Koran Sulindo – “Peluk pak, peluk,” teriak para fotografer yang bersiap mengambil momen seusai acara penandatanganan perjanjian Sales Purchase Agreement (SPA) beserta perjanjian terkait lainnya, antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Freeport McMoRan Inc, dan PT Rio Tinto Indonesia, pekan lalu
Wajah CEO Freeport McMoran, Richard Adkerson, yang putih seperti pantat bayi itu terlihat memerah, tapi matanya sumringah. Adkerson rupanya mengerti arti sepotong kata bahasa Indonesia tadi, lalu berjalan sambil mengulurkan kedua tangan ke arah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM, Ignasius Jonan, yang juga tertawa mendengar permintaan konyol para pewarta foto itu.
Menteri BUMN Rini Soemarno tertawa geli melihat momen itu dan bertepuk tangan puluhan kali. Sebelumnya, Rini yang sebenarnya mau dipeluk Adkerson. Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin tertawa terbahak hingga giginya kelihatan.
Nama-nama di atas, ditambah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, adalah sosok-sosok penting di balik divestasi saham Freeport sampai akhirnya resmi ditandatangani pada sore yang diikuti hujan deras di seantero Jakarta dan sekitarnya tersebut.
Seusai acara itu, Jonan mengaku memasang foto berpelukannya dengan Adkerson di akun facebooknya.
“Dipasang 24 jam sampai tadi sore, itu yang liat facebook saya 1 juta lebih. Kalau foto saya sendiri cuma 100,” kata Jonan, sehari setelah acara berpelukan itu.
Setelah penandatanganan SPA tersebut, takkan ada lagi perjanjian-perjanjian yang harus diteken. Inalum hanya tinggal membayar USD 3,85 miliar ke Rio Tinto Indonesia dan Freeport, yang rencananya dilakukan pada November 2018. Setelah itu, sah Indonesia menguasai saham mayoritas di perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat itu.
“Setelah itu kita akan mengakhiri perjanjian Kontrak Karya, diganti IUPK yang akan terbit setelah Inalum membayar lunas akuisisi ini,” kata Jonan.
Dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus itu, sistem kontrak karya lenyap dari muka bumi.
Dirut Inalum mengatakan melunasi pembayaran tersebut, sebesar US$3,85 miliar (Rp56 triliun) setelah seluruh administrasi selesai.
“Keyakinan saya adalah kami akan memiliki stabilitas yang lebih baik dan kami tidak akan memiliki kontroversi yang memisah-misahkan bisnis selama beberapa tahun,” kata Adkerson, sore itu.
Bukan Freeport yang Dulu Lagi
Dalam perjanjian itu, sebesar 40 persen Participating Interest (PI) Rio Tinto sudah dikonversi menjadi saham PTFI. Inalum juga membeli saham milik Freeport McMoRan Inc untuk mendapat tambahan 5,4 persen saham. Ditambah saham milik pemerintah yang sudah di tangan selama ini, maka Inalum menguasai 51 persen saham PTFI.
Setelah penandatanganan perjanjian ini, Kementerian ESDM akan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk PTFI yang berlaku hingga 2031.
Tanpa kesepakatan baru ini, Freeport sebenarnya pasti akan tetap berbisnis di Indonesia, karena mereka telah membabat proyek baru mengubah pertambangan pertambangan muka tanah (open pit mining) ke bawah tanah, dan sudah menginvestasikan uang sebanyak 3 miliar dolar AS (sekitar Rp40 triliun). Proyek itu baru separuh jalan, ditargetkan rampung pada 2018 atau 2019.
Kontribusi perusahaan asal Amerika Serikat (AS) ini baik itu berupa pajak retribusi, royalti dan sebagainya ke pemerintah Indonesia sebenarnya masih kalah jauh jika dibanding beberapa perusahaan lainnya. Nilai kapitalisasi Freeport Indonesia jika dijual ke pasar juga tak sebesar yang dibayangkan: hanya sebesar US$ 20 miliar. Masih kalah dibandingkanPT Telkom yang senilai US$ 25 miliar atau BRI yang tercatat US$ 21 miliar.
Selama 25 tahun terakhir, Freeport juga hanya memberikan retribusi sebesar Rp 1 triliun kepada negara. Sekadar perbandingan, penerimaan negara dari cukai rokok sebesar Rp 139 triliun per tahun; penerimaan dari devisa para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebesar Rp 144 triliun.
Dengan kesepakatan itu, Freeport mendapat perpanjangan izin operasi tambang selama 10 tahun lagi setelah izin habis pada 2021 nanti. Izin itu bisa ditambah selama 10 tahun lagi hingga 2041.
