Faksi terbesar militan di Idlib adalah Hayat Tahrir al-Sham

Koran Sulindo – Dengan begitu banyak bus-bus hijau yang memuat para teroris menuju Idlib, akhir perang saudara di Suriah jelas bisa dipastikan.

Di Daraa dan al-Quneitra yang terletak di selatan Suriah dalam pola berulang para militan hanya punya dua pilihan. Menyerah dan kembali pada kehidupan sipil atau atau naik bus gratis ke Idlib.

Pergi ke Idlib bagi mereka yang keras kepala setidaknya masih bisa berhara melanjutkan jihad mendirikan negara Islam di Suriah seperti yang direkomendasikan doktrin Wahhabi.

Dengan Idlib menjadi satu-satunya kantong terakhir militan di Suriah yang menjadi tempat ‘pembuangan’ berbagai faksi dan aliran.

Dengan media mainstream Barat menyebut Idlib sebagai benteng terakhir pertahanan ‘pemberontak’, istilah itu jelas bias dan ngawur karena sebutan itu secara generik cuma berlaku bagi mereka yang termasuk militan.

Fakta di lapangan menunjukkan Idlib adalah kubu Al Qaida dan segala afiliasinya termasuk ISIS dan keluarga mereka. Istilah ‘pemberontak’ semestinya tak berlaku bagi salah satu dari kelompok-kelompok itu.

Intervensi AS dan NATO di Suriah untuk menyingkirkan Bashar al-Assad dari kepemimpinan menjual gagasan bahwa mereka mendukung pejuang kemerdekaan Suriah, alias ‘pemberontak’ yang secara generik disebut sebagai Tentara Pembebasan Suriah (FSA).

FSA adalah murni ‘penemuan’ AS dan NATO di bawah arahan agen-agen CIA di Turki.

Menjadi masalah justru karena sejak awal FSA tak pernah memiliki dukungan dari rakyat Suriah. FSA gagal membuat orang Suriah mau bertempur bersama mereka. Pada akhirnya sumber daya yang tersedia tak lebih dari para jihadis internasional yang berbondong-bondong datang ke Suriah.

Sementara Damaskus tengah menyiapkan operasi besar membersihkan Idlib dari para militan, lebih dari 3.800 bekas anggota Tentara Pembebasan Suriah (FSA) di wilayah itu justru memilih bergabung dengan barisan tentara pemerintah.

Di bawah proses rekonsiliasi, penduduk Daraa dan al-Quinetra berusia 18-42 tahun harus menjalani wajib militer. Hal yang sebenarnya menjadi kebijakan nasional Suriah selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya.

Observatorium HAM untuk Suriah memperkirakan lebih dari 23.000 bekas anggota FSA di Suriah tengah dan selatan telah unit-unit militer pemerintah.Sebagian besar dari mereka ini berasal dari daerah Ghouta Timur, Qalamun Timur dan Homs Utara, yang belum lama ini dibebaskan Damaskus dan sekutunya.

Observatorium itu memperkirakan bakal lebih banyak lagi warga sipil atau bekas anggota FSA di Suriah yang akan bergabung dengan pemerintah. Mereka percaya jumlah anggota baru itu bakal melebihi 50.000 orang.

Sementara Koalisi Nasional Suriah di Istanbul dan para pendukungnya di Washington, London dan Paris terus menjajakan FSA di Idlib sebagai kekuatan ‘sekuler dan moderat’  praktik yang terjadi jauh dari kesan itu, seperti misalnya dalam kasus Dr Samir Qanatri.

Samir yang memiliki sebuah apotek di kota kelahirannya di Idlib adalah salah seorang pendukung idologi sekuler Suriah. Malang, ia dipukuli orang-orang FSA sampai mati dan tokonya dibakar sampai hangus. Ini adalah pesan paling nyata dari FSA bahkan sedini tahun 2011 ketika perang saudara baru dimulai; kami menentang ideologi sekuler.

Qanatri bukan anggota partai Baath yang berkuasa dan tak memiliki hubungan apapun dengan pemerintah dalam skala apapun. Ia dibunuh semata-mata karena para pemberontak itu memang tak pernah mentoleransi ideologi sekuler.

Sekadar informasi, Suriah adalah rumah bagi 18 agama minoritas yang berbeda dan Damaskus selama 40 tahun terakhir melindungi mereka dengan ideologi sekulernya.

Ini menjadi alasan mengapa warga Suriah dari semua tingkat ekonomi, agama, sekte ataupun latar belakang pendidikan menolak SNC dan para militan. Sejak awal, mayoritas penduduk Suriah mendukung perdamaian dan keamanan sebagai anti-tesis dari oposisi bersenjata.

Anggota dan termasuk pendiri SNC tak pernah benar-benar orang yang menghargai perbedaan. Mereka mutlak anggota Ikhwanul Muslimin yang tujuannya di Suriah adalah membentuk pemerintahan Islam.

Dan di Idlib terdapat lusinan kelompok bersenjata. Situasi di lapangan bisa digambarkan bahwa warga sipil hidup di bawah pendudukan militan. Beberapa dari adalah warga Suriah, namun jumlah itu kalah jauh dibanding militan asing yang telah bertahun-tahun menetap sekaligus membawa keluarga besar mereka.

Kelompok bersenjata terbesar adalah Hay’at Tahrir al-Sham dan Gerakan Nour al-Din al-Zenki yang memiliki reputasi buruk karena memenggal kepala seorang bocah 11 tahun di Aleppo, memvideokannya sekaligus membuatnya viral di internet. Video itulah yang membuat Departemen Luar Negeri AS di bawah Presiden Obama kalang kabut memberikan penjelasan dan meninjau ulang dukungannya.

Selain kedua kelompok itu, salah satu kelompok tak terduga yang menduduki Idlib terdiri dari militant Cina dengan jumlah mencapai 4.000 orang. Mereka membawa seluruh keluarga bersama mereka, bahkan mendirikan sekolah untuk anak-anak mereka.

Mereka berasal dari suku Uyghur yang jelas-jelas tak bakalan mungkin menciptakan negara Islam di Cina.

Di beberapa wilayah sekitar Idlib terdapat beberapa desa-desa kecil seperti al-Foua atau Kefraya yang dihuni Muslim non-Sunni. Sepanjang tiga tahun terakhir dikelilingi militan mereka secara rutin menjadi target dari FSA dan saudara-saudaranya, al Qaeda.

Mereka menyerang dan membombardir desa-desa hampir setiap hari selama lebih dari tiga tahun, membuat para penduduk yang dilaporkan hidup dari rumput, dedaunan, dan sesekali makanan bantuan dari PBB.[TGU]