Sri Mulyani dan Siklus Krisis Ekonomi

Sri Mulyani/World bank photo colection

Koran Sulindo – Ditengah melemahnya ekonomi dunia, Presiden Jokowi mengangkat Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Akankah Indonesia terseret lagi dalam siklus krisis ekonomi?
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ekonomi global sedang menjalani masa-masa sulit. Pertumbuhan ekonomi dunia terus merosot. Secara geopolitik, situasi dunia sedang tidak karuan. Tengoklah, misalnya, perang di Timur Tengah yang menyebabkan jutaan pengungsi berbondong-bondong menuju Eropa.
Selain persoalan yang sudah disebutkan itu, Presiden Joko Widodo pernah juga menyoroti masalah terorisme. “Saban hari bom meledak di mana-mana. Selalu ada kejadian bom bunuh diri. Fakta-fakta demikian yang mesti dihadapi saat ini,” kata Jokowi.
Tidak ada yang salah dengan pernyataan Presiden Jokowi itu. Memang itulah kenyataan yang sedang terjadi di dunia. Hanya saja Jokowi belum menyampaikan apa yang menjadi akar dari semua persoalan itu. Atas dasar itu pula Jokowi lantas merombak kabinetnya, untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dikemukakannya itu.
Untuk mengatasi masalah ekonomi, Presiden Jokowi lantas memilih Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan. Persis seperti yang disebutkan, pemilihan Sri Mulyani, yang terakhir menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia, dimaksudkan untuk menghadapi tantangan yang tidak ringan seperti mengentaskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan ekonomi.
Sri Mulyani juga mengakui hal tersebut. Ia berjanji akan memperkuat
ekonomi Indonesia terutama untuk mengentaskan kemiskinan dan mempercepat pemerataan kesejahteraan. Selain itu, Sri Mulyani mengakui dirinya terpilih menjadi Menteri Keuangan merupakan hasil kesepakatan Presiden Jokowi dengan Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim. Setelah itu, ia resmi mengundurkan diri dan yakin Bank Dunia memahami keputusannya tersebut.
Tugas utama Sri Mulyani setelah menjadi Menteri Keuangan yakni melaksanakan dan menyukseskan Undang Undang Pengampunan Pajak. Bahkan Presiden Jokowi secara langsung memberi arahan kepada Sri Mulyani terkait pelaksanaan pengampunan pajak itu.
Akan tetapi, pemilihan Sri Mulyani tentu saja menuai pertanyaan yang  mengganjal. Publik masih ingat skandal Bank Century yang melibatkan dirinya pada 2008. Ketika itu, untuk alasan yang sama, Sri Mulyani Menteri Keuangan pemerintahan SBY-JK, yang juga sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan, memutuskan menalangi Bank Century hingga Rp 6,7 triliun.
Selain menjadi ranah politik, skandal tersebut kemudian berujung pada proses hukum. Hasilnya: bekas Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya dihukum 15 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan.
Meski sudah ada yang divonis atas kasus tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mau menjerat Sri Mulyani walau sudah sempat diperiksa. Alasannya pun tak jelas. Sebelum terjerat kasus itu, Sri Mulyani dengan alasan mendapatkan panggilan dari Bank Dunia meninggalkan Indonesia dan menduduki posisi sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Di tahun 2008 itu pemerintah nampaknya tidak pernah berterus terang tentang situasi ekonomi dunia. Sesulit apa sesuungguhnya perekonomian dunia saat itu? Krisis seperti apa yang sedang mengancam dan mengapa aksi terorisme tumbuh subur di berbagai belahan dunia?
Secara singkat, krisis keuangan global yang melanda dunia pada 2008 merupakan lanjutan dari krisis 1998. Krisis 2008 disebut paling buruk setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Depresi ekonomi dunia di ambang pintu menuju jurang krisis yang kian dalam. Berbagai krisis, seperti krisis energi, finansial, pangan dan krisis ekosistem lingkungan berpadu, yang semakin menjelaskan wajah dunia di bawah perintah kekuasaan kapitalis monopoli dunia.