Pemerintah sejak awal berjanji akan membeli saham yang dilepas Freeport itu dengan harga yang fair. Pada Agustus 2016, Freeport menguji dengan menawarkan 10,64 persen saham dengan harga 16,2 miliar dolar AS. RI menyebut harga itu absurd dan menawar hanya 630 juta dolar AS dan menyebut kandungan tambang itu milik Indonesia dan bukan bagian yang bisa dimasukkan dalam komponen harga.
Tapi masalahnya, Freeport sekarang tak sama lagi dengan, katakanlah 10 tahun lalu ketika bisa menambang gunung emas itu tanpa perlu menggali. Cadangan emas dan tembaga yang tersisa di atas permukaan bumi hanya bisa dikeruk paling lama 12 bulan lagi. Setelah itu mereka harus menyelam ke dasar bumi agar bisa memperoleh hasil lagi.
Cadangan deposit Grasberg konon sebesar 26,9 miliar pounds, tapi ya itu tadi, masih di dalam bumi dan sejak 2012 lalu proses pengambilannya harus sangat berhati-hati karena ternyata pengerukan di zona itu menyebabkan aktivitas gempa. Dan biaya operasi untuk penambangan itu dalam 6 bulan saja sebesar 431 juta dolar AS, 61 persen dari dana yang disediakan tahun lalu. Angka itu pasti naik untuk eksplorasi di Deep Mill Level Zone dan gua Grasberg, yang diperkirakan 1 miliar dolar AS per tahun hingga 2020 nanti.
Sebagai pemilik saham mayoritas, RI mau tak mau kelak harus berhadapan dengan masalah ini. Sementara itu Freeport masih menghadapi masalah lain. Pekerja kontraknya, sebagian besar dari seluruh pegawai di sana, berkurang dari 33 ribu orang pada Januari lalu tinggal 26 ribu orang kini.
Jebakan Korupsi?
Menteri Jonan mengatakan dengan pendatanganan itu proses divestasi sebanyak 51% saham PT Freeport Indonesia (FI) kepada pemerintah Republik Indonesia sudah selesai.
“Setelah ini tinggal proses administrasi saja antara Freeport dan Inalum,” kata Jonan, di Jakarta, pekan lalu, melalui siaran pers.
Setelah penandatanganan ini, jumlah saham Inalum di PTFI meningkat dari 9,36% saat ini menjadi 51,23%. Sedangkan Pemerintah Provinsi Papua memperoleh 10% dari 100% saham PTFI.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyambut positif penandatanganan itu, karena PT FI menjadi milik Indonesia yang diwakili oleh PT Inalum secara sah.
Menurut Hikmahanto, yang terpenting dari penandatanganan SPA itu adalah tidak ada lagi dualisme antara IUPK dan Kontrak Karya. “Dengan divestasi saham ini, nama KK Freeport secara pasti dan sah tidak dikenal,” kata Hikmahanto, di Jakarta, pekan lalu, melalui rilis media.
Namun soal harga saham, semestinya tidak memakai harga 2041, karena jika itu yang dilakukan bisa saja dianggap telah terjadi kerugian negara; ini dapat berdampak pada masuknya transaksi ini ke Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
Tentang kewajiban pembangunan smelter dan masalah lingkungan setelah penandatanganan SPA, harus tetap menjadi beban dari Freeport McMoran, mengingat masalah tersebut telah ada sebelum PT Inalum menjadi pemegang saham.
Lalu dalam perjanjian antarpemegang saham (shareholder agreement) harus ada ketentuan yang menentukan PT Inalum tidak akan pernah terdilusi kepemilikan 51 persen sahamnya meski pada saat adanya peningkatan modal PT Inalum tidak mengambil bagian.
Keempat setelah PT FI dimiliki secara mayoritas oleh PT Inalum maka PT FI wajib bersedia untuk diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan secara menyeluruh layaknya anak perusahaan BUMN.
“Terakhir dalam perjanjian antarpemegang saham keputusan harus diambil berdasarkan suara terbanyak sederhana (51 persen), baik pada tingkat RUPS, dewan komisaris, maupun direksi,” kata Hikmahanto.
Jebakan-jebakan yang mungkin ada di depan ini musti diwaspadai; atau “nasionalisasi” perusahaan yang sudah beroperasi sejak lahirnya Orde Baru Soeharto itu lebih setengah abad lalu itu akan memakan orang-orang yang pekan lalu berpelukan dan tertawa semringah di ruang Sarulla, Kementerian ESDM, Jakarta. [Didit Sidarta]