Koran Sulindo – Masyarakat Minangkabau punya pepatah: alam terkembang menjadi guru. Namun, bagi banyak orang Indonesia kini, alam terkembang justru menjadi obyek eksploitasi keserakahan mereka. Tak sedikit pula yang menjadikan alam sebagai tempat sampah-raya.
Alam menjadi rusak. Pada akhirnya, manusia juga yang dirugikan. Bahkan, tak sedikit manusia yang kehilangan nyawa karenanya.
Pada 21 Oktober 2018 lalu, misalnya, seorang pelajar SMK ditemukan tak lagi bernapas karena tenggelam di kubangan bekas tambang di Kalimantan Timur. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengungkapkan, setidaknya korban tewas di kubangan bekas tambang sejak 2011 lalu ada 32 orang.
Lalu, pada awal November 2018, seorang remaja juga meninggal dunia karena tenggelam di kubangan bekas tambang galian C di Jombang, Jawa Timur. Di Jombang juga, pada 2016 lampau, lima orang bocah wafat karena penyebab yang sama.
Itu baru di dua wilayah di dua provinsi. Korban-korban lain di 32 provinsi lain di negara ini juga tak kalah banyaknya.
Kalau sesama manusia saja bisa menjadi korban, makhluk hidup lain jangan ditanya lagi. Pada pertengahan November 2018, masyarakat internasional malah dibikin geger karena adanya paus sperma sepanjang 10 meter yang mati terdampar perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Yang bikin geger, di dalam perut mamalia yang masuk daftar hewan yang dilindungi tersebut ditemukan sampah plastik seberat 5,9 kilogram. Sampah itu antara lain terdiri dari 115 gelas plastik, 19 plastik keras, 4 botol plastik, 25 kantong plastik , 2 sandal jepit, 1 karung nilon seberat 200 gram, dan lebih dari 1.000 lebih potongan tali rafia (yang berat totalnya 3.260 gram).
Kejadian yang hampir mirip juga pernah terjadi di belahan laut negara-negara lain, misalnya di di Spanyol, Norwegia, dan Selandia Baru. Malah, korbannya bukan hanya paus, namun juga ratusan jenis hewan laut lain.