Koran Sulindo – Pada masa kolonial, pendidikan di Hindia Belanda menjadi hak istimewa yang hanya dapat dinikmati oleh kalangan pejabat dan pihak-pihak yang dianggap berperan dalam misi kolonial.
Di tengah ketidakadilan yang merajalela, muncul upaya dari masyarakat Pribumi untuk membuka peluang pendidikan bagi kalangan yang tertindas, melalui apa yang kemudian disebut sebagai “Sekolah Liar.”
Meski dikecam dan diawasi ketat oleh pemerintah kolonial, sekolah-sekolah ini hadir sebagai wujud nyata perlawanan terhadap diskriminasi. Dalam artikel ini menggali bagaimana Sekolah Liar menjadi simbol perjuangan Pribumi, mengungkap kisah perlawanan di baliknya, serta bagaimana pendidikan dijadikan alat untuk mempertahankan martabat bangsa.
Pada awal abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda memberikan sebutan “Sekolah Liar” bagi sekolah-sekolah swasta (partikelir) yang didirikan tanpa izin resmi. Sekolah-sekolah ini menjadi wadah perjuangan masyarakat Pribumi untuk menanggapi kebijakan pendidikan kolonial yang diskriminatif.
Saat itu, pendidikan formal di Hindia Belanda hanya tersedia untuk anak-anak pejabat dan pihak-pihak yang dianggap berperan dalam penyebaran agama Kristen, sementara anak-anak Pribumi sebagian besar terabaikan.
Latar Belakang Munculnya Sekolah Liar
Melansir laman kemdikbud, selain sebagai bentuk perlawanan atas diskriminasi, pendirian Sekolah Liar juga muncul akibat krisis keuangan yang dialami sekolah-sekolah pemerintah.
Beberapa sekolah ditutup, membuat anak-anak Pribumi yang sebelumnya sudah terbatas akses pendidikannya menjadi semakin terlantar. Melihat kebutuhan yang mendesak, pada tahun 1880 pemerintah memberikan izin resmi untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak Pribumi.
Respons cepat pun muncul, terutama di Sumatera Barat dan Jawa. Di Jawa, Suwardi Suryaningrat mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswo (Taman Siswa) pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta, sebagai lembaga pendidikan alternatif yang mengusung asas kebangsaan dan sikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial.
Perkembangan dan Penindasan Sekolah Liar
Banyak dari Sekolah Liar ini didirikan oleh para terpelajar Pribumi yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Hal ini menyebabkan kekhawatiran di pihak pemerintah dan mendorong diterbitkannya Ordonansi Pengawasan pada tahun 1923, sebuah kebijakan yang mengharuskan sekolah-sekolah non-pemerintah untuk wajib lapor.
Upaya pemerintah untuk memantau pendidikan alternatif ini tetap berlanjut. Pada tahun 1932, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang lebih represif, yaitu Wilde Scholen Ordonantie atau Ordonansi Sekolah Liar.
Aturan ini secara khusus ditujukan untuk menghambat pertumbuhan Taman Siswa dan sekolah-sekolah nasionalis lainnya.
Suwardi dan para koleganya dari Taman Siswa bersikeras melakukan perlawanan pasif terhadap ordonansi ini. Suwardi bahkan mengirim kawat protes kepada Gubernur Jenderal dan mengadakan pembicaraan langsung dengan Kiewiet de Jonge, pejabat kolonial yang berkunjung ke sekolahnya.
Langkah-langkah pemerintah untuk menghambat pendidikan Pribumi melalui Ordonansi Sekolah Liar mendapat perlawanan yang kuat dari kalangan nasionalis, termasuk tokoh-tokoh Islam.
Dukungan Nasionalis dan Protes Terhadap Ordonansi
Perlawanan terhadap Ordonansi Sekolah Liar terus menguat. Tokoh-tokoh nasionalis dan kalangan pergerakan berperan aktif menyuarakan penolakan terhadap aturan diskriminatif ini melalui media massa.
Salah satu momen penting adalah ketika sebuah komite perempuan di Surabaya, Panitia Sementara Penjokong Korban Fonds Ordonansi Sekolah Liar, mengadakan pasar malam amal. Acara ini menjadi topik hangat dalam sidang Dewan Rakyat (Volksraad), mengundang perhatian publik terhadap penindasan pemerintah kolonial.
Dukungan terhadap Taman Siswa dan sekolah-sekolah swasta Pribumi lainnya berdatangan dari berbagai organisasi nasionalis dan Islam. Di Sumatera Barat, dukungan datang dari Dewan Persatuan Pendidikan Muslim Indonesia (Permi).
Di Madura, protes terhadap ordonansi dikumandangkan oleh Haji A. Salim. Sementara organisasi Muhammadiyah sempat ragu menentukan sikap karena mendapat subsidi dari pemerintah, akhirnya mereka mengambil posisi menolak kebijakan tersebut setelah konferensi luar biasa di Yogyakarta pada 18-19 November 1932.
Kaum nasionalis yang terdiri dari organisasi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Budi Utomo (BU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Partindo), dan Istri Sedar turut mendukung perlawanan ini, menyatakan sikap mereka terhadap tindakan diskriminatif pemerintah kolonial.
Akhir dari Ordonansi Sekolah Liar
Protes yang meluas dari masyarakat, organisasi, dan tokoh-tokoh nasionalis akhirnya mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk meninjau ulang Ordonansi Sekolah Liar. Pada Februari 1933, aturan ini ditangguhkan, dan pada Oktober 1933, Ordonansi Sekolah Liar resmi dihapuskan.
Sekolah Liar bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan perjuangan Pribumi dalam memperoleh hak pendidikan yang merdeka dan inklusif.
Keberhasilan menghapuskan Ordonansi Sekolah Liar menjadi langkah penting bagi masyarakat Pribumi dalam perjalanan panjang menuju kemerdekaan, membuktikan bahwa semangat persatuan dan kerja sama mampu menghadapi penindasan dan memperjuangkan hak pendidikan untuk semua. [UN]