Koran Sulindo – Ekspor sawit termasuk biodiesel dan oleokimia pada periode September 2018 turun 3%. Ekspor Agustus tercatat 3,3 juta ton, pada September-nya menjadi 3,2 juta ton.

Demikian data yang dilansir Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) pada Senin ini (12/1). Penyebab penurunan tersebut adalah daya beli pasar yang melemah, padahal harga sawit sedang melemah.

“Produksi minyak sawit yang meningkat terutama di Indonesia dan Malaysia semakin memperburuk situasi, sehingga stok menumpuk di dalam negeri,” ujar Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono.

Sebenarnya bukan hanya harga sawit, harga minyak nabati lain juga sedang rendah, seperti minyak kedelai, rapeseed, dan biji bunga matahari. Namun, minyak nabati selain sawit itu justru dianggap lebih lebih menarik oleh importir.

Harga kedelai jatuh pada level terendah sejak tahun 2007 karena perang dagang Cina dan Amerika Serikat. Argentina sebagai salah satu negara penghasil kedelai terbesar pun ikut mengurangi pajak ekspor kedelai guna menarik pembeli.

Diungkapkan Mukti, ekspor ke India sebagai pasar terbesar minyak sawit mencapai 779,44 ribu ton pada September, turun 5% kalau dibandingkan dengan Agustus yang mencapai 823,34 ribu ton. Itu sebabnya, Gapki meminta pemerintah memberikan perhatian khusus kepada India, terutama terkait hambatan tarif bea masuk.

Menurut Gapki, ada potensi peningkatan permintaan sawit, terlebih setelah pemerintah India merilis kebijakan biofuel, dengan target pencampuran bensin 20% untuk etanol dan 5% pencampuran solar untuk biodiesel pada tahun 2030.

“Kebijakan tersebut tentunya membuka peluang pasar lebih besar kepada Indonesia, untuk memenuhi pencampuran biodiesel berbasis sawit,” kata Mukti.

Kendati demikian, diingatkan Mukti, peluang ekspor sawit Indonesia ke India bisa tergerus oleh Malaysia. Karena, negeri jiran itu akan menikmati pengurangan tarif bea untuk CPO dan produk olahannya masing-masing 5%, dengan adanya Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) yang mulai 1 Januari 2019. Jadi, Indonesia pun harus meningkatkan perdagangan baik melalui perjanjian bilateral maupun perjanjian perdagangan khusus (PTA).

Ekspor ke pasar Tiongkok juga melorot sebesar 25%, ke Pakistan anjlok 24%, ke Amerika Serikat 50%, dan ekspor ke Timur Tengah turun 21%. Namun, terjadi peningkatan ekspor sawit ke Uni Eropa sebesar 16%, ke Bangladesh 155%, dan ke negara Afrika 47%.

Peningkatan itu terjadi karena bulan sebelumnya ada penurunan, selain karena panen rapeseed dan bunga matahari sudah berakhir di Eropa. Juga mulai masuk musim dingin. Khusus untuk produk RBD Palm Olein atau minyak goreng, ekspor ke negara Afrika setiap bulan terus mengalami kenaikan secara konsisten.

“Afrika memiliki potensi besar untuk menjadi pasar utama minyak goreng apabila pemerintah dapat memberikan insentif melalui pengurangan pungutan untuk ekspor minyak goreng dalam bentuk kemasan,” tutur Mukti.

Sepanjang September 2018, menurut catatan Gapki, produksi sawit memang mengalami kenaikan, mencapai 4,41 juta ton atau naik sekitar 8,5% dibanding Agustus yang 4,06 juta ton. Peningkatan  inti terjadi seiring dengan mulai masuknya siklus tinggi musim panen tahunan sawit di beberapa daerah.

Karena ekspor terpantau stagnan, peningkatan tersebut membuat stok minyak sawit meningkat hingga 4,6 juta ton. Harga sepanjang September pun berada pada kisaran US$ 517,50 – US$ 570 per metrik ton, dengan rata-rata US$ 546.90 per metrik ton. Harga tersebut merupakan level terendah sejak Januari 2016.

Padahal, menurut Gapki, penyerapan sawit untuk untuk diolah sebagai bahan baku biodiesel tumbuh 39%, menjadi 402 ribu ton. Peningkatan serapan tersebut dipicu oleh penerapan perluasan mandatori B20 untuk public service obligation (PSO) dan juga non-PSO yang mulai berlaku per 1 September 2018. “Penyerapan  sawit periode September naik 39 persen dibandingkan Agustus yang hanya 290 ribu ton,” kata Mukti lagi.

Walaupun demikian, penyerapan belum bisa dilakukan secara optimal sesuai target karena masih terkendala infrastruktur. Karena, titik penyebaran pengiriman biofuel masih sangat tersebar dan tidak dilengkapi dengan tangki penimbunan yang memadai.

Dalam catatan Gapki, realisasi purchase order (PO) dari Pertamina untuk mandatori B20 secara keseluruhan sampai pada September 2018 termasuk PSO dan non-PSO hanya mencapai 74% dari target. “Jika berjalan baik, penyerapan sawit untuk biodiesel hingga akhir tahun 2018 akan bertambah 940 ribu ton dari target awal untuk sektor non-PSO,” tutur Mukti. [RAF]