Kritik terhadap Kolonialisme Belanda
Soetan Casajangan Soripada lahir 30 Oktober 1874, di Batunadua, Padang Sidempuan, yang saat itu menjadi ibukota Afdeeling Mandailing-Angkola. Kakeknya adalah seorang kepala kuria (kepala adat) di Batunadua bernama Patuan Soripada, yang merupakan salah satu tokoh penting dalam melawan invasi Padri di Tapanuli. Ayah Soetan Casajangan bernama Dja Tagor gelar Mangaraja Sutan dan ibunya bernama Sajo Intan. Dja Tagor adalah satu-satunya kepala kuria di Tanah Batak yang sempat mengenyam pendidikan barat dan belajar banyak dari pergaulannya dengan orang-orang Eropa. Mangaraja Sutan adalah pelopor penghapusan perbudakan di Mandailing-Angkola pada tahun 1863 juga aktif untuk meredakan kekacauan yang terjadi di daerah Padang Lawas.

Setelah ayahnya meninggal dunia, Soetan Casajangan, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, justru Soetan Casajangan meminta adiknya mengambilalih jabatan ‘kepala adat’ itu. Soetan Casajangan ingin berjuang seperti ayah dan kakeknya: meretas mimpi untuk melanjutkan pendidikannya di Eropa. Hal itu ia lakukan setelah menyelesaikan pendidikan di Kweekschool Padangsidempuan (Pendidikan Guru Tingkat Atas).

Kweekschool Padang Sidempuan dibuka tahun 1879, sebagai penerus dari  Kweekschool  Tanobato, yang didirikan Willem Iskandar beberapa tahun sebelumnya tapi kemudian ditutup setelah kematian sang pendiri. Pada tahun 1883 Kweekschool Padangsidempuan dipimpin Charles Adriaan van Ophuijsen. Putra mantan Kontrolir Natal ini berdinas sebagai guru di Padang Sidempuan selama delapan tahun, dan lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah tersebut. Saat dipimpin Van Ophuijsen, Kweekschool Padang Sidempuan pernah dinobatkan sebagai sekolah guru terbaik di Hindia-Belanda.

Sejumlah lulusan Kweekschool Padang Sidempuan berperan penting dalam mendorong semangat kebangsaan di Tapanuli, bahkan di kalangan bangsa Indonesia. Dua tokoh yang pantas disebut adalah Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan Soripada.

Dja Endar Moeda dikenal luas sebagai “Raja Surat Kabar Sumatra” di masa itu. Tokoh ini dikenal sebagai orang pribumi pertama yang memiliki percetakan di Sumatra. Dja Endar Moeda juga merupakan jurnalis andal, yang menjadi pemimpin redaksi, bahkan pendiri dan pemilik sejumlah surat kabar yang terbit di Padang, Sibolga, Medan, sampai Aceh. Surat-kabar terkenal di masa itu yang dipimpinnya, antara lain: Tapian Na Oeli (terbit di Sibolga), Pertja Barat (terbit di Padang), Pewarta Deli (terbit di Medan), dan Pemberita Atjeh. Gagasan utama Dja Endar Moeda adalah meningkatkan peran kaum terpelajar dalam memajukan bangsa Indonesia melalui sekolah dan pers.

Soetan Casajangan sendiri berangkat ke Belanda, di tahun 1904, untuk melanjukan pendidikan, dan kemudian berkecimpung dalam pergaulan intelektual di negeri penjajah tersebut.