Bung Karno.

Koran Sulindo – Bung, saya rindu! Dan, rindu saya menjadi sendu karena kita tidak bisa bertemu. Dan, ternyata, bukan hanya saya yang memiliki perasaan seperti itu. Tapi juga para kaum nasionalis yang lain di negeri ini. Apalagi, bulan Juni sudah di ambang pintu, bulan Bung, bulan lahir dan wafatnya Bung, bulan yang kaum nasionalis negeri ini isi dengan berbagai kegiatan untuk mengingat kebesaran dan jasa-jasa Bung.

Saya tulis ini surat sambil mendengarkan rekaman pidato Bung. Ah, betapa kami merindukan sosok Bung hadir kembali di tengah kami, merindukan gelegar suara Bung ketika berpidato, merindukan petuah dan ajaran yang Bung sampaikan langsung kepada kami.

Bung, sampai sekarang pun saya masih bangga menjadi pengikut ajaran Bung. Saya masih ingat saat pertama kali bertemu dengan Bung. Ketika itu, saya menghadiri acara ulang tahun salah seorang putri Bung di Istana Merdeka, di akhir tahun 1950-an. Saya ingat bersalaman dengan Bung dan Bung memegang tengkuk saya. Sekilas saja memang peristiwa itu terjadi, hanya beberapa detik, namun sangat membekas di hati dan ingatan saya hingga hari ini.

Saya juga masih mengingat momen ketika mengantar Ayah, Inche Abdoel Moeis, ke Istana Bogor. Ketika itu tanggal 6 Juni 1967, hari ulang tahun Bung, yang ke-66. Peristiwa Gestok 1965 baru satu tahun sebelumnya terjadi. Akibat peristiwa itu, kekuasaan Bung sebagai Presiden RI mulai dilucuti dan Bung seakan menjadi “tahanan rumah”. Tapi, ayah dan beberapa sahabat Bung masih saja berani menghadiri ulang tahun Bung.

Memang, saat itu saya tidak turut masuk ke dalam istana. Tapi, diam-diam saya berusaha mendekat dan melongok ke dalam istana. Karena suasana tidak terlalu ramai dan penjagaan tidak terlalu ketat, saya bisa menyusup agak ke dalam istana. Dari pojok Istana Bogor, saya bisa melihat cukup jelas sosok Bung.

Meski hanya memperhatikan sosok Bung dari jauh, perasaan saya sudah membuncah karena senang dan bangga. Juga karena serta-merta ikatan batin ini dengan Tanah Air rasanya semakin erat, semakin menggetarkan hati.

Namun, itulah terakhir kali saya melihat beliau sosok Bung secara langsung. Karena, beberapa tahun kemudian, tepatnya 20 Juni 1970, Bung wafat. Saat itu saya sudah menjadi mahasiswa ITB. Saya berkesempatan melayat ke Wisma Yaso, bersama rombongan DPP PNI. Masih segar dalam ingatan, saya duduk tepat disamping peti jenazah Bung, memanjatkan doa agar Bung mendapat tempat terbaik di sisi Allah.

Bung, izinkan saya berkisah sekelumit. Selesai melayat Bung, saya bersama rombongan DPP PNI berkumpul di rumah Pak Hardjantho, salah seorang Ketua DPP PNI, di kawasan Kebayoran Baru. Di sana para pengurus DPP PNI membuat konsep pernyataan dan iklan duka-cita. Ketika itu, saya diberi kesempatan untuk duduk bersama mereka. Saya masih ingat,  tatkala tokoh-tokoh PNI itu berdiskusi merumuskan pernyataan, saya sempat nyeletuk beberapa kali. Pasalnya, saya merasa bunyi pernyataan yang akan diumumkan kurang berani atau kurang revolusioner.

Sampai akhirnya salah satu pengurus menepuk pundak saya, sambil berkata: “Mas Emir, gerbong kita ini banyak. Jadi, kita harus hati hati sekali. Salah-salah bisa  menimbulkan korban. Saat ini saja sudah ribuan kader kita yang terbunuh.”

Setelah konsep pernyataan selesai dibuat, saya ditugaskan membawanya ke Stasiun TVRI. Tujuannnya, TVRI menayangkan berita serta pernyataan dukacita dari seluruh keluarga PNI/ Front Marhaenis. Tapi, sesampainya di TVRI, para petugas di sana menolak menyiarkan ucapan duka-cita tersebut. Bahkan, setelah Bung wafat pun, Bung masih menghadapi perlakuan buruk dari anak bangsa yang negara-bangsanya telah Bung merdekakan.