, memiliki persepsi bahwa telah ada bantuan orang dalam, sehingga Pinangki kemudian mendapatkan hukuman yang rendah.

Berangkat dari persepsi kasus Pinangki tersebut, masyarakat akhirnya menilai disparitas hukum atau pidana yang terjadi di tubuh institusi Kejaksaan di seluruh Provinsi di seluruh pelosok negeri ini ternyata sangat tinggi.

“Terdapat 59,5 persen responden yang menganggap disparitas hukum di Provinsi mereka (responden) sangat besar,” tukas Hendri.

Alasan responden memberikan penilaian adanya disparitas hukum yang besar ini terlihat dari hasil survei yang mengungkapkan bahwa hukum masih bersifat tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Efek lain dari skandal kasus Pinangki adalah kesetujuan masyarakat yang tinggi terhadap permintaan Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada Presiden Jokowi untuk memberhentikan Jaksa Agung ST Burhanudin.

Terdapat 81,7 persen responden yang setuju dengan permintaan ICW tersebut dengan alasan menurunnya performa kejaksaan (30,8 persen), tidak transparan dalam penanganan kasus (22,7 persen), dan dianggap terlibat dalam kasus Pinangki (9 persen).

Sedangkan 18,3% responden tidak setuju dengan permintaan ICW tersebut dengan alasan, antara lain, belum terbukti terlibat (12 persen) dan kinerjanya masih baik (10,5 persen). [WIS]