Kemiskinan dan kelaparan telah memicu berbagai kerusuhan sosial dan krisis politik yang telah merambah negeri-negeri terbelakang di Afrika, Amerika Latin dan Asia. Forum G7 (Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan AS) pada April 2008 melahirkan komunike bersama untuk mengatasi defisit keuangan akibat krisis finansial yang kian tak teratasi dan krisis pangan yang telah mengoyak negeri-negeri miskin seperti Haiti dan Kamboja.
Catatan Dana Moneter Internasional (IMF) pada April 2008 pertumbuhan ekonomi dunia hanya mencapai 3,7 persen atau mengalami koreksi rata-rata 1 persen akibat hantaman berbagai badai krisis tersebut. Gejala yang paling jelas adalah apa yang menimpa perekonomian Amerika Serikat sebagai negeri induk kapitalis pada 2007 yakni krisis kredit properti.
The Wall Street Journal pada April 2008 memberitakan penentu kebijakan The Fed menilai harga-harga yang berjatuhan di dalam negeri dan kekalutan pasar keuangan dapat mengarah kepada kecenderungan menurun yang jauh lebih hebat dan berlarut-larut daripada yang diperkirakan. Gelombang krisis itu menciptakan pengangguran sekitar 27 juta jiwa  di Amerika Serikat, dan terus bertambah sekitar 250 ribu jiwa per tahun. Para ekonom neoliberal bahkan tak mampu menjelaskan apa yang terjadi saat itu.
Siklus Krisis Sepuluh Tahunan
Krisis ini bukan karena negara-negara kaya seperti Amerika Serikat tidak mempunyai dana. Justru krisis terjadi karena kelebihan produksi, baik barang maupun kapital. Dana dan barang ini akan membusuk dan tidak menghasilkan nilai baru jika tidak disalurkan. Untuk memuluskan jalan kelebihan dana dan barang tersebut, maka harus dialirkan ke negera-negara seperti Indonesia. Dengan demikian, akan menghasilkan nilai baru.
Untuk mengalirkan dana dan barang ini, jalan yang ditempuh AS lebih sering menggunakan jalan kekerasan. Di Timur Tengah, misalnya, Amerika Serikat menggunakan tuduhan senjata pemusnah massal, terorisme, dan lain sebagainya. Sementara di negara seperti Indonesia, dimana pemerintah lebih mudah diatur, jalan yang ditempuh adalah privatisasi, deregulasi dan lain sebagainya.
Itu tampak pada kebijakan pemerintah saat ini yang menerbitkan belasan paket kebijakan ekonomi untuk menopang krisis yang menghantam negeri-negeri maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Investasi asing dibuka selebar-lebarnya. Terbaru adalah munculnya gagasan pembentukan “superholding” dengan membubarkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) setya terbitnya Undang Undang Pengampunan Pajak.
Itu pula yang menjadi arahan utama Presiden Jokowi kepada Sri Mulyani. Berdasarkan uraian tersebut, maka menjadi jelas mengapa Sri Mulyani memutuskan memberi talangan kepada Bank Century pada 2008. Kendati skandal tersebut belum jelas ujungnya, kini Jokowi kembali mempercayakan jabatan Menteri Keuangan kepada Sri Mulyani. Jika mengikuti siklus krisis yang sepuluh tahunan itu, maka bukan tidak mungkin skandal yang serupa akan terjadi pada 2018. Dan kembali akan melibatkan nama Sri Mulyani.
“Skandal” itu kini tampak pada kebijakan Sri Mulyani yang memotong Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2016 mencapai Rp 133,8 triliun. Atas kebijakan Sri Mulyani itu, Presiden Jokowi belum mau berbicara banyak. Mungkin benar yang ia katakan, ekonomi dunia memang sedang sulit walau ia tak menjelaskan mengapa menempuh kebijakan sulit dengan membiarkan Sri Mulyani memotong anggaran.
Kristian Ginting