Ilustrasi soal BLBI/Reqnews

Koran Sulindo – Presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden No. 6 tahun 2001 yang diterbitkan awal April 2021 membentuk Satgas Hak Tagih BLBI. Langkah ini dilakukan setelah upaya mengejar pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) melalui jalur pidana kandas. Tak mau lempar handuk, pemerintah menggunakan pendekatan jalur perdata untuk menagih sedikitnya Rp 110 triliun piutang yang belum dibayarkan obligor-obligor BLBI.

Satgas BLBI memiliki wewenang melakukan penanganan, penyelesaian, dan pemulihan hak negara yang berasal dari dana BLBI secara efektif dan efisien melalui jalur hukum atau upaya lain kepada debitur, obligor, pemilik perusahaan serta ahli warisnya, maupun pihak-pihak lain yang bekerja sama serta merekomendasikan perlakuan kebijakan terhadap penanganan dana BLBI.

Satgas BLBI diisi oleh anggota-anggota kabinet dan pejabat eselon kementerian dimulai dari dewan pengarah, ketua hingga anggotanya. Tidak ada pihak dari luar pemerintah yang menjadi anggota Satgas. Masa kerja Satgas BLBI hingga 31 Desember 2023, dan selama itu pula biaya operasional satgas dibebankan pada APBN.

Langkah pemerintah membentuk satgas bukanlah hal yang baru. Pemerintahan Presiden SBY sedikitnya pernah membentuk tiga Satgas dengan fokus yang berbeda-beda, antara lain Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Satgas TKI dan Satgas Antipornografi. Namun, sulit untuk mengukur hasil kerjanya terutama yang berdampak kepada publik.

Menkeu Sri Mulyani, selaku salah satu pengarah Satgas BLBI, menyebut total piutang BLBI yang nilainya mencapai Rp 110 triliun berasal dari 22 obligor dan 12.000 berkas debitur. Namun siapa-siapa saja obligor yang dimaksud baru akan diungkap saat akan eksekusi.

Dikatakan pula sekarang ini Satgas BLBI masih melakukan pendataan aset terhadap kasus-kasus BLBI yang terjadi lebih dari dua dekade yang lalu. “Berbagai macam nanti jumlah obligor yang terkait akan diumumkan saat kita melakukan langkah-langkah lebih firm. Ini terus kita siapkan dan akan disampaikan satgas,” lanjut Sri Mulyani.

Perkara BLBI bermula dari kebijakan Presiden Soeharto pada 1997/1998 yang dimaksudkan untuk menyelamatkan perekonomian negara dari krisis moneter. Dana BLBI dikucurkan terhadap 48 bank dengan nilai kredit mencapai Rp 144,53 triliun. Namun kucuran dana tersebut malah diselewengkan oleh pemilik atau pengelola bank.

Mereka yang dijerat pidana BLBI antara lain Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, Samadikun Hartono, Lesmana Basuki, Sherni Kojongian, Hendro Bambang Sumantri, Edy Djunaedi, Ede Uto, Toni Suherman, Bambang Sutrisno, Andrian Kiki Ariawan, Harry Mattalata, dan Nader Taher. Beberapa diantaranya yang sempat buron dan melarikan diri keluar negeri telah berhasil dieksekusi.

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah mengeluarkan kebijakan release and discharge, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002. Kebijakan ini membuka ruang bagi debitur yang telah melunasi utang bebas dari ancaman perkara pidana.

Pada masa Presiden SBY, Kejaksaan Agung mengadakan penyelidikan pemberian surat keterangan lunas (SKL) terhadap salah satu obligor BLBI, Sjamsul Nursalim. Namun, buruknya pengusutan BLBI Sjamsul turut terlihat dari perkara suap Jaksa Urip Trigunawan.

Urip menerima suap dari tangan kanan Sjamsul yaitu, Artalyta Suryani alias Ayin agar menghentikan perkara Sjamsul. Upaya KPK di kemudian hari menjerat Sjamsul melalui perkara Syafruddin Temenggung turut kandas di pengadilan. Kasus ini memaksa KPK untuk menggunakan kewenangan SP3 yang telah diatur dalam UU.

Alih Fokus
Berdasarkan kasus Sjamsul tersebut, Menko Polhukam Mahfud menyatakan perkara pidana BLBI sudah selesai. Sebab putusan PK dari Mahkamah Agung yang diajukan KPK atas putusan kasasi Syafruddin menyatakan pemberian SKL terhadap Sjamsul bukanlah tindak pidana.

Menurut Mahfud, putusan MA tersebut turut menandakan bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah di masa lalu terkait penyelesaian BLBI sudah selesai. “Bagi pemerintah kebijakan BLBI tahun 1998 itu sudah selesai. Sudah dianggap benar meski negara termasuk rugi karena waktu itu situasinya memang seperti itu,” tutur Mahfud.

Dengan begitu, fokus penanganan BLBI sekarang ini adalah memastikan obligor-obligor BLBI membayar utangnya kepada negara. Jalur yang dapat dimanfaatkan adalah secara perdata. Untuk Sjamsul misalnya, Mahfud menyebut utangnya bukan hanya terkait BDNI tetapi mencakup Bank Dewaruci.

“Sekarang hak perdatanya kita tagih karena semula ini kan perjanjian perdata,” beber Mahfud.

Tidak sedikit kalangan pesimistis satgas mampu mengerjakan tugasnya selama dua tahun ke depan. Apalagi untuk urusan memastikan uang Rp 110 triliun terselamatkan. Bisa dikelola pemerintah untuk kemaslahatan publik.

Maka tak ada cara lain bagi pemerintah untuk menjawab rasa pesimistis dengan memastikan pembentukan satgas merupakan pilihan tepat, melalui output yang signifikan. Persoalannya kinerja satgas baru bisa ditunjukkan dua tahun lagi. Apa benar sesuai harapan atau malah seperti kinerja satgas-satgas sebelumnya ? Perlu waktu pula untuk memastikannya.

Pakar hukum Yenti Garnasih termasuk kalangan yang pesimistis itu. Pasalnya ia meyakini tidak sedikit aset hasil BLBI yang telah dilarikan keluar negeri. Dan untuk memburunya diperlukan pendekatan pidana bukan perdata yang menjadi fokus Satgas BLBI.

Melalui jalur pidana, satgas mampu melakukan pelacakan dan berkoordinasi dengan negara lain melalui perjanjian hukum pidana timbal balik (Mutual Legal Assistance) untuk membekukan aset hasil BLBI. Sedangkan jalur perdata tidak memiliki upaya tegas yang memaksa obligor membayar utangnya.

Malahan Yenti menilai, tidak tepat bagi pemerintah mengalihkan fokus penanganan BLBI ke ranah perdata karena sudah terdapat putusan pengadilan pula yang menyatakan perkara BLBI adalah korupsi. Kucuran BLBI bukannya disalurkan kepada nasabah tetapi digunakan untuk memperkaya diri dan orang lain.

“Saya malah melihatnya aneh, mengapa pemerintah menggampangkan kasus ini seolah-olah bukan pidana,” keluhnya. [Erwin C. Sihombing]