Setelah Oxford, Dublin Juga Cabut Penghargaan dari Aung San Suu Kyi

Aung San Suu Kyi ketika menerima Nobel Perdamaian tahun 2012.

Koran Sulindo – Musisi Bob Geldof pada bulan lalu mengembalikan penghargaan Freedom of Dublin City kepada Dewan Kota Dublin. Pengembalian itu merupakan protes Geldof terhadap sikap Aung San Suu Kyi terhadap suku Rohingya Muslim di Myanmar. Aung San Suu Kyi juga pernah menerima penghargaan yang sama.

Suu Kyi dianggap tidak melakukan aksi apa-apa terhadap kejahatan pembersihan etnis yang terjadi di negaranya. Ia seolah menutup mata terhadap penindasan terhadap Muslim Rohingya oleh militer, yang telah diberitakan di berbagai media internasional. Padahal, sejauh ini sudah lebih dari 600 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari gelombang kekerasan sejak Agustus lalu. Belum lagi yang tewas dibunuh.

Dengan melihat kondisi itu dan memperhatikan protes Geldof, anggota Dewan Kota Dublin akhirnya bersidang untuk membahas usulan penarikan kembali penghargaan tersebut dari Suu Kyi. Lewat pemungutan suara, 59 anggota dewan itu mendukung pencabutan tersebut, 2 anggota menolak, dan 1 anggota abstain. Dewan tersebut juga menyetujui untuk menghapus nama Sir Bob Geldof dari daftar penerima penghargaan itu.

“Penindasan orang-orang Rohingya sehari-hari tidak boleh dilanjutkan dan jika pencabutan kehormatan ini memberikan kontribusi kepada upaya menekan pemerintah Myanmar agar menghormati sesama warga negara mereka, langkah ini akan didukung,” kata anggota Dewan Kota Dublin Cieran Perry, seperti dikutip dari Irish Independent.

Pada November 2017 lalu, Kota Kota Oxford di Inggris juga telah secara resmi mencabut gelar kehormatan untuk Aung San Suu Kyi, yang diberikan tahun 1997 lampau. Suu Kyi menerima Freedom of Oxford ketika itu karena dinilai telah berjuang “tak kenal lelah untuk menegakkan demokrasi”. Menurut pejabat di Kota Oxford, Bob Price, bukti-bukti yang disampaikan Perserikatan Bangsa-Bansa membuat Aung San Suu Kyi tak lagi berhak menerima gelar Freedom of Oxford.

Suu Kyi sendiri memiliki kedekatan dengan Oxford. Karena, ia pernah kuliah di Jurusan Filsafat, Politik, dan Ekonomi Universitas Oxford, dari tahun 1964 hingga 1967.

September 2017, lima perempuan peraih Nobel Perdamaian juga mengecam Suu Kyi. Mereka adalah Mairead Maguire (perain Nobel Perdamaian 1976 dari Irlandia Utara), Joy Williams (1997, Amerika Serikat), Shirin Ebadi (2003, Iran), Leymah Gbowee (2011, Liberia), dan Tawakkol Karman (2011, Yaman).

“Kami sangat terpukul, sedih, dan khawatir menyaksikan sikap diam Anda atas kekejaman terhadap minoritas Rohingya… mereka dieksekusi, dihilangkan secara paksa, ditahan, diperkosa, dan mengalami serangan seksual lainnya. Desa-desa mereka dibakar, warga sipil diserang, yang membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakannya sebagai pembersihan etnis,” ungkap mereka lewat surat terbuka kepada Suu Kyi.

Banyak orang di berbagai belahan dunia juga meminta agar Panitia Nobel menarik kembali Hadiah Nobel Perdamaian yang telah diberikan ke Suu Kyi. Di Indonesia, petisi online untuk usulan penarikan Hadiah Nobel itu juga telah ditandatangani hampir setengah juta orang. [RAF]