Menurut praktisi kuliner Lily Setiadinata, Indonesia mempunyai sekurangnya 75 varian soto. Persebaran ragam terbanyaknya adalah di Jawa Timur. Dengan Jawa Timur bagian selatan sebagai lokasi yang paling banyak ragamnya. Lalu, ke pantai pesisir utara, kemudian Madura dan Osing (Banyuwangi). Menyusul kemudian, kedua terbanyak adalah daerah Sunda atau Pasundan.
Soto adalah nama yang umum kita kenal. Untuk yang khas, kita biasanya akan menemukan tambahan nama lain disematkan setelah kata soto. Entah nama daerahnya, atau kekhasan lainnya. Soto Banjar, soto kwali, soto Madura, soto ayam, soto babat, soto mie Bogor, soto sulung, soto seger, dan seterusnya. Namun, ada beberapa daerah yang menyebut soto dengan cara yang sedikit berbeda.
Di daerah Sokaraja di Banyumas, Jawa Tengah, soto dinamakan sroto. Sroto Sokaraja, begitu lengkapnya. Di Tegal, namanya sauto Tegal. Sauto merupakan gabungan dari dua kata, soto dan tauco, karena soto khas di daerah ini memakai tauco sebagai bumbunya. Coto Makassar atau coto mangkasara adalah soto yang terkenal dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Coto Makassar diperkirakan telah ada semenjak masa Kerajaan Gowa di abad ke-16. Dulu, coto ada dua macam. Satu untuk bangsawan, dibuat dengan menggunakan daging sapi terbaik. Lainnya adalah yang berbahan jeroan, diperuntukan bagi rakyat kebanyakan.
Di Pekalongan soto disebut tauto, merupakan perpaduan dari kebudayaan kuliner Tionghoa dan India. Kata tauto sendiri juga merupakan sebuah kata perpaduan. Dari kata tauco yang adalah bumbu India, dan cau do alias soto Tionghoa.
Diakui sebagai makanan khas Indonesia, soto sejatinya merupakan makanan yang berasal dari Tiongkok. Dalam dialek Hokkian ia disebut sebagai cau do, jao to, atau chau tu. Artinya, jeroan dengan rempah-rempah.
Tentang ini, telah dibahas dalam buku “Menyantap Soto Melacak Jao To Merekonstruksi (Ulang) Jejak Hibriditas Budaya Kuliner Cina dan Jawa” (2013), dari Institute for Research and Community Service Petra Christian University. Merupakan buku hasil penelitian Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardhani, yang mengungkapkan bahwa soto sebenarnya datang dari Tiongkok.
Di Pulau Jawa, soto awalnya dikenal di pesisir pantai utara Jawa bagian tengah pada abad ke-19 Masehi, di sekitar wilayah Semarang, Jawa Tengah. Kemudian, menyebar ke sejumlah daerah lainnya seperti Cirebon, Kudus, hingga Lamongan, dan seterusnya. Di mana soto kemudian bertemu dengan budaya setempat, dan lalu berkembang menjadi kuliner ciri khas dari tempat-tempat tersebut.
Dalam semangkuk soto, sebenarnya kita bisa melihat adanya percampuran budaya. Contohnya, soto Betawi yang diolah dengan susu sapi, menunjukkan adanya pengaruh Belanda.
Sejarawan dan budayawan terkemuka Indonesia, almarhum Soedarmadji Jean Henry Damais, pernah mengungkapkan muasal digunakannya susu pada soto Betawi. Pada masa dahulu, dikatakannya, orang-orang Betawi yang bekerja di rumah orang Belanda, kerap membawa pulang susu sisa yang tidak habis milik majikannya. Sampai di rumah, susu lalu dipakai untuk memasak daging. Jadilah sejenis soto yang sekarang dikenal dengan nama soto Betawi.
Praktisi kuliner Lily Setiadinata, dalam webinar kecil tentang soto Betawi, 14 Agustus 2021, berpendapat bahwa pada dasarnya ada kemiripan rasa antara satu soto dan lainnya. Karena, bumbu atau rempah dasar soto itu sama. Langkah proses pemasakkan selanjutnya yang menentukan soto apa yang akan hadir di mangkuk kita.
Kalau kuah daging diberi irisan lobak dan kacang kedelai goreng, soto Bandung namanya. Bila diberi campuran santan dan susu sapi, jadilah soto Betawi. Soto Betawi akan lebih sedap bila kuah daging di panci diberi semangkuk bawang merah goreng. Apabila yang dimasukkan adalah bawang putih goreng, maka soto Kudus namanya.
Dari semua soto di Indonesia, menurut Lily Setiadinata lagi, soto Padang adalah yang paling banyak memakai bumbu atau rempah. [NiM]
Baca juga: