Pemulihan ekonomi akibat pembatasan sosial kala merebaknya pandemi diprediksi akan menemui jalan lebih panjang. Hal itu mengingat apa yang tengah terjadi saat ini. Kenaikan harga-harga dapat menimbulkan dampak yang lebih panjang dan lebih dalam.

Selain itu ada beberapa persoalan lain sehingga kenaikan harga-harga ini akan memberikan dampak krisis yang lebih luas pada rakyat.

Persoalan pertama adalah efek pandemi Covid-19 yang belum pulih. Ekonomi rakyat masih terpukul akibat pandemi COVID-19. PHK dan kebangkrutan usaha rakyat belum teratasi hingga sekarang. Data Kemenaker Per Mei 2020, 1.722.958 pekerja formal dan informal terkena dampak pandemi. 1.032.960 pekerja yang dirumahkan, 375.165 terkena PHK. Sementara angka PHK pada Agustus 2021 telah mencapai 538 ribu orang.

Perlu diketahui juga di Indonesia, pekerja informal masih memiliki persentase lebih besar dibandingkan dengan pekerja formal. Sektor informal ini acapkali tidak cukup memiliki jaring pengaman dalam menghadapi gejolak ekonomi terutama bagi usaha kecil dan menengah dengan jumlah pekerja yang sedikit.

Bank Indonesia mencatat pada Maret 2021, sebanyak 87,5 persen UMKM di Indonesia terdampak pandemi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 93,2 persen diantaranya adalah negatif dalam sisi penjualan.

Bahkan menurut Ketua Umum Asosiasi UMKM (AKUMIDO) M.Ikhsan Ingratubun, dari Juli 2020 hingga September 2021 paling tidak ada 30 juta UMKM yang gulung tikar akibat pandemi.

Angka pengangguran per semester II 2020 juga mengalami lonjakan. BPS mencatat pada Agustus 2020, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 9,8 juta. Padahal pada bulan Februari 2020, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sejumlah 6,9 juta jiwa.

Tingginya angka PHK dan sulitnya mencari pekerjaan di tengah pandemi terkonfirmasi dengan meningkatnya klaim pencairan BPJS Ketenagakerjaan. Hingga Agustus 2021 klaim jaminan BPJS Ketenagakerjaan mencapi Rp 26,14 Triliun, yang sebagian besar berasal dari program Jaminan Hari Tua (JHT).

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengurangi dampak pandemi lebih banyak upaya jangka pendek. Seperti program BLT, Bansos maupun Pra-kerja yang kemudian dialihkan untuk mempertahankan konsumsi rakyat.

Kemudian soal yang kedua adalah pengupahan dan sistem ketenagakerjaan di Indonesia. Sistem pengupahan di Indonesia, sejak ditetapkannya PP 78 tahun 2015, maka pekerja tidak dilibatkan lagi dalam penetapan upah minimum, Dewan Pengupahan juga praktis tidak berfungsi lagi. Hal ini diakibatkan variabel kenaikan upah minimum ditetapkan berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi. Penetapan kenaikan upah juga tidak lagi didasarkan pada KHL (Kebutuhan Hidup Layak). KHL sendiri yang sebelumnya ditinjau pertahun, kemudian diubah menjadi perlima tahun.

Kemudian dengan adanya UU Cipta Kerja, maka rumus penetapan upah minimum berdasarkan pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan variabel paritas daya beli, penyerapan kerja, variabel median upah. Sementara untuk daerah maka upah minimum kabupaten/kota meliputi pertumbuhan ekonomi atau inflasi di kota tersebut.

Hal tersebut yang menyebabkan kenaikan upah minimum tahun 2022 rata-rata hanya sebesar 1,09 persen secara nasional. Hal ini membuat kenaikan upah pekerja menjadi sangat tertekan. Ini sebetulnya lebih buruk dari PP 78/2015, meskipun kemudian ada putusan MK untuk memperbaiki substansi UU Cipta Kerja dan membekukan sementara semua akibat hukum dari UU Cipta Kerja.

Sementara untuk sistem ketenagakerjaan, Indonesia telah mengadopsi sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel. Seperti tercermin dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003.

Dengan sistem ini pekerja di Indonesia akan lebih rentan terkena krisis akibat mekanisme “easy hiring, easy firing” atau kemudahan dalam menerima dan kemudahan dalam pemutusan hubungan ketenagakerjaan melalui mekanisme kontrak kerja pendek, sistem outsourcing, sistem magang maupun dalam skema PKWT dan PKWTT.

Dalam ekosistem ketenagakerjaan dan pengupahan tersebut, di tengah pandemi maka pekerjalah yang akan sangat dirugikan. Mereka acapkali dikorbankan.

Dengan kenaikan upah hanya 1,09 persen maka pekerja Indonesia akan kesulitan ketika dihadapkan dengan krisis kelangkaan dan kenaikan harga-harga yang terjadi saat ini.

Krisis ini kemudian semakin buruk jika dilihat pada soal ketiga, yaitu momentum Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Hari besar umat Islam ini acapkali dilalui dengan kenaikan harga-harga terutama sembako dan kebutuhan untuk merayakan hari raya Idul Fitri.

Di awal bulan Ramadhan misalnya, kenaikan bahan pokok sudah mulai terjadi seperti beras, cabai, gula pasir dan minyak goreng.

Sehingga krisis kenaikan harga kali ini memang akan memiliki dampak yang lebih luas dan tentu saja memperlambat pemulihan ekonomi rakyat. [WID